Deru Hari Nusantara tak Lagi Bergelora

Siswanto Rusdi CNBC Indonesia
Rabu, 17/12/2025 15:35 WIB
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pel... Selengkapnya
Foto: Perayaan Hari Nusantara di Pantai Tugulufa, Tidore, Maluku Utara, 13 Desember 2023. (Dok. BKIP Kemenhub)

Tiap-tiap 13 Desember, kita merayakan Hari Nusantara. Sejak diberlakukan beberapa tahun lalu, ada saja kegiatan untuk meramaikannya kendati tidak meriah-meriah amat. Mereka diadakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.


Tetapi sepertinya tahun ini hampir sepi sama sekali jika tidak hendak disebut tidak ada sama sekali. Bisa jadi amatan ini salah. Yang jelas, deru Hari Nusantara tak lagi bergelora layaknya lautan.

Hari Nusantara ditetapkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001. Ia sesungguhnya hari besar namun bukan hari libur.

Dipilihnya tanggal dimaksud merujuk kepada deklarasi yang dinyatakan oleh Perdana Menteri Djuanda pada 13 Desember 1957. Secara ringkas, Deklarasi Djuanda berisi pernyataan bahwa perairan antarpulau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari RI dan karenanya Indonesia berhak penuh atasnya.

Pada masa itu pernyataan Djuanda sangat luar biasa karena anggapan umum yang berlaku sejak lama menyatakan bahwa laut teritorial satu negara hanya sejauh 12 mil laut dari garis pantainya atau sejauh tembakan meriam. Lewat dari jarak itu sudah merupakan perairan internasional.

Pada tahun 1982 pemikiran Djuanda diterima kalangan internasional dan diundangkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Jadi, raision d'etre Hari Nusantara adalah pengakuan bahwa Indonesia merupakan negeri bahari. Atau, mengutip semboyan TNI AL, Jalesveva Jayamahe, justru di laut kita jaya.

Kendati demikian, kenyataan yang ada menunjukkan jangankan mencapai kejayaan di laut yang ada malah laut ditinggalkan. Karena menyadarkan kita akan kenyataan tersebut peringatan Hari Nusantara patut dihargai keberadaannya. Ia menjadi obat untuk amnesia massal yang kita alami. Ia seolah berkata, hai anak bangsa, lihatlah ke laut dan kembalilah ke sana. Di sanalah terletak kejayaan Indonesia.

Amnesia yang dialami begitu parahnya sehingga tidak ada satupun bidang yang terkait dengan laut bisa dibanggakan. Walaupun pada masa pemerintahannya, sejak awal berkuasa, Presidan Joko Widodo pernah menyatakan, tidak akan memunggungi lautan lagi, sejatinya kemaritiman kita tetap saja begini-begini saja keadaannya.

Mau contoh? Hingga hari ini kita tidak punya satupun pelabuhan laut yang betul-betul berkelas dunia seperti PSA Singapura atau Tanjung Pelepas, Malaysia. Tanjung Priok, yang merupakan pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia, tidak pernah bisa bebas dari kemacetan manakala tiba waktu closing pemuatan barang ke atas kapal. Contoh lain, sampai sekarang kita tidak punya perusahaan pelayaran nasional yang bisa disejajarkan dengan Neptune Orient Line (NOL)-nya Singapura.

Djakarta Lloyd, yang disebut-sebut sebagai flag carrier (mungkin pertimbangannya karena perusahaan ini merupakan BUMN) ternyata hanya memiliki beberapa gelintir kapal pengangkut petikemas. Itupun bertonase kecil. Malah kini sudah sekarat bila bukan bangkrut.

Jangan lupa, di negara kepulauan terbesar di dunia ini sampai sekarang sektor perbankannya masih menganggap bisnis maritim, khususnya pelayaran, sebagai bidang usaha yang berisiko tinggi. Sehingga, mereka mengenakan tingkat suku bunga yang sangat tinggi, lebih dari 10 persen. Padahal, di negeri jiran Malaysia dan Singapura suku bunga untuk kalangan pelayaran berkisar antara 7-8 persen.

Semuanya berlaku karena tidak ada prioritas. Sebetulnya pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membangun bidang maritim di Tanah Air. Tapi, mungkin karena kita telah tercerabut begitu jauhnya dari akar jatidiri sebagai negara bahari, semua kebijakan itu hampir-hampir tidak banyak berpengaruh.

Ambil contoh Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. (Kala itu presidennya Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono). Sejak dikeluarkan peraturan tersebut hingga saat tidak juga bisa mendorong pihak perbankan untuk lebih mendukung pelaku usaha pelayaran dengan memberikan kredit berbunga rendah.

Selain mengeluarkan inpres tersebut, pada tahun yang sama, pemerintah juga telah meratifikasi International Convention on Maritime Liens and Mortgage (Konvensi International tentang Piutang Maritim dan Mortgage, 1993) melalui Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2005.

Tetap saja pihak perbankan tidak mengubah perlakuannya kepada industri pelayaran dalam negeri. Dari sisi regulasi, bisnis maritim di Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang cukup. Yang tidak dimiliki hanyalah skala prioritas. Kita sepertinya ingin menjadi yang terbaik di semua aspek bidang maritim sekaligus. Dalam perspektif Michael Porter, kita tidak bisa kompetitif di tengah keunggulan komparatif yang dimiliki.

Bagaimana dengan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto? Sami mawon. Bahkan sepertinya lebih parah.

Bagi para decision maker, peringatan Hari Nusantara harus mampu dijadikan momentum untuk memperbarui semangat dalam mengelola negeri ini. Syukur-syukur semangat itu bisa langsung diwujudkan dalam berbagai keputusan yang lebih pro-bahari.

Dan, peringatan Hari Nusantara tahun ini harus juga bisa dijadikan awal baru untuk penentuan skala prioritas pembangunan bidang maritim nasional. Saatnya menentukan apakah kita hanya perlu satu pelabuhan yang betul-betul layak disebut sebagai pelabuhan kelas dunia.

Atau, apakah kita hanya perlu menjadikan perusahaan pelayaran nasional betul-betul sebagai flag carrier yang disegani. Atau yang lainnya. Terserah. Kuncinya, begitu skala prioritas sudah ditetapkan ia akan dijalankan dengan segenap keseriusan.

Hal lain di luar itu harus mau dikesampingkan terlebih dahulu hingga prioritas tadi tuntas terlaksana. Ah, peringatannya saja sudah sayup terdengar, bagaimana mungkin maritim mau terjaga...


(miq/miq)