Legitimasi Bantuan Kemanusiaan dalam Bencana Sumatra
Bencana Sumatra tidak lagi bisa direspons sebagai bencana lokal. Tragedi ini telah merenggut lebih dari 1.000 nyawa, ratusan masih hilang, dan ribuan penduduk mengungsi. Angka ini masih bergerak seiring proses evakuasi. Kerusakan ekonomi dan sosial yang diperkirakan mencapai lebih dari 68 triliun rupiah menggambarkan betapa besar dampak bencana pada fasilitas vital seperti jalan, jembatan, sekolah, layanan kesehatan, hingga kantor pemerintahan.
Melihat eskalasi kedaruratan tersebut, publik menilai respons pemerintah masih lamban dan terkesan mempersulit inisiatif kemanusiaan yang muncul dari masyarakat. Dalam tragedi sebesar ini, kapasitas negara jelas tidak cukup, sehingga peran masyarakat menjadi komponen penyelamat yang tidak dapat ditunda.
Masih segar dalam ingatan kita semua, ketika jurnalis Najwa Shibab mewawancara Gubernur Aceh Muzakir Manaf "Mualem" beberapa hari lalu, di mana pertahanan sang gubernur "runtuh" dan pilu ketika menceritakan kondisi terkini di lapangan.
Selang beberapa hari, publik dibuat heran dengan pernyataan pejabat tinggi yang menyatakan bahwa bantuan kemanusiaan yang digulirkan harus melalui mekanisme audit. Sebuah sikap yang kurang tepat di tengah kondisi darurat bencana, bahkan saat ini masih ada daerah yang minim terjangkau bantuan.
Legitimasi Hukum
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa penyelamatan nyawa dan pemenuhan kebutuhan dasar harus menjadi prioritas. Pasal 50 dan Pasal 51 secara eksplisit membuka ruang partisipasi masyarakat dalam seluruh tahapan penanggulangan bencana.
Regulasi lain seperti PP Nomor 21 Tahun 2008 dan Perka BNPB Nomor 17 Tahun 2010 bahkan memberikan mandat operasional bahwa pada kondisi darurat, di mana pemerintah daerah dapat memotong prosedur birokratis demi mempercepat distribusi bantuan dan menggerakkan relawan.
Dengan kerangka hukum yang cukup terbuka, pembatasan bantuan kemanusiaan atas alasan administratif justru kontraproduktif, terutama ketika masih ada wilayah seperti Desa Geudumbak di Aceh Utara yang masih minim mendapatkan akses bantuan.
Selain itu, Perka BNPB Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana, menegaskan keterlibatan publik sangat dimungkinkan. Berbagai aturan tersebut menjelaskan bahwa pada kondisi ini penyelamatan nyawa dan pemenuhan kebutuhan dasar menjadi prioritas dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Distribusi Bantuan dalam Paradigma Humanitarian
Pada tingkat global, Sendai Framework (2015-2030) memperkenalkan pendekatan whole-of-society, yaitu tata kelola bencana yang berbasis kolaborasi berbagai aktor-pemerintah, masyarakat sipil, komunitas lokal, sektor privat, akademisi, dan organisasi keagamaan.
Pendekatan ini mengakui bahwa negara tidak pernah memiliki kapasitas tak terbatas; ada kondisi darurat di mana justru masyarakat menjadi frontliner paling efektif. Konsep co-production (Ostrom & Ansell, 2019) menegaskan bahwa keterlibatan publik bukan sekadar pendamping, melainkan pelengkap kapasitas negara.
Bukti empiris menunjukkan model distribusi bantuan berbasis komunitas dapat menjangkau lebih dari 30 persen wilayah yang terisolasi. Dengan demikian, secara akademik dan global, partisipasi publik merupakan pilar utama respons bencana, bukan sesuatu yang harus dipertanyakan apalagi dicurigai.
Peran Negara sebagai Katalis Partisipasi Publik
Dalam situasi genting seperti bencana di Sumatra, negara semestinya mengambil posisi sebagai katalis yang memungkinkan seluruh energi solidaritas publik bekerja secara cepat dan efektif. Artinya, negara tidak berdiri sebagai "penjaga gerbang" yang membatasi aliran bantuan, tetapi sebagai jembatan yang memastikan bahwa berbagai inisiatif, mulai dari organisasi kemanusiaan, komunitas lokal, hingga relawan individu dapat bergerak dengan aman, terkoordinasi, dan tepat sasaran.
Saat ini, fleksibilitas kebijakan menjadi krusial. Artinya prosedur boleh disederhanakan tanpa meniadakan prinsip kehati-hatian. Transparansi dan pembantaian berkala tetap dapat dijaga, tetapi tidak dengan cara menghambat distribusi bantuan yang menyangkut nyawa manusia.
Dalam kondisi darurat, legitimasi negara justru diuji dari kemampuan negara untuk menggeser orientasi dari kontrol administratif menuju pendampingan kolaboratif. Harapannya hal tersebut, membuka akses, mengurangi hambatan, dan memastikan bahwa setiap pihak yang ingin membantu dapat menjadi bagian dari respons kemanusiaan yang lebih besar.
Langkah Perbaikan
Dari bencana Sumatra, ada berbagai hal yang dipelajari seperti perbaikan tata kelola lingkungan, konsep pembangunan yang tidak menegasikan dampak ekologis (Rockstrom, 2015), dan optimalisasi mitigasi bencana. Namun saat ini, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa energi positif yang mengalir dari berbagai pihak diserap bukan dibatasi.
Pada akhirnya, legitimasi negara dalam penanggulangan bencana tidak hanya diukur dari seberapa lengkap perangkat formal dan instrumen hukum yang melengkapi, tetapi dari seberapa mampu negara mampu berdiri bersama publik dalam momen paling kritis, dan hadir sebagai pelindung, fasilitator, dan mitra bagi kemanusiaan untuk rakyatnya sendiri.
(miq/miq)