Saatnya Presiden Prabowo Subianto Berkantor di Daerah Bencana
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto untuk ketiga kalinya di Provinsi Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Tamiang, mendapat sambutan hangat dari masyarakat setempat. Presiden bercengkrama dengan anak-anak, makan bersama pengungsi, bahkan menyapa setiap korban yang terbaring di rumah sakit.
Laki-laki, perempuan, tua dan muda menyambut dengan penuh suka cita, seolah-olah melupakan sejenak duka dan nestapa yang baru saja mereka alami akibat banjir dan longsor. Tetapi kesedihan itu kembali menyeruak, ketika rombongan Presiden kembali ke ibu kota.
Dalam situasi krisis tersebut, kehadiran Presiden di daerah bencana, tidak hanya sekadar menunjukkan kehadiran negara secara simbolik di tengah masyarakat yang terkena musibah, tetapi yang lebih penting dari itu adalah, memastikan semua proses koordinasi lintas instansi berjalan solid.
Kemudian instruksi yang jelas dan tegas untuk mempercepat evakuasi warga, memperlancar distribusi logistik, dan memastikan penanganan kebutuhan mendasar, seperti air bersih, listrik serta kebutuhan pokok lainnya bisa segera terpenuhi.
Tetapi, memasuki pekan ke tiga, sejak bencana melanda pada 26 November 2025 lalu, kehadiran kepala negara dinilai belum mampu menjawab tuntutan kebutuhan mendesak masyarakat di beberapa wilayah yang masih memprihatinkan. Bahkan sebagian warga masih terisolasi akibat akses jalan terputus, minimnya relawan yang bisa mencapai lokasi, serta mulai menipisnya pasokan sembako.
Masih banyak rumah rusak berat atau tertimbun lumpur, sementara kebutuhan dasar seperti listrik, air bersih, dan komunikasi belum sepenuhnya pulih. Jadi yang dibutuhkan warga saat ini, bukan sekadar kunjungan simbolik, melainkan langkah konkret dari pemerintah pusat.
Keputusan paling penting dari Presiden masih ditunggu oleh masyarakat di daerah bencana adalah penetapan status bencana nasional dan berkantor di tiga provinsi terdampak. Presiden bisa mendesain untuk berkantor selama empat hari di Aceh, dua hari di Sumatra Utara dan dua hari di Sumatra Barat.
Dua kebijakan ini akan menjadikan akselerasi penanganan bencana dan jangkauan yang luas. Koordinasi tingkat pusat dan daerah akan lebih terstruktur dalam jalur komando, serta optimalisasi penggunaan anggaran baik melalui anggaran on call bencana maupun dana darurat lainnya yang terdapat dalam APBN.
Status Bencana Nasional
Sampai saat ini pemerintah bergeming dengan pendiriannya, belum menetapkan status bencana nasional terhadap tiga provinsi, yaitu Aceh, Sumut dan Sumbar.
Berdasarkan data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Selasa (16/12/2025), jumlah korban meninggal dunia mencapai 1.030 orang, sementara 206 orang lainnya masih dinyatakan hilang. Jumlah pengungsi di tiga wilayah tersebut mencapai setidaknya 902.545 jiwa yang tersebar di sejumlah posko dan tenda darurat. Setidaknya 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 fasilitas pendidikan dan 434 tempat ibadah yang terdampak.
Proses evakuasi di tiga provini terdampak masih terus berlanjut, angka korban jiwa masih bisa terus bertambah seiring dengan proses pencarian yang masih berlanjut. Melihat kemampuan dan kapasitas pemerintah daerah yang sangat terbatas, membuat penyaluran bantuan belum rata menjangkau seluruh wilayah terdampak secara memadai. Artinya bencana ini memiliki skala dan dampak sangat luas di tiga provinsi, melintasi batas kemampuan pemerintah daerah provinsi untuk mengatasinya.
Mengacu pada UU 24 Tahun 2007, sudah sepatutnyalah, pemerintah pusat sebagai penyelenggara penanggulangan bencana menetapkan status sebagai bencana nasional di tiga provinsi tersebut.
Penetapan status bencana nasional di tiga provinsi tersebut sangat penting dan mendesak, agar masyarakat memiliki kepastian bahwa proses penanggulangan dan pembangunan pasca bencana akan mendapatkan prioritas utama dari pemerintah pusat.
Keselamatan nyawa adalah hukum tertinggi dalam penanganan bencana (Salus populi suprema lex esto). Status bencana nasional akan memperkuat kehadiran negara dalam melindungi segenap warga negara, memastikan respons yang cepat, terkoordinasi, dan mengedepankan perlindungan jiwa di atas segalanya. Selain itu, ada kepastian penanganan bencana hingga tahapan pascabencana.
Berkantor di Daerah Bencana
Keputusan Presiden untuk berkantor di daerah bencana bukanlah hal yang baru. Presiden Susilo Bambang Yudoyhono (SBY), ketika terjadi Tsunami Aceh tahun 2004 dan Gempa Bumi di Yogyakarta tahun 2010 juga memilih berkantor di daerah bencana beberapa hari.
Kehadiran Presiden yang disertai dengan instruksi tegas, menggunakan semua kekuatan yang ada, dapat mempercepat evakuasi warga yang masih terjebak, memperlancar distribusi logistik, dan memastikan penanganan dilakukan secara manusiawi. Dengan begitu, bantuan bisa dikerahkan secara total, terkomando, terkoordinasi, dan didukung anggaran pusat.
Kepemimpinan Presiden Prabowo akan menjadi kunci dalam penanganan bencana di Sumatra. Presiden tinggal mengumumkan akan berkantor di Aceh, Sumut dan Sumbar untuk beberapa hari.
Keputusan untuk berkantor di kawasan bencana dalam rangka untuk memimpin langsung proses koordinasi, instruksi dan orkestrasi kerja tiap lembaga yang terlibat agar berjalan cepat, tepat dan efektif. Bisa dipastikan semua unsur, mulai dari TNI/Polri, BNPB, Basarnas, menteri terkait, gubernur, bupati dan wali kota, akan bergerak dalam satu komando yang terarah.
Keputusan Presiden Prabowo untuk memimpin langsung dan melakukan koordinasi secara intensif lintas lembaga, akan mampu menggerakkan semua lembaga terkait sesuai dengan rencana yang sudah disusun dengan matang oleh Presiden dan tim.
Presiden bisa menghabiskan waktu di pusat koordinasi dalam beberapa hari, memastikan seluruh lembaga bekerja sesuai ritme yang sama, memantau langsung kerja aparat dan juga melakukan evaluasi serta perbaikan jika terdapat hal-hal yang kurang pas dengan instruksi yang sudah diberikan, terutama dalam memastikan pulihnya kebutuhan dasar masyarakat.
Presiden Prabowo masih memiliki waktu untuk membuat keputusan penting dan strategis guna mempercepat proses penanganan bencana. Hal ini penting, agar Presiden mengetahui secara langsung efektivitas penanganan bencana yang sudah memasuki waktu tiga pekan semenjak pertama kali terjadi.
Presiden tidak hanya menerima laporan dari Menteri dan Lembaga terkait mengenai progres pekerjaan yang dilakukan, tetapi memantau langsung perkembangan yang terjadi di lapangan. Jangan sampai terulang lagi, janji Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk mengaktifkan listrik sebesar 93 persen, tetapi dalam kenyataannya, jauh dari yang diharapkan, masih ada beberapa daerah bencana di wilayah Aceh dan Sumut yang masih gelap sampai saat ini.
Pilihan untuk berkantor di daerah bencana juga merupakan bentuk implementasi dari kepemimpinan manajemen crisis (crisis management leadership) yang dimiliki oleh Presiden Prabowo. Masyarakat memerlukan kepemimpinan Presiden secara langsung, mengarahkan seluruh aparat untuk mengatasi situasi krisis dengan cepat dan efektif, mengambil keputusan yang bersifat strategis, mengelola komunikasi dan koordinasi yang jelas antar instansi, dan menjaga moral seluruh tim untuk tetap fokus membantu masyarakat.
Selain itu, tidak kalah pentingnya adalah mempersiapkan langkah-langkah pemulihan pascabencana dan memulai pembangunan kembali infrastruktur fisik dan rumah untuk penduduk yang kehilangan tempat tinggalnya.
(miq/miq)