Bencana dan Akrobat Tukang Olah
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Banjir yang menerjang tiga provinsi di Sumatra tak sepenuhnya takdir Tuhan, namun ada kontribusi dari para tukang olah. Siapakah tukang olah ini? Tentu saja para rent seeker seperti pejabat yang mengobral kebijakan dan pro deforestasi, pengusaha serakah, aparat keamanan yang tutup mata dengan pembalakan liar, dan dinda aktivis yang hening pascadibungkam transferan. Ini bukan temuan baru, tetapi litani realita yang sudah jadi rahasia umum.
Tukang olah yang selama ini bermain api kini bersuara seakan tak mau disalahkan. Pejabat bertindak denial dengan menyalahkan siklon tropis senyar, hal ini diikuti dengan paduan suara buzzer yang berusaha menangkis narasi saintifik di media sosial.
Ke manakah oligarki? Tentu saja hilang cari aman sampai situasi reda, lalu akan datang dengan proposal olahan baru. Inilah bentuk dosa kolektif dari praktik pelacuran ekologis yang akhirnya mengorbankan rakyat.
Pengolah Rente
Praktik berburu rente (rent seeking) merujuk pada upaya individu atau kelompok mencari keuntungan dengan cara menikung atau memanipulasi kebijakan ekonomi.
Olson (1982) menyebutkan bahwa rent seeking melibatkan birokrat, pemilik modal, politisi, dan masyarakat yang melakukan monopoli keuntungan dengan tindakan ilegal dan memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki. Selaksa literatur sudah menyebutkan secara jelas bagaimana praktik olah mengolah kebijakan ekonomi suatu negara pada akhirnya merugikan masyarakat.
Kata olah sendiri dipopulerkan oleh Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia yang merujuk pada aktivitas dan manuver untuk memastikan tujuan dari tukang olah tercapai. KBBI sendiri mendefinisikan olah sebagai proses mengubah sesuatu menjadi bentuk baru yang lebih bermanfaat dan bernilai tinggi.
Praktik mengolah dalam ruang lingkup aktivisme dan kekuasaan memang merujuk pada rent seeking. Seseorang tidak akan terjun dalam ekosistem "industri pengolahan" jika tidak mendapatkan benefit yang signifikan.
Tata kelola hutan kita sudah hancur sejak dahulu, hutan lindung pun diiobral kala ada orderan oligarki dan akrobat para pengolah. Data citra satelit oleh MapBiomas Indonesia menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 hingga 2024 hutan Sumatra menyusut drastis (3,17 juta ha jadi 2,52 juta ha).
Praktik pertambangan emas di DAS Garoga dan PLTA Batang Toru mengubah struktur DAS itu sendiri. Konsesi penebangan di hutan sepanjang Bukit Barisan (belum termasuk yang liar) melemahkan fungsi hutan sebagai penyangga alami.
Rentetan demonstrasi penolakan terhadap eksploitasi hutan telah disuarakan oleh masyarakat dan tokoh agama di Sumatra Utara. Penolakan terhadap PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) yang praktik usahanya destruktif dan melukai masyarakat adat tidak mendapat respon serius oleh pemerintah.
Ekosistem perizinan yang tak melibatkan pemerintah daerah serta masyarakat adat sebagai pihak terdampak akhirnya menumpulkan perspektif pusat terhadap risiko dari aktivitas bisnis di hutan Sumatra.
Fenomena regulatory capture marak terjadi dalam praktik pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Regulatory capture adalah realita di mana lembaga yang seharusnya bertindak untuk kepentingan publik justru melayani kepentingan industri, situasi di mana kepentingan komersial mengalahkan kepentingan publik.
Masih segar ingatan kita soal cuitan Menteri LHK era Jokowi, Siti Nurbaya, Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. Ada juga momen kemesraan Menteri Kehutanan Raja Juli bermain domino dengan pelaku pembalakan liar.
Maraknya rent seeking dan regulatory capture di Indonesia adalah imbas dari sistem politik yang transaksional. Biaya politik yang mahal dengan ekosistem masyarakat yang mudah dibeli suaranya menjadi bahan yang paten untuk diolah. Politisi mengolah oligarki, oligarki mengolah politisi, dan masyarakat turut menjadi bagian dari akrobat olah mengolah ini. Telikung kebijakan tak bisa dihindari tatkala tahta yang diperoleh diikuti tagihan janji para pemodal di pesta demokrasi.
Nampaknya ruang pengambil kebijakan di negeri ini telah ditundukkan oligarki dengan tawaran yang sama-sama menguntungkan. Ruang inilah yang dimainkan para tukang olah, mulai dari birokrat sampai masyarakat yang memanifestasikan Yudas Iskariot untuk menjual alamnya.
Sentralisasi kewenangan kehutanan yang tak melibatkan pemerintah kabupaten dan kota adalah lelucon rezim Joko Widodo yang mempersempit arena bermain tukang olah di Jakarta. Padahal, tatkala bencana alam terjadi, pemerintah kabupaten dan kotalah yang menjadi sasaran amukan publik.
Pertobatan Ekologis
Apakah bencana dan dampak destruktifnya akan mengiluminasi para tukang olah yang bertindak dalam kuasa kegelapan ini? Tentu saja tidak. Salah satu video di media sosial menemukan adanya aktivitas operasi pengangkutan kayu pasca bencana alam.
Tukang olah tidak akan mau kehilangan profitnya begitu saja, bahkan hari ini mereka menyewa buzzer dan menaikkan isu tak penting seperti drama tumbler Anita untuk mengalihkan perhatian publik. Mungkin saja setelah ini akan ada artis terciduk kasus narkoba atau cerai mendadak.
Mereka yang memiliki kesadaran ekologis adalah kelompok masyarakat yang tercerdaskan dan memiliki pengalaman empiris ihwal benefit pemeliharaan lingkungan. Di luar itu, amat sulit diharapkan untuk menghadirkan pertobatan ekologis.
Aksi konservasi sungai oleh Pandawara Grup saja ditemukan kotor pascadibersihkan, dan pelakunya adalah masyarakat itu sendiri. Dengan situasi seperti ini, para tukang olah akan hiatus sejenak, lalu akan bermanuver di kemudian hari.
Hari ini kita hidup di zaman Kaliyuga, era dimana kemerosotan moral, konflik, dan kejahatan bertumbuh dengan subur. Era di mana manusia mulai melupakan Tuhan dan nilai-nilai luhur. Tata kelola pemerintahan tidak lagi hadir sebagai sarana yang menghadirkan keselamatan dan kemaslahatan, namun jadi alat penindas yang menggilas para kritikus dan environmentalis. Bahkan, cap wahabi pun disematkan pada mereka yang berjuang untuk kelestarian lingkungan.
Bencana yang super destruktif adalah teguran bagi para tukang olah untuk melakukan pertobatan ekologis. Mereka yang selama ini berakrobat untuk mencari rente semestinya sadar bahwa pada akhirnya rent seeking dan regulatory capture akan menghadirkan kesengsaraan.
Pada titik ini, skeptisisme terasa masih kuat, mengingat tukang olah ini berulah di tempat yang bukan menjadi domisili mereka. Jika susah mengharapkan pertobatan para tukang olah, kiranya bencana ini menyadarkan kita bahwa ada tukang olah yang berakrobat untuk menghancurkan hidup kita di masa depan!
(miq/miq)