Jalan Menuju Kesejahteraan: Pangkas Underground Economy & Rent Seeking
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dominik H. Enste dan Friedrich Schneider dalam salah satu tulisannya yang terbit di Journal of Economic Literature vol. 38, no. 1, March 2000, berjudul "Shadow Economies: Size, Causes, and Consequences", mengungkapkan beberapa aktivitas yang merupakan bagian dari ekonomi bawah tanah (underground economy), di antaranya adalah perdagangan narkoba, prostitusi, perjudian, penyelundupan, pembajakan, dan penipuan, telah membuat kerugian besar bagi perekonomian.
Aktivitas underground economy tersebut, tidak hanya menciptakan penyimpangan fiskal dengan menghindari pajak, tetapi juga menyulitkan negara dalam perumusan kebijakan ekonomi yang tepat.
Tidak hanya underground economy, praktik perburuan rente atau disebut rent seeking, juga telah merusak sendi-sendi perekonomian sebuah negara. Josept Stiglizt, ekonom peraih Hadiah Nobel tahun 2001, mengungkapkan dalam bukunya The Price of Inequality (2012), bahwa rent seeking merupakan praktik di mana individu atau kelompok tertentu berupaya memperoleh pendapatan atau keuntungan ekonomi yang besar melalui pemanfaatan atau manipulasi lingkungan politik, lemahnya kebijakan dan regulasi pemerintah, tanpa menciptakan kekayaan atau nilai produktif baru bagi masyarakat secara keseluruhan.
Jika menggunakan pendekatan dan estimasi yang dibuat oleh Enste dan Schneider tersebut, diperkirakan nilai kegiatan ekonomi bawah tanah di negara berkembang berkisar antara 35%-44% PDB. Dengan menggunakan rata-rata 40% dari PDB Indonesia tahun 2024 sebesar Rp22.139 triliun, maka nilai kegiatan underground economy Indonesia saat ini diperkirakan bisa mencapai Rp8.855,6 triliun.
Sebuah angka yang fantastis, melebihi dua kali lipat belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2026 sekitar Rp3.842,7 triliun. Perhitungan itu selaras dengan analisis PPATK yang mencapai angka 30%-40% terhadap PDB.
Merujuk pada angka yang lebih moderat, kajian lembaga multinasional Ernst & Young (EY), memperkirakan besaran ekonomi bawah tanah di Indonesia mencapai 23,80 persen dari PDB nasional pada tahun 2023.
Temuan ini hampir setara dengan Rp 4.972,39 triliun kegiatan ekonomi di tanah air yang terjadi secara ilegal dan tidak tercatat. Angka ini jelas menyebabkan berkurangnya penerimaan negara dari pajak secara signifikan dan berdampak terhadap aktivitas ekonomi produktif sebuah negara setiap tahunnya.
Potensi pajak yang terdapat dalam underground economy dan rent seeking nilainya sangat besar. Jika asumsi kegiatan underground economy Indonesia saat ini mencapai Rp4.972,39 hingga Rp8.855,6 triliun (23,80%-40% dari PDB), maka dengan tax ratio sebesar 10,4%, maka potensi penerimaan pajak Indonesia yang hilang dalam satu tahun bisa mencapai Rp517,13 triliun hingga Rp920,98 triliun.
Bandingkan dengan penerimaan pajak yang direncanakan dalam APBN tahun 2026 sebesar Rp2.357,7 triliun. Artinya, terdapat potensi penerimaan pajak yang tinggi dalam aktivitas underground economy.
Tingkat Korupsi yang Semakin Tinggi
Suburnya praktik underground economy dan rent seeking di Indonesia tentunya tidak bisa dilepaskan dari tingkat korupsi yang semakin mengkhawatirkan. Korupsi tidak hanya merusak mental bangsa, tetapi juga menghambat kemajuan dan laju pertumbuhan ekonomi.
Pada umumnya korupsi juga disertai dengan praktik-praktik yang tidak sehat secara ekonomi dan keuangan. Dalam banyak kasus, dana hasil korupsi dialihkan ke kegiatan informal yang tidak tercatat, termasuk bisnis ilegal, transaksi tunai tak terlacak, hingga penghindaran pajak secara sistematis.
Setali tiga uang, praktik underground economy dan rent seeking yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Langkah Presiden Prabowo Subianto merampas aset sejumlah perusahaan untuk melakukan pemulihan kerugian negara sudah sangat tepat.
Salah satunya, mengembalikan smelter tambang timah di Bangka Belitung hasil korupsi kepada negara. Aktivitas smelter ini telah menimbulkan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yang sangat besar. Adapun estimasi kerugian negara mencapai Rp 300 triliun akibat aktivitas pertambangan ilegal dan korupsi yang dilakukan para pemburu rente tersebut.
Memangkas Praktik Underground Economy dan Rent Seeking
Kebijakan Presiden Prabowo untuk memangkas habis praktik underground economy dan rent seeking perlu mendapat apresiasi dan dukungan yang kuat dari publik. Aksi Presiden Prabowo membongkar 1.000 tambang ilegal dan lima juta hektare lahan sawit ilegal selama periode satu tahun kepemimpinannya, merupakan langkah besar pemerintah dalam memulihkan kerugian negara akibat praktik-praktik ilegal yang sudah berlangsung selama ini. Sudah saatnya, kebocoran keuangan negara ditutup dan tindakan mencuri kekayaan negara harus segera dihentikan dengan penegakan hukum.
Salah satu upaya yang mungkin bisa segera dilakukan untuk memberangus aktivitas underground economy dan rent seeking adalah dengan mempercepat pengesahan Undang-Undang (UU) tentang Perampasan Aset.
Kehadiran UU Perampasan Aset diharapkan bisa mengembalikan kerugian negara secara maksimal dengan memungkinkan negara untuk merampas aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya, tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini bertujuan untuk menegakkan hukum secara lebih efektif, mempermudah pemulihan aset negara, memberikan efek jera, dan mengembalikan hak rakyat.
Dengan dibongkarnya underground economy dan rent seeking, selain menyelamatkan aset fisik dalam bentuk kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan juga keuangan negara. Selain itu, juga dapat menyelamatkan aset nonfisik, seperti, spirit berusaha kalangan muda, meritokrasi yang jujur dan adil, budaya kreatif dan inovatif.
underground economy dan rent seeking adalah jalan pintas untuk mendapat kekayaan secara instan. Oleh sebab itu, jangan sampai bangsa ini terjebak dalam normalisasi perilaku underground economy dan rent seeking yang sudah menghisap kekayaan negara dan menjauhkan masyarakat dari kata sejahtera.
Perlu disadari oleh semua pihak bahwa praktik underground economy dan rent seeking, selama puluhan tahun di Indonesia, telah mematikan banyak unit usaha produktif. Terutama dari sisi kemampuan produksi (production capability) dan kemampuan manufaktur (manufacturing capability).
Sebagai contoh, kemampuan produksi sektor pertanian semakin menurun dalam beberapa dekade terakhir, hal ini disebabkan kurangnya minat generasi muda karena citra petani dengan pendapatan yang rendah, penyempitan lahan akibat alih fungsi yang tidak tepat, serta degradasi lahan yang diperburuk oleh perubahan iklim.
Begitupula dengan penurunan kemampuan industri manufaktur Indonesia, kontribusinya terhadap PDB hanya berkisar 18 persen per tahun. Rent seeking menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pengembangan kemampuan industri manufaktur yang kuat dan berkelanjutan.
Ini karena fokus yang beralih dari penciptaan nilai tambah ekonomi riil ke perburuan keuntungan melalui pengaruh politik, regulasi dan birokrasi. Sehingga para Gen-Z yang berniat menjadi petani sejati atau industriawan tulen akan berfikir ulang, jika jalan menuju kemakmuran lebih mudah dicapai dengan aktivitas ilegal dan perburuan rente.
(miq/miq)