Tambang Bukan Kutukan, Jika Kita Memberinya Makna

Kuntjoro Pinardi CNBC Indonesia
Rabu, 26/11/2025 11:25 WIB
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi ... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi aktivitas pertambangan. (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Dalam setiap perjalanan bangsa, selalu ada pilihan yang menentukan masa depan. Pilihan itu tidak selalu muncul dari hal-hal megah.


Kadang ia muncul dari sesuatu yang tampak sepele, seperti sampah. Dan kadang ia muncul dari sesuatu yang tampak luhur tetapi penuh risiko, seperti tambang.

Banyak bangsa hancur oleh apa yang mereka kira adalah anugerah. Minyak, emas, dan mineral seringkali bukan membawa kejayaan, tetapi ketergantungan, korupsi, dan kesenjangan. Itulah yang disebut dunia sebagai resource curse, kutukan sumber daya.

Namun kutukan itu tidak berasal dari batu atau tanah. Kutukan itu berasal dari ketiadaan makna, dari sumber daya yang diambil tanpa visi, diangkut tanpa nilai tambah, dan ditinggalkan tanpa kesejahteraan bagi rakyatnya.

Hari ini Indonesia berdiri di titik yang sangat menentukan. Di satu sisi, kita memiliki REE (rare earth elements), mineral strategis untuk baterai, magnet permanen, kendaraan listrik, radar, satelit, dan industri berteknologi tinggi. Di sisi lain, jutaan ton sampah menumpuk di kota-kota kita, menjadi beban ekologis dan sosial.

Dua hal yang tampak berlawanan itu, sampah dan logam tanah jarang, sesungguhnya adalah bagian dari satu rahmat ilahi yang menunggu untuk kita kelola dengan bijak. Jika kita membiarkan REE diekspor sebagai lumpur, itu adalah kutukan. Jika kita membiarkan sampah menggunung, itu adalah kutukan. Jika kita membiarkan daerah tambang tetap miskin, itu adalah kutukan.

Tetapi jika kita menyatukan semuanya dalam satu visi besar, maka kutukan berubah menjadi kebangkitan. Bayangkan sebuah kawasan di Indonesia Timur, Bima, atau NTB, di mana:

Sampah NTB-NTT menghasilkan 150 ton 170 ton steam per jam, hutan energi Kalianda memberi suplai biomassa, batubara muda memberi stabilitas energi jangka panjang, semua itu menggerakkan pabrik DME (dimethyl ether) pengganti LPG rumah tangga.

Di sebelahnya, berdiri pabrik pemurnian REE, memanfaatkan energi murah dari sampah, memproses tailing emas dan timah menjadi bahan baku teknologi tinggi. Dan di hilirnya, tumbuh industri magnet, komponen kendaraan listrik, motor presisi, chip, dan radar.

Inilah bentuk kedaulatan baru: energi mandiri, industri mandiri, teknologi mandiri. Dan semua itu dimulai dari keputusan sederhana: bahwa tambang bukan kutukan, asal kita memberinya makna.

Kita tidak ingin hanya menjadi negara yang menjual tanah. Kita ingin menjadi negara yang menciptakan masa depan.

Kita tidak ingin sekadar mengekspor mineral. Kita ingin mengekspor teknologi.

Kita tidak ingin rakyat hanya menjadi penonton. Kita ingin rakyat menjadi pelaku, dari desa, dari kampung, dari pusat pertumbuhan baru di seluruh nusantara.

Rahmat Allah turun dalam banyak bentuk, kadang dalam bentuk sampah, kadang dalam bentuk batu hitam, kadang dalam bentuk logam tak terkenal bernama neodimium dan praseodimium.

Tugas kita adalah mengubah rahmat itu menjadi kemajuan. Dan inilah saatnya Indonesia mengambil langkah berani: menghapus kutukan tambang, mengelola energi dari sampah, membangun industri REE, serta menyiapkan masa depan teknologi yang kita kuasai sendiri.

Bukan untuk bangga, tetapi untuk memantaskan diri. Bukan untuk bersaing, tetapi untuk memimpin.


(miq/miq)