Strategi Tanah Jarang China dan Titik Lemah Amerika Serikat

Ronny P. Sasmita, CNBC Indonesia
15 October 2025 14:08
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita merupakan analis senior di Indonesia Strategic and Economics Action Institution... Selengkapnya
Bendera China dan Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi bendera China (kiri) dan bendera Amerika Serikat (kanan). (REUTERS/Jason Lee)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Ketika China memperketat kembali ekspor unsur tanah jarang (rare earth elements) bulan ini, langkah tersebut langsung mengguncang pasar global. Unsur tanah jarang, 17 logam yang menjadi fondasi teknologi modern, merupakan bahan penting di balik kehidupan digital dan industri hijau, dari ponsel dan kendaraan listrik hingga pesawat tempur serta sistem kendali rudal.

Di tengah persaingan yang kian tajam antara Washington DC dan Beijing, mineral-mineral yang dulu dianggap remeh kini memang berubah menjadi garis depan baru dalam perebutan pengaruh global.

Sekilas, kebijakan baru Beijing terlihat teknokratis, penambahan izin ekspor, verifikasi lebih ketat terhadap pengguna akhir, dan perluasan daftar unsur yang diawasi menjadi 12 jenis, termasuk holmium, erbium, dan dysprosium. Namun dalam hemat saya, maknanya jauh melampaui soal perizinan. Pesan politik yang dikirim China sangat jelas, Beijing ingin menegaskan bahwa China mampu, dan siap, menjadikan dominasinya atas rantai pasok global unsur tanah jarang sebagai alat tawar strategis. Saat ini China menguasai lebih dari dua pertiga produksi dunia dan hampir 85 persen kapasitas pemurnian global.

Selama beberapa dekade, topik rare earth elements hanya menjadi bahan laporan teknis dan jurnal rekayasa material. Padahal, meski digunakan dalam jumlah kecil, perannya tak tergantikan. Neodymium dan praseodymium menjadi tenaga penggerak magnet pada motor kendaraan listrik dan turbin angin. Europium dan terbium memberi warna cerah pada layar gawai.

Yttrium dan erbium memungkinkan kerja laser berdaya tinggi serta sistem penglihatan malam. Sementara dysprosium dan samarium menstabilkan magnet pada mesin pesawat dan sistem navigasi rudal. Dengan kata lain, hampir semua gerak ekonomi maju, terutama untuk militer modern, bergantung pada keberadaan unsur-unsur ini.

Potensi strategis unsur tanah jarang mulai disadari dunia pada 2010. Saat itu, dalam krisis diplomatik dengan Jepang terkait Kepulauan Senkaku (atau Diaoyu menurut China), Beijing secara tidak resmi menghentikan ekspor rare earth ke Tokyo setelah Jepang menahan kapten kapal nelayan China. Embargo yang tak pernah diumumkan itu mengguncang rantai pasok global.

Harga-harga melonjak ratusan persen, dan Jepang, Amerika Serikat, serta Eropa mendadak menyadari risiko besar dari ketergantungan terhadap satu pemasok utama. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kemudian memutuskan bahwa pembatasan ekspor China melanggar aturan perdagangan, tetapi peristiwa tersebut menjadi tonggak penting bahwa Beijing telah menemukan instrumen diplomasi ekonomi baru.

Sejak saat itu, rare earth elements kerap muncul kembali setiap kali ketegangan geopolitik meningkat. Dalam perang dagang AS-China tahun 2019, Beijing sempat menyinggung kemungkinan membatasi ekspor lagi bila Washington terus menekan perusahaan teknologi China seperti Huawei.

Tahun 2023, China memberlakukan izin ekspor untuk gallium dan germanium, dua logam penting dalam industri semikonduktor, dengan alasan keamanan nasional. Kini, pada 2025, Beijing kembali memperluas pengendalian ekspor terhadap lebih banyak unsur tanah jarang. Hal ini menunjukkan bahwa "strategi kelangkaan" yang dulu bersifat taktis kini telah berubah menjadi kebijakan jangka panjang.

Senjata Baru Rantai Pasok
Respons pemerintahan Trump di Washington terlihat serba salah antara ketegasan politik dan ketidaksiapan strategis. Trump berjanji bahwa Amerika bisa "berhenti membeli dari China sepenuhnya," sementara Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan Amerika bergegas mencari sumber alternatif.

Di balik layar, Washington dikabarkan tengah menjajaki kerja sama dengan sekutu seperti Australia dan Kanada untuk membentuk "rare earth alliance." Pentagon bahkan menyalurkan dana untuk memperluas fasilitas pemurnian di California dan Texas. Kongres ikut memanaskan suasana dengan menyebut langkah China sebagai "tindakan koersif terhadap Amerika."

Namun semua itu, betapapun lantangnya, sulit menutupi ketimpangan struktural yang sudah lama terjadi. Membangun rantai pasok rare earth elements yang mandiri tidak sekadar soal menambang logam, dibutuhkan investasi besar dalam teknologi pemurnian, pengelolaan limbah, serta pengalaman panjang dalam rekayasa material, semua hal yang saat ini dikuasai China. Bahkan jika AS meningkatkan produksinya, ketergantungan pada pemrosesan di China masih akan bertahan bertahun-tahun ke depan.

Persoalan ini bukan semata urusan perdagangan, tapi terkait langsung dengan dasar kekuasaan teknologi modern. Unsur tanah jarang berada di titik pertemuan antara energi, industri hijau, dan pertahanan. Setiap sistem radar, motor listrik, dan panduan rudal sangat bergantung pada keberadaannya. Dominasi China atas sektor ini berarti memiliki pengaruh yang melampaui nilai ekonominya, karena berarti mengendalikan siapa yang bisa terus berinovasi dan siapa yang bisa memimpin dalam perlombaan teknologi global.

Fenomena ini menandai era baru "weaponisasi" rantai pasok, ketika perdagangan dan teknologi tidak lagi netral, melainkan dijadikan alat untuk menanamkan pengaruh. Washington dan Beijing sama-sama memainkan kartu ini dengan caranya masing-masing, AS membatasi ekspor cip dan teknologi semikonduktor ke China, sementara Beijing membalas dengan menahan pasokan mineral strategis. Akibatnya, dunia perlahan terbelah ke dalam dua ekosistem teknologi yang berbeda, dengan standar, pasokan, dan arah inovasi yang saling bersaing.

Bagi negara-negara berkembang, kondisi ini tentu akan menimbulkan dilema baru. Globalisasi yang dulu menjanjikan efisiensi kini menuntut keberpihakan. Akses terhadap pasar dan sumber daya tidak lagi ditentukan oleh harga, tetapi oleh posisi politik. Negara yang tak cermat menjaga keseimbangan bisa dengan mudah terseret ke pusaran blok ekonomi baru yang saling menutup diri.

Peta Baru Kekuasaan Sumber Daya
Implikasi dari kebijakan China ini menjalar jauh melampaui persaingan dua kekuatan besar. Di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin, wilayah yang kaya dengan sumber daya mineral strategis, persaingan baru tengah terbentuk. Negara-negara yang memiliki potensi cadangan rare earth elements, litium, atau kobalt kini menjadi rebutan investasi dan pengaruh.

China, melalui Belt and Road Initiative (BRI), telah lama menanamkan pengaruh di sektor pertambangan Afrika dan Asia Tengah. Amerika Serikat membalas dengan strategi "friend-shoring," yakni mengalihkan investasi ke negara-negara yang dianggap ramah secara politik.

Uni Eropa pun tak mau tertinggal dengan meluncurkan Critical Raw Materials Act untuk mengurangi ketergantungan pada China dan memperluas sumber impor. Industri pertambangan yang dulunya sunyi kini menjadi panggung geopolitik baru yang menentukan masa depan ekonomi global.

Dinamika serupa terlihat di Asia Tenggara. Vietnam dan Malaysia, dua negara dengan potensi rare earth besar, berusaha menyeimbangkan ketertarikan investasi China dengan tawaran kerja sama teknologi dari AS dan Jepang.

Di Afrika, dominasi perusahaan China di Republik Demokratik Kongo dan Tanzania mulai digoyang oleh inisiatif Barat yang mengusung konsep "pertambangan berkelanjutan." Sementara di Amerika Latin, segitiga litium, Argentina, Bolivia, dan Cile, menjadi arena baru perebutan pengaruh antara kedua raksasa ekonomi dunia.

Apabila kebijakan pengetatan ekspor China berlanjut, dunia bisa semakin terpecah ke dalam blok-blok teknologi yang saling bersaing. Konsekuensinya bukan hanya pada ekonomi, tetapi juga pada transisi energi hijau yang akan menjadi lebih lambat dan mahal. Setiap baterai kendaraan listrik, setiap turbin angin, bahkan setiap chip semikonduktor kini memuat ketegangan geopolitik di dalamnya. Garis pemisah antara perdagangan dan politik kian kabur.

Ke depan, kalkulasi Beijing akan sangat bergantung pada tujuan diplomatiknya. Pengendalian ekspor rare earth adalah pedang bermata dua, dapat melindungi inovasi domestik sekaligus menghukum pihak lawan, tetapi juga berisiko menimbulkan reaksi negatif dan mendorong lahirnya pesaing baru. Para perumus kebijakan di Beijing sadar bahwa penggunaan berlebihan terhadap "senjata ekonomi" ini bisa berbalik arah, seperti yang terjadi pascaembargo 2010 ketika Jepang berhasil mendiversifikasi sumbernya.

Bagi Amerika Serikat, jalan terbaik bukan pada ancaman atau perang tarif, melainkan pada pembangunan ketahanan strategis jangka panjang. Artinya, akan ada keharusan untuk berinvestasi secara konsisten dalam penambangan, pemurnian, dan daur ulang mineral, memperdalam kemitraan dengan pemasok tepercaya seperti Australia, Kanada, dan Malaysia, serta mengurangi ketergantungan industri vital pada satu sumber pasokan. Pada saat yang sama, Washington perlu membuka ruang dialog terbatas dengan Beijing mengenai stabilitas rantai pasok, seperti halnya perundingan kendali senjata pada masa Perang Dingin.

Lebih luas lagi, Amerika harus mengakui bahwa era geopolitik sumber daya telah kembali. Di masa transisi energi dan teknologi canggih ini, tambang dan mineral menjadi "ladang minyak baru" yang menentukan peta kekuasaan dunia. Siapa yang menguasai ekstraksi dan pemurniannya, akan menguasai masa depan industri global. Mengabaikan kenyataan ini berarti membiarkan kelemahan strategis, the American Achilles' Heel, terbuka lebar.

Persaingan rare earth elements bukan sekadar soal logam dan teknologi, tetapi cerminan dari perubahan besar dalam politik dunia, dari globalisasi menuju fragmentasi, dari efisiensi menuju keamanan, dari kerja sama menuju kompetisi strategis. Dunia kini belajar bahwa kekuasaan tidak hanya dibangun dari rudal dan kapal perang, tetapi juga dari magnet dan material.

Jika kedua kekuatan besar ini mampu melihat ketergantungan mereka sebagai alasan untuk menahan diri, bukan menekan satu sama lain, masih ada peluang untuk kerja sama terbatas. Membangun kesepahaman atas tata kelola mineral kritis bisa menjadi langkah kecil untuk mencegah eskalasi ekonomi yang tak terkendali.

Singkat kata, keseimbangan strategis abad ke-21 mungkin akan ditentukan bukan oleh siapa yang membangun kapal induk terbanyak, melainkan oleh siapa yang mampu memurnikan dysprosium dan menguasai pasokan gallium. Pertanyaannya kemudian, apakah sumber daya yang ada di bawah kaki kita akan menjadi jembatan bagi kerja sama, atau justru medan baru bagi perebutan kekuasaan global?



(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation