Bima & Kebangkitan Indonesia Timur: Pondasi Baru Menuju Indonesia Maju

Kuntjoro Pinardi CNBC Indonesia
Minggu, 23/11/2025 11:28 WIB
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi ... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi kendaraan listrik. (Ilham Restu/CNBC Indonesia)

Selama beberapa dekade, perekonomian Indonesia berjalan dengan ketimpangan yang sulit dihindari. Pusat industri, teknologi, dan lapangan kerja berupah tinggi terkonsentrasi di Jawa, sementara kawasan timur menunggu peluang yang lebih setara.

Namun kini, sebuah momentum baru muncul dari tempat yang selama ini tidak masuk peta industri nasional: Bima, Nusa Tenggara Barat. Dengan akses energi hijau berbasis waste-to-steam, ketersediaan lahan industri yang luas, pelabuhan Badas yang dapat dikembangkan, serta letaknya yang strategis di simpul Bali-NTB-NTT, Bima muncul sebagai kandidat kuat pusat pertumbuhan baru Indonesia Timur.

Jika dikembangkan secara visioner dan konsisten, kawasan ini berpotensi menyumbang hingga triliunan rupiah nilai tambah ekonomi pada 2025-2030. Ini bukan sekadar proyek pembangunan, melainkan awal babak Indonesia yang dibangun dari Timur untuk menggerakkan kemajuan seluruh Nusantara.


Dari Pasir ke Wafer: Lompatan Nilai Tambah Berbasis Energi Hijau
Selama puluhan tahun Indonesia mengekspor pasir kuarsa sebagai bahan mentah tanpa nilai tambah. Padahal, dengan teknologi pemurnian tingkat tinggi dan energi hijau yang konsisten, Bima dapat memproduksi wafer silikon berkualitas 7N-8N, bahan dasar panel surya, semikonduktor, dan komponen elektronik dunia.

Produk bersertifikasi rendah karbon mampu memenuhi standar EU CBAM, membuka peluang ekspor bernilai tinggi dan menjadikan Indonesia pemain penting dalam rantai pasok global energi terbarukan.

Langkah ini bukan hanya industrialisasi, ini strategi kedaulatan teknologi. Indonesia tidak lagi hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi naik kelas sebagai produsen material kritis dunia.

Ekosistem Industri: Mesin Pertumbuhan Baru Indonesia Timur
Transformasi Bima berdiri di atas tiga pilar utama:

Pertama, manufaktur elektronik (EMS/ODM). Dari smart meter, perangkat IoT, alat kesehatan digital, modul Wi-Fi 7, hingga komponen satelit orbit rendah. Dengan demografi muda dan biaya tenaga kerja kompetitif, Bima berpotensi menjadi "Shenzhen mini" Indonesia Timur.

Kedua, pusat data hijau (green data center). Energi rendah karbon dari W2S dan PLTS menjadikan Bima lokasi ideal untuk membangun pusat data berdaulat yang mendukung layanan energi, pendidikan, kesehatan, dan sektor publik.

Ketiga, industri kendaraan listrik. Produksi hairpin motor kelas 120-320 kW dapat terkoneksi dengan rantai pasok nikel, baterai, dan logistik di Indonesia Timur. Ini memastikan bahwa bahan baku mineral Indonesia benar-benar diolah menjadi teknologi kendaraan masa depan, bukan lagi diekspor mentah.

Pembangunan Inklusif sebagai Jalan Menuju Indonesia Maju 2045
Indonesia membutuhkan lebih dari satu pusat gravitasi ekonomi. Bima dapat menjadi kota teknologi hijau pertama di Indonesia Timur, menciptakan puluhan ribu lapangan kerja, memperkuat pendidikan vokasi, serta mendorong tumbuhnya kelas menengah baru.

Dengan memulai industrialisasi dari daerah yang selama ini tertinggal, Indonesia menulis ulang arah pembangunan nasional, dari Jawa-sentris menjadi Nusantara-sentris. Indonesia tidak akan menjadi negara maju bila kemajuan hanya tumbuh di satu pulau.

Masa depan Indonesia harus dibangun dari Sabang sampai Merauke, dari Bima hingga Biak. Hari ini kita membuka babak baru, babak ketika Indonesia Timur berdiri sebagai pusat industri hijau, pusat teknologi, dan pusat kemandirian ekonomi bangsa.

Dari Bima, kita melangkah menuju Indonesia Maju 2045.


(miq/miq)