Energi Desa Jangan Jadi Proyek Mahal yang Menghasilkan Ketergantungan
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Indonesia sedang berada di tengah kompetisi energi paling menentukan dalam sejarah modern. Dan bangsa ini tidak boleh lagi menjadi pasar bagi teknologi mahal yang membuat desa-desa bergantung pada impor, sementara fiskal negara terkuras tanpa hasil jangka panjang. Terlalu lama publik diberi keyakinan bahwa kedaulatan energi bisa dibeli, padahal kedaulatan hanya dapat dibangun.
Dalam agenda elektrifikasi desa, ada dua jalan: jalan mahal yang meninggalkan ketergantungan, atau jalan murah yang membangun kemampuan nasional. Di atas kertas, PLTS off-grid tampak sebagai solusi mudah.
Kenyataannya jauh berbeda. Untuk memasok listrik 20 kW selama 24 jam, dibutuhkan lebih dari 110 kWp panel surya, baterai 350 kWh, inverter impor, dan sistem distribusi lokal.
Total investasi mencapai Rp 3,5 hingga 3,7 miliar per desa, dan yang paling membebani justru baterainya, dengan siklus penggantian setiap 7-8 tahun sekali. Biaya listrik mencapai Rp 3.000 per kWh hingga Rp 3.500 per kWh. Tidak ada industri lokal. Tidak ada nilai tambah. Tidak ada kemandirian.
Setiap gigawatt PLTS tanpa industri modul, wafer, inverter, dan baterai nasional pada dasarnya adalah proyek yang memperkaya negara lain. Indonesia kehilangan devisa, sementara desa tetap tidak mendapatkan ekosistem ekonomi yang hidup.
Namun bangsa ini tidak kekurangan jalan keluar. Bukti paling nyata dapat dilihat di Kundur, Riau, ketika pembangkit biomassa rakyat menyerap puluhan ton kayu dari kebun desa setiap hari, menyalakan listrik 24 jam dengan biaya jauh lebih rendah dibanding PLTS.
Warga justru mendapatkan penghasilan tambahan dari biomassa. Ekonomi lokal berputar. Energi tidak hanya menerangi, tetapi juga menghidupkan pendapatan. Inilah energi yang tidak membakar uang, tetapi menumbuhkan ekonomi rakyat.
Arah baru harus diperjelas: biomassa desa sebagai fondasi energi rakyat. Dengan tiga hektare kebun energi untuk setiap 100 keluarga, kombinasi kaliandra, bambu, kelapa, dan tanaman sela, desa mampu menghasilkan energi biomassa untuk pembangkit 20 kW yang menyala 24 jam.
Biaya listrik berkisar Rp 1.300 per kWh hingga Rp 1.500 per kWh, bahkan lebih murah dari beberapa tarif PLN di wilayah terpencil. Lebih penting lagi: seluruh teknologinya dapat dibuat di Indonesia.
Gasifier 20-25 kW, panel kontrol, inverter, feeder biomass, hingga sistem pengeringan dapat masuk ke dalam ODM energi nasional, membuka jalan bagi industri elektronik dan energi yang selama ini tidak memiliki pasar domestik yang stabil. Ini bukan teori. Bukan eksperimen. Ini adalah model industri energi berbasis desa yang benar-benar menciptakan pekerjaan, PDB, dan kedaulatan teknologi.
Di tengah tekanan fiskal dan peringatan lembaga internasional, bangsa ini justru harus memilih strategi energi yang paling efisien dan paling berdaulat:
energi yang tidak tergantung impor, tidak berbiaya tinggi, dan tidak mengabaikan rakyat dari rantai ekonomi.
Biomassa desa adalah bahan baku yang kita miliki. Gasifier adalah teknologi yang bisa kita rancang. Industri energi rakyat adalah masa depan yang harus dibangun. Saat dunia berkompetisi, Indonesia tidak boleh lagi berjalan dengan kaki orang lain. Kedaulatan energi harus tumbuh dari desa, dari biomassa, dan dari industri teknologi buatan bangsa sendiri.
(miq/miq)