Menyalakan Kedaulatan RI: Gotong Royong Jadi Fondasi Energi Nasional

Feiral Rizky Batubara,  CNBC Indonesia
17 December 2025 13:20
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan Pem.. Selengkapnya
PLN
Foto: Dok: PLN

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia sedang memasuki fase sejarah yang menentukan. Dunia bergerak cepat menuju perubahan besar dalam geopolitik, ekonomi, dan teknologi. Di tengah pergeseran itu, ada satu faktor yang akan menentukan apakah Indonesia mampu berdiri tegak sebagai bangsa berdaulat atau justru terseret arus kepentingan global, yaitu energi.

Energi bukan sekadar komoditas ekonomi atau urusan teknis tentang listrik, minyak, dan gas. Energi adalah fondasi kedaulatan negara. Bangsa hanya dapat menentukan nasibnya sendiri jika ia memiliki kendali atas sumber daya yang menghidupinya. Di titik inilah gotong royong, nilai Pancasila, dan pengerahan seluruh kapasitas nasional menemukan relevansi strategisnya.

Gotong royong adalah warisan sosial politik paling khas dari Indonesia. Ia bukan hanya tradisi kerja bakti di kampung, melainkan cara bangsa ini bertahan, tumbuh, dan menyatu sebagai komunitas politik.

Gotong royong menuntut kesediaan untuk menanggalkan kepentingan sempit demi keselamatan bersama. Dalam konteks energi, gotong royong menjadi jembatan antara peran negara, partisipasi masyarakat, dan kekuatan industri.

Tidak ada satu institusi pun yang mampu membangun, mengamankan, dan memanfaatkan energi sendirian. Pemerintah membutuhkan dukungan rakyat, masyarakat membutuhkan industri, dan industri membutuhkan arah kebijakan yang jelas serta konsisten. Semua saling terhubung dalam satu ekosistem nasional.

Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, memberi arah moral sekaligus operasional dalam pengelolaan energi. Persatuan tidak berhenti pada simbol atau emosi kebangsaan, tetapi menuntut pemerataan akses energi di seluruh wilayah. Tanpa keadilan energi, persatuan akan rapuh.

Ketimpangan akses listrik dan bahan bakar melahirkan ketimpangan ekonomi, dan ketimpangan ekonomi pada akhirnya melahirkan ketegangan sosial. Karena itu, pembangunan energi selalu merupakan proyek nasional. Energi tidak boleh dikendalikan oleh kepentingan segelintir pihak, melainkan harus menjaga keutuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Sila kelima Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menegaskan bahwa energi bukan sekadar barang dagangan, melainkan hak dasar warga negara. Keadilan energi berarti harga listrik yang terjangkau, pasokan yang andal, serta terbukanya peluang ekonomi baru melalui pengembangan teknologi energi bersih.

Keadilan energi juga berarti tidak ada daerah terpencil yang terus tertinggal karena jaringan listrik tak pernah hadir. Tidak ada kelompok masyarakat yang tersisih dalam proses transisi energi. Dan tidak ada generasi muda yang kehilangan masa depan akibat kebijakan energi yang keliru. Ketika sila kelima diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret, energi menjadi alat pemerataan, bukan sumber ketimpangan.

Untuk mewujudkan persatuan dan keadilan itu, Indonesia harus mengerahkan seluruh kapasitas nasionalnya. Pengerahan kapasitas nasional bukan sekadar respons terhadap krisis, melainkan cara pandang strategis bahwa negara harus bergerak dengan semua instrumen yang dimilikinya.

Mulai dari sumber daya alam, teknologi, lembaga pendidikan, riset dan inovasi, hingga diplomasi dan kekuatan sosial masyarakat. Di sinilah konsep strategi semesta yang diwariskan para pendiri bangsa kembali menemukan relevansinya. Ketahanan negara tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh ketahanan energi, ekonomi, pangan, informasi, dan nilai budaya yang menopangnya.

Dalam sektor energi, strategi semesta berarti membangun industri dari hulu hingga hilir, memperkuat infrastruktur yang aman dan berkelanjutan, serta menjadikan rakyat sebagai pemilik dan penggerak energi. Pada titik ini, koperasi energi mendapatkan posisi yang sangat strategis.

Koperasi energi adalah wujud modern dari gotong royong dalam skala ekonomi. Ia membuka ruang partisipasi rakyat sebagai pemilik panel surya bersama, pengelola mikrohidro, hingga pembangkit berbasis biomassa. Melalui koperasi, masyarakat tidak lagi hanya menjadi konsumen energi, tetapi ikut menentukan arah energi nasional.

Koperasi mampu menghimpun sumber daya lokal, membangun pembiayaan bersama, dan memastikan manfaat ekonomi kembali kepada anggotanya. Jika koperasi energi tumbuh luas di seluruh Indonesia, maka ketahanan energi akan menjadi kekuatan rakyat semesta.

Tantangan energi global ke depan semakin kompleks. Dunia sedang mengalami perebutan teknologi baterai, kendali atas mineral kritis, dan dominasi pasar energi bersih. Negara negara besar bergerak agresif mengamankan rantai pasok energi mereka.

Konflik geopolitik, krisis politik, dan persaingan industri global membuat harga energi semakin tidak stabil. Dalam situasi seperti ini, ketergantungan energi berarti kerentanan nasional. Ketergantungan energi akan menyeret ketergantungan ekonomi, dan pada akhirnya mengikis kedaulatan politik.

Indonesia tidak bisa berdaulat jika listriknya bergantung pada impor. Indonesia tidak bisa berdaulat jika industrinya tersendat akibat pasokan energi yang rapuh. Dan Indonesia tidak bisa berdaulat jika masa depannya dikendalikan oleh teknologi negara lain.

Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi energi yang luar biasa. Matahari, angin, air, panas bumi, biomassa, dan laut adalah anugerah yang memungkinkan Indonesia menjadi kekuatan energi baru dunia. Tantangannya bukan semata pada teknologi, melainkan pada kemauan untuk bekerja bersama.

Kemauan membangun ekosistem energi nasional yang kokoh. Kemauan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Serta kemauan untuk menyadari bahwa kedaulatan energi adalah bagian dari kedaulatan setiap warga negara.

Gotong royong energi dapat menjadi gerakan nasional menuju 2026. Tahun tersebut dapat menjadi momentum kebangkitan energi rakyat. Bayangkan ribuan koperasi energi tumbuh di desa, sekolah, dan kota. Bayangkan transisi energi yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama, bukan sekadar penerima kebijakan.

Bayangkan industri nasional memproduksi panel surya, baterai, turbin, dan sistem penyimpanan energi yang diserap oleh koperasi dan pemerintah daerah. Bayangkan pemerintah pusat memfasilitasi pembiayaan, riset, sertifikasi, dan pemasaran teknologi karya anak bangsa. Semua itu bukan mimpi, melainkan pilihan politik yang bisa diambil jika bangsa ini percaya pada kekuatannya sendiri.

Pada akhirnya, kedaulatan energi bukan hanya soal listrik yang menyala. Ia adalah soal martabat bangsa. Ia menentukan apakah Indonesia memasuki abad baru sebagai bangsa yang percaya diri atau bangsa yang terus bergantung.

Gotong royong adalah kunci untuk membuka pintu masa depan itu. Ketika nilai Pancasila, strategi semesta, dan partisipasi rakyat dipersatukan dalam kebijakan energi nasional, Indonesia memiliki modal kuat untuk melangkah menuju kedaulatan yang sejati.

Tahun 2026 harus dijadikan titik awal era baru energi Indonesia. Era ketika rakyat, pemerintah, dan industri berjalan dalam satu arah. Era ketika energi menjadi fondasi persatuan, keadilan, dan kemakmuran nasional.

Dengan komitmen kebijakan yang konsisten, keberanian politik, dan keberpihakan pada kekuatan rakyat, pemerintah memiliki peluang besar untuk menjadikan gotong royong energi sebagai warisan strategis bagi generasi berikutnya dan menyalakan cahaya kedaulatan Indonesia dari dalam negerinya sendiri.


(miq/miq)