Badai Geoekonomi dan Arah Baru Ekonomi Maritim-AI Indonesia
Tahun 2026, akan menjadi periode krusial bagi perekonomian Indonesia....
Oleh Asmiati Malik
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kawasan Asia saat ini berada pada titik perubahan besar. Pergeseran kekuatan global yang terjadi dalam dua dekade terakhir memperlihatkan bahwa pusat gravitasi ekonomi, politik, dan keamanan dunia semakin bergeser ke Timur.
Dalam konteks ini, kebangkitan China sering kali dibaca melalui lensa kekhawatiran, bahkan ancaman. Namun, membaca ulang dinamika geopolitik Asia justru menunjukkan gambaran yang lebih kompleks dan tidak sepenuhnya penuh dengan kekhawatiran.
Dalam tulisan di South China Morning Post, Veronica Lukito mengingatkan bahwa pertanyaan tentang apakah kebangkitan China baik bagi Asia cukup relevan. Ia menegaskan upaya untuk menghentikan kenaikan China telah gagal, dan hari ini satu-satunya cara menghentikan kebangkitan China adalah melalui perang yang akan menghancurkan dunia. Oleh karena itu, yang lebih penting bukanlah bagaimana mencegah Tiongkok bangkit, tetapi bagaimana Asia mengelola kebangkitan itu.
Asia yang Beragam, Bukan Satu Kawasan yang Seragam
Salah satu dasar membaca geopolitik Asia adalah memahami keragaman internalnya. Asia bukan Eropa. Tidak ada kerangka integrasi ekonomi menyeluruh, apalagi institusi politik supranasional yang menyerupai Uni Eropa.
Asia adalah rumah bagi demokrasi terbesar di dunia, negara-negara otoritarian yang kuat, ekonomi hijau, serta negara berkembang yang masih mencari arah. Keragaman ini membuat dominasi tunggal sangat sulit terjadi. China boleh menjadi raksasa ekonomi, tetapi pengaruh politiknya tetap dibatasi oleh dua faktor utama.
Pertama, kawasan Asia masih sangat bergantung pada Amerika Serikat untuk urusan keamanan. Terlepas dari penurunan relatifnya, AS tetap menjadi aktor militer paling dominan, dengan jaringan aliansi yang tidak dapat ditandingi oleh siapa pun dalam waktu dekat.
Kedua, negara-negara Asia, dari India hingga Jepang, dari Korea Selatan hingga ASEAN, memiliki kepentingan masing-masing dalam menjaga otonomi strategis. Mereka tidak akan mudah membiarkan satu kekuatan mendominasi kawasan.
Kebangkitan China: Tantangan atau Keseimbangan Baru?
Bagi banyak negara Asia, kebangkitan China membawa ambivalensi. Di satu sisi, ada ketergantungan ekonomi yang semakin kuat. Di sisi lain, ada kecemasan tentang skala dan arah kekuasaan China. Namun, kita perlu membaca ulang dinamika kawasan untuk memberikan sudut pandang yang lebih seimbang.
China tidak ingin mengulang kesalahan Amerika Serikat atau Uni Soviet sebagai hegemoni global. Seperti halnya yang dituliskan Veronica yang berjudul "Kebangkitan China Baik Untuk Asia", Beijing tidak ingin menjadi hegemoni global berikutnya.
China lebih pragmatis daripada ideologis; lebih berhitung daripada ekspansionis tanpa batas. China telah menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi utama Asia. Integrasi perdagangan, rantai pasok, investasi, dan pembangunan infrastruktur telah meningkatkan kesejahteraan banyak negara. Tantangan tentu ada, tetapi kontribusi ekonomi China tidak dapat diabaikan.
Kehadiran China yang kuat membuat stabilitas kawasan tidak lagi bergantung pada satu kekuatan saja. Di sinilah peluang muncul. Persaingan dua kekuatan besar, selama dikelola dengan baik justru membuka ruang bagi negara-negara Asia untuk memperkuat kemandirian mereka. Asia bukan hanya penonton dalam kompetisi China-AS, tetapi memiliki kapasitas untuk mengatur jarak, memilih kepentingan, dan memanfaatkan dinamika baru ini.
Hedging: Strategi yang Rasional di Kawasan yang Tidak Pasti
Dalam lanskap geopolitik seperti ini, banyak negara Asia memilih strategi hedging yaitu tidak memihak secara ekstrem, tetapi membangun hubungan baik dengan kedua pihak. Strategi ini sering dikritik sebagai tidak tegas, padahal justru mencerminkan kecerdasan geopolitik.
Indonesia misalnya, tidak berkepentingan untuk menjadi bagian dari blok mana pun. Kepentingan nasional kita justru terletak pada kawasan yang stabil, terbuka, dan tidak terpolarisasi secara kaku. Dengan demikian, menjaga hubungan konstruktif dengan China sekaligus mempertahankan kerja sama strategis dengan Amerika Serikat adalah langkah realistis.
Strategi ini bukan hanya pilihan Indonesia, tetapi juga dilakukan oleh banyak negara Asia Tenggara, India, dan bahkan negara-negara Timur Laut Asia yang memiliki hubungan lebih problematik dengan China.
Asia Sedang Menulis Babak Barunya
Kebangkitan China mengubah Asia, tetapi bukan berarti kawasan ini kehilangan ruang untuk menentukan nasib sendiri. Justru dalam struktur multipolar yang sedang terbentuk, negara-negara Asia memiliki peluang untuk memainkan peran yang lebih konstruktif, lebih mandiri, dan lebih pengaruh.
Narasi bahwa China akan menguasai Asia secara total adalah penyederhanaan yang tidak sesuai dengan realitas. Asia terlalu besar, terlalu beragam, dan terlalu dinamis untuk dikuasai satu aktor.
Tantangannya jelas ada, tetapi peluangnya tidak kalah besar. Yang kita perlukan adalah kemampuan membaca konteks, merumuskan kepentingan nasional dengan tegas, dan menavigasi kompetisi besar dengan kecerdasan strategis.
Karena pada akhirnya, masa depan Asia tidak ditentukan oleh China atau Amerika Serikat semata melainkan oleh kemampuan negara-negara Asia sendiri untuk membentuk arah sejarah kawasan.
Tahun 2026, akan menjadi periode krusial bagi perekonomian Indonesia....
Oleh Asmiati Malik
Pada akhirnya, dunia berada di persimpangan yang sama seperti tahun 1994 ant...
Oleh Muhammad Arbani
Efisiensi yang dimulai dari penghapusan tantiem hingga pencabutan tunjangan ...
Oleh Dr. Anggawira
Air mata rakyat di jalanan jangan lagi jatuh sia-sia. Ia harus menjadi titik...
Oleh Kuntjoro Pinardi