Menagih Janji Direktorat Jenderal Pajak untuk Evaluasi Kebijakan TER
Bagi setiap korporasi, akhir tahun tidak hanya soal perayaan menyambut pergantian tahun dan menyusun target tahun depan. Tetapi juga soal rutinitas lain yang cukup pelik, yaitu menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak karyawan.
Memang, dalam dua tahun terakhir, rutinitas menghitung pajak karyawan tahunan itu semakin menantang. Terutama, sejak berlakunya mekanisme penghitungan PPh pasal 21 menggunakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER).
Ketentuan itu diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023. Sebetulnya, membuat proses hitung PPh Pasal 21 bulanan lebih mudah, tetapi menimbulkan konsekuensi di akhir tahun.
Dengan tarif TER, perusahaan tidak perlu lagi dipusingkan dengan beragam variable ketika menghitung PPh Pasal 21 pada bulan Januari-November. Misalnya, tidak perlu pusing dengan kategori penghasilan teratur dan tidak teratur, hingga biaya-biaya pengurang penghasilan seperti biaya jabatan dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dengan TER, pemotongan PPh 21 cukup dilakukan dengan mengalikan tarif efektif dengan penghasilan bruto. Jadi, tidak perlu lagi menghitung satu per satu komponen pengurang seperti skema lama.
Bukan Tarif Aktual
Perlu dipahami, TER bukanlah tarif tunggal yang menggantikan semuanya. Berdasarkan PP 58 Tahun 2023, pemotongan PPh 21 sebetulnya masih mengacu pada dua sistem tarif, yaitu tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh dan tarif efektif (TER) itu sendiri.
Dalam praktiknya, perusahaan menggunakan TER setiap bulan, dari Januari hingga November, untuk memotong pajak karyawan. Lalu pada Desember, semua perhitungan dikoreksi kembali menggunakan tarif progresif aktual.
Di titik inilah persoalan muncul. Selisih antara hasil pemotongan menggunakan TER bulanan dan perhitungan aktual akhir tahun menghasilkan kondisi "kurang bayar" atau "lebih bayar". Jika terjadi kurang bayar, perusahaan harus menanggung kekurangannya di bulan Desember.
Namun jika lebih bayar, perusahaan justru berkewajiban mengembalikan kelebihan potongan kepada karyawan. Aturan ini bahkan tetap berlaku meskipun karyawan yang bersangkutan sudah tidak lagi bekerja di perusahaan tersebut.
Dampak pada Tren Penerimaan
Data APBN KITA mencatat fenomena yang mengkhawatirkan. Sejak diterapkannya TER, lebih bayar PPh 21 mencapai Rp16,5 triliun hanya dalam dua bulan pertama tahun 2025. Angka ini membuat penerimaan PPh 21 anjlok dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Ironisnya, kebijakan yang digadang-gadang sebagai simplifikasi justru menimbulkan distorsi baru dalam arus kas negara maupun korporasi.
Bagi perusahaan, dampaknya terasa langsung pada likuiditas. Mereka harus menyediakan dana ekstra untuk menutup kekurangan bayar di akhir tahun, sekaligus menanggung risiko pengembalian lebih bayar kepada karyawan.
Di sisi lain, jika perbedaan antara estimasi dan realisasi terlalu besar, manajemen keuangan bisa terganggu, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah yang tidak memiliki ruang arus kas longgar.
Lebih rumit lagi, bagi Wajib Pajak Bukan Pegawai, skema TER menciptakan ketidakjelasan baru. Ketika terjadi lebih bayar, siapa yang sebenarnya berhak mengajukan restitusi, perusahaan atau individu penerima penghasilan?
Jika beban administratif itu dialihkan ke Wajib Pajak, maka mereka harus menghadapi prosedur restitusi yang panjang dan tidak jarang melelahkan, mulai dari pengumpulan dokumen hingga proses klarifikasi dengan otoritas pajak.
Dalam konteks ini, klaim penyederhanaan terasa paradoks dengan faktanya. Bukannya mempermudah, TER justru berpotensi memindahkan kerumitan dari awal tahun ke akhir tahun.
Bagi banyak pelaku usaha, terutama yang memiliki jumlah karyawan besar, mekanisme ini berarti tambahan biaya administrasi dan risiko arus kas yang lebih besar, sebuah "cost of doing business" baru yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.
TER Idealnya Opsional
Dalam beberapa kesempatan DJP menyatakan bahwa struktur TER akan dievaluasi dan disesuaikan bila diperlukan. Pernyataan itu kini layak ditagih realisasinya. Sebab, jika penerapan TER tetap dijalankan tanpa koreksi, maka yang terjadi bukanlah simplifikasi, melainkan ketidakadilan yang tersembunyi di balik narasi efisiensi.
Penyederhanaan seharusnya diarahkan pada segmen yang memang membutuhkan kemudahan, seperti UMKM yang belum memiliki sistem payroll memadai. Sementara bagi perusahaan menengah dan besar yang telah lama menggunakan perangkat lunak penggajian otomatis, penerapan TER justru memaksa mereka melakukan penyesuaian sistem baru yang tidak perlu, bahkan menambah biaya implementasi.
Kebijakan pajak tidak boleh berhenti pada tujuan teknokratis semata. Ia harus berpijak pada prinsip keadilan dan kemampuan membayar. Ketika simplifikasi menciptakan beban baru yang tidak proporsional bagi sebagian pihak, maka kebijakan itu kehilangan esensinya.
TER mungkin dimaksudkan untuk mempermudah, namun tanpa koreksi yang tepat, ia justru bisa menjadi simbol dari simplifikasi yang gagal memahami realitas pelaku usaha. Pemerintah perlu berani mengakui hal itu dan segera menepati janjinya untuk melakukan evaluasi sebelum akhir tahun membawa kompleksitas baru bagi semua pihak.
(miq/miq)