Energi, Alam, dan Jalan Pulang Nusantara

Feiral Rizky Batubara,  CNBC Indonesia
09 November 2025 23:36
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan Pem.. Selengkapnya
pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH)
Foto: Ilustrasi PLTMH. (Dokumentasi Kementerian ESDM)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Setiap pagi di tanah ini, matahari terbit dengan kesetiaan yang sama. Ia menyalakan sawah, gunung, dan laut, memberi kehidupan tanpa pamrih. Namun di bawah sinar yang sama, sebagian manusia hidup dalam kelimpahan sementara sebagian lain berjuang menyalakan pelita kecil di malam hari.

Energi, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kerap berubah menjadi sumber ketimpangan. Di sinilah Indonesia menghadapi ujian besar: bagaimana memastikan energi tidak hanya menerangi gedung dan pabrik, tetapi juga membawa keadilan, kesejahteraan, dan kelestarian bagi seluruh rakyat serta bumi tempat kita berpijak.

Kita sering berbicara tentang ketahanan energi dalam bahasa angka: cadangan minyak, kapasitas listrik, dan target bauran energi. Tetapi jarang kita berbicara tentang
makna spiritual energi itu sendiri. Dalam pandangan budaya Nusantara, energi bukan benda mati, melainkan daya kehidupan yang menembus semua wujud.

Ia hadir dalam aliran air, dalam desir angin, dalam bara api, dalam denyut jantung manusia. Energi bukan sekadar hasil teknologi, tetapi perwujudan hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi. Ketika manusia kehilangan kesadaran akan hubungan itu, energi kehilangan maknanya dan menjadi alat keserakahan.

Falsafah hidup masyarakat Nusantara sejak lama menempatkan keseimbangan sebagai dasar kehidupan. Alam bukan objek yang harus dikuasai, melainkan sahabat
yang harus dijaga. Prinsip memayu hayuning bawana mengajarkan bahwa tugas manusia adalah memperindah dan melestarikan dunia, bukan mengurasnya. Sementara ungkapan urip iku urup mengingatkan bahwa hidup yang sejati adalah hidup yang memberi terang, memberi manfaat bagi sesama.

Dalam dua ajaran sederhana itu terkandung pandangan ekologis yang mendalam. Energi sejati bukan yang diambil sebanyak-banyaknya, tetapi yang dikelola dengan kesadaran, dibagi dengan keadilan, dan dijaga agar terus menghidupi semua makhluk.

Jika kita membaca kembali kearifan Nusantara, manusia ditempatkan sebagai penjaga keseimbangan antara bumi dan langit. Manusia dipahami sebagai kesatuan antara cipta, rasa, dan karsa, yang berarti pikiran, perasaan, dan kehendak. Ketika ketiganya selaras, manusia mampu hidup harmonis dengan semesta. Tetapi ketika
cipta menguasai tanpa rasa, dan karsa berlari tanpa arah, maka yang lahir adalah kerakusan dan kehancuran.

Krisis energi yang kita hadapi hari ini bukan semata krisis sumber daya, melainkan krisis kesadaran. Kita telah lama lupa bahwa bumi memiliki batas, dan lupa bahwa kemakmuran sejati lahir dari keseimbangan, bukan dari penguasaan.

Indonesia memiliki anugerah alam yang luar biasa. Matahari yang tak pernah absen, angin yang berhembus sepanjang tahun, air yang mengalir dari ribuan gunung, dan tanah yang subur dari Sabang hingga Merauke. Potensi energi terbarukan itu cukup untuk menerangi seluruh negeri.

Namun tantangan terbesar bukan pada teknologi, melainkan pada cara pandang. Selama energi diperlakukan sebagai komoditas untuk keuntungan segelintir pihak, ketimpangan akan terus tumbuh. Energi yang berdaulat seharusnya menempatkan manusia dan alam sebagai pusat, bukan pasar dan laba. Energi yang berkeadilan adalah yang memberi ruang bagi desa-desa untuk tumbuh, bagi rakyat kecil untuk mandiri, bagi bumi untuk bernafas.

Budaya Nusantara menyimpan nilai yang bisa menjadi panduan baru bagi arah pembangunan energi: kesederhanaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap
alam. Gotong royong bukan hanya tentang kerja bersama, tetapi tentang kesadaran bahwa kehidupan adalah saling bergantung. Air yang jernih di hulu menentukan padi di hilir, hutan yang tegak menentukan udara yang kita hirup.

Dalam semangat itu, kemandirian energi di tingkat lokal harus menjadi jalan ke depan. Desa yang memanfaatkan tenaga surya, mikrohidro, atau biomassa bukan sekadar proyek teknis, tetapi perwujudan kedaulatan rakyat atas sumber kehidupan mereka sendiri.

Sikap nrimo ing pandum yang sering disalahartikan sebagai kepasrahan sebenarnya adalah kebijaksanaan ekologis. Ia mengajarkan bahwa manusia harus hidup sesuai
kemampuan alam, bukan memaksakan kehendak di luar batasnya. Dalam bahasa modern, ini berarti pembangunan berkelanjutan. Energi yang diambil secukupnya dan
digunakan sebijaknya akan menjaga keseimbangan ekosistem.

Energi yang digunakan dengan serakah akan mengundang kerusakan. Kesadaran ini bukan romantisme masa lalu, melainkan kebutuhan masa depan. Dunia yang kehilangan kendali atas konsumsi energinya kini mulai mencari nilai-nilai yang justru telah lama hidup di bumi Nusantara.

Falsafah keilahian dalam kebudayaan Nusantara juga menegaskan bahwa semua energi bersumber dari Yang Maha Kuasa. Karena itu, manusia tidak berhak memperlakukannya dengan kesombongan. Dalam doa-doa petani dan nelayan, kita mendengar rasa syukur yang tulus setiap kali alam memberi hasil.

Dalam ritual desa, masyarakat memohon izin kepada bumi sebelum menanam, kepada laut sebelum melaut. Semua itu bukan takhayul, melainkan bentuk penghormatan spiritual terhadap sumber kehidupan. Bila nilai-nilai seperti ini dihadirkan kembali dalam kehidupan modern, maka hubungan kita dengan energi tidak lagi bersifat eksploitatif, tetapi penuh tanggung jawab.

Ketahanan energi yang berkeadilan dan berkesinambungan tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial. Jurang antara yang terang dan yang gelap, antara yang berlimpah energi dan yang hidup dalam kekurangan, adalah bentuk ketimpangan yang harus dihapus. Energi harus menjadi hak setiap warga negara, bukan hak istimewa bagi mereka yang mampu membayar.

Pemerataan akses energi bersih akan membuka jalan bagi pengentasan kemiskinan, meningkatkan pendidikan, dan menumbuhkan kemandirian ekonomi. Ketika listrik menyala di desa terpencil, yang menyala bukan hanya lampu, tetapi juga harapan.

Untuk mewujudkan itu, bangsa ini perlu membangun sistem nilai baru yang bersumber dari jati dirinya sendiri. Nilai yang melihat energi bukan sebagai alat eksploitasi, tetapi sebagai amanah. Nilai yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam, bukan tuan atasnya. Nilai yang menjadikan kesejahteraan bersama lebih penting daripada keuntungan pribadi. Dengan kesadaran ini, kebijakan energi akan berpihak pada kehidupan, bukan pada angka pertumbuhan semata.

Pendidikan pun harus menanamkan kesadaran ekologis sejak dini. Anak-anak perlu diajak mencintai alam bukan hanya lewat pelajaran, tetapi lewat pengalaman, menanam pohon, menghemat air, menyalakan lampu seperlunya, karena dari kesadaran kecil itulah lahir peradaban besar.

Di tengah pusaran dunia modern yang penuh ambisi, nilai-nilai kebijaksanaan Nusantara mengingatkan kita untuk menapaki jalan tengah. Jalan yang tidak menolak
kemajuan, tetapi menuntun agar kemajuan tidak menghapus kemanusiaan. Jalan yang tidak menolak teknologi, tetapi memastikan teknologi berpihak pada kehidupan.
Jalan yang tidak menolak kekuatan, tetapi menundukkannya pada kasih.

Ketahanan energi yang sejati akan lahir dari harmoni antara pengetahuan dan kebijaksanaan,antara akal dan rasa, antara manusia dan semesta. Arah itu sesungguhnya adalah jalan pulang bangsa ini. Jalan yang menuntun kita kembali kepada kesadaran bahwa bumi bukan warisan, melainkan titipan. Bahwa
energi bukan hak milik, melainkan tanggung jawab.

Dan bahwa kemakmuran sejati bukan diukur dari seberapa banyak yang kita kuasai, tetapi seberapa dalam kita bersyukur dan berbagi. Bila kesadaran itu tumbuh dalam diri pemimpin dan rakyat, maka Indonesia akan menemukan bentuk kedaulatannya yang sejati. Energi akan menjadi jembatan menuju kemakmuran yang berkeadilan, beradab, dan selaras dengan alam semesta.

Pada akhirnya, tugas manusia Nusantara bukan menaklukkan bumi, tetapi menjaganya agar terus hidup. Sebab hanya dengan menjaga kehidupan, kita dapat
memastikan bahwa nyala energi bangsa ini tidak pernah padam.


(miq/miq)