Monopoli Data, Monopoli Pasar

Di meja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli) sedang dibahas untuk direvisi. UU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas) 2025.
Namun nampaknya tidak bisa rampung di tahun ini, karena itu di Prolegnas 2026 kembali muncul. Menariknya, di Prolegnas 2026 terdapat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), yang juga akan direvisi. Padahal, UU ini bahkan belum sepenuhnya diimplementasikan secara efektif, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang urgensi dan arah revisinya.
Perlu digarisbawahi, UU PDP menurut kacamata persaingan usaha adalah sangat penting. Ia tidak hanya melindungi hak konstitusional warga negara atas privasi, tetapi juga menciptakan kerangka hukum baru dalam tata kelola data digital--yang sangat relevan dengan isu persaingan usaha di ekosistem bisnis digital.
Ketika Data Menjadi Senjata Strategis
Dominasi segelintir platform digital global telah membongkar keterbatasan pendekatan antimonopoli konvensional yang cenderung berfokus pada harga. Model bisnis mereka mengandalkan dua kekuatan sentral, yaitu efek jaringan (network effects)--semakin banyak pengguna, semakin kuat posisi mereka--dan penguasaan data skala besar.
Konsep data-driven network effects, yang dielaborasi secara tajam oleh Morton dkk (2025), menjelaskan bagaimana data telah bertransformasi. Data kini bukan sekadar aset operasional, melainkan senjata strategis yang mampu meredam persaingan (weaponized asset).
Platform yang berhasil mengumpulkan data dalam jumlah masif dapat memanfaatkannya untuk menyempurnakan algoritma, meningkatkan prediksi perilaku pengguna, dan secara efektif memperkuat posisi dominannya.
Ini menciptakan hambatan masuk (barriers to entry) yang hampir tak tertembus bagi pesaing baru, terutama startup dan UMKM yang kekuatan utamanya terletak pada agilitas dan inovasi, bukan penguasaan data. Fenomena ini tidak hanya membatasi inovasi, tapi juga mengancam kedaulatan data nasional, di mana data warga Indonesia dimanfaatkan tanpa manfaat yang seimbang bagi ekonomi domestik.
Oleh karena itu, revisi UU Antimonopoli harus bersifat holistik. Ia harus merangkul prinsip-prinsip pelindungan data sebagai jantung strateginya. Sinergi antara UU Antimonopoli dan UU PDP bukan pilihan, tapi keharusan untuk mewujudkan pasar di mana setiap pelaku, dari startup hingga UMKM, mendapatkan manfaat setara atas kontribusinya.
Tanpa sinergi ini, Indonesia berisiko tertinggal dalam era ekonomi digital global, di mana negara-negara seperti Uni Eropa telah maju dengan regulasi progresif.
Membangun Pasar Digital yang Adil dan Dinamis
Untuk membangun pasar digital yang dinamis dan sehat, dua prinsip utama harus diterapkan, yaitu interoperabilitas dan portabilitas data. Interoperabilitas berarti kemampuan berbagai sistem untuk saling terhubung dan bertukar data dengan lancar. Ini adalah senjata ampuh melawan kekuatan pasar yang didorong oleh efek jaringan.
Di tingkat global, regulasi seperti Digital Markets Act (DMA) di Uni Eropa sudah mewajibkan platform besar untuk lebih terbuka. Berkat DMA, platform perantara (gatekeeper) seperti WhatsApp diwajibkan membuka diri untuk interoperabilitas dengan aplikasi pesan lain.
Sementara itu, Apple dipaksa untuk membuka akses terhadap Application Programming Interface (API) inti sistem operasinya (iOS) bagi pengembang pihak ketiga, merobohkan tembok tinggi ekosistem yang selama ini membatasi persaingan. Hal ini meruntuhkan switching costs--hambatan untuk beralih--yang selama ini mengunci pengguna dalam satu ekosistem.
Dalam konteks Indonesia, penerapan prinsip serupa melalui API yang terbuka dan standar dapat menjadi napas segar bagi UMKM dan startup lokal. Bayangkan seorang pelaku UMKM di marketplace lokal dapat mengintegrasikan sistemnya langsung dengan layanan logistik, pembayaran, atau pemasaran dari berbagai penyedia tanpa terikat pada satu platform dominan.
Ini akan mendorong efisiensi, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi inklusif, di mana pelaku usaha kecil tidak lagi menjadi korban dominasi raksasa digital.
Namun, interoperabilitas tanpa hak portabilitas data yang dijamin UU PDP akan menjadi infrastruktur kosong. Portabilitas--kemampuan memindahkan data pribadi secara mudah, aman, dan dalam format yang dapat digunakan ulang (machine-readable)--adalah kendaraan yang mengaktifkan persaingan. Dengan portabilitas yang efektif, pengguna dapat membawa "reputasi" dan riwayat transaksinya, mengurangi switching costs dan ketergantungan pada satu platform.
Revisi UU PDP harus memperkuat dan mempermudah pelaksanaan hak portabilitas ini, mengubah data dari aset privat yang dimonopoli menjadi sumber daya yang dapat dialirkan untuk mendorong persaingan sehat. Ini juga akan melindungi privasi warga, mencegah penyalahgunaan data yang sering terjadi di platform global.
Ekonomi platform telah menciptakan ketimpangan dalam pembagian nilai (value distribution). Nilai yang diciptakan oleh jutaan pengguna melalui efek jaringan seringkali tidak diimbangi dengan imbalan yang setara, namun terisap ke dalam profit platform dominan. Mekanisme data-driven network effects inilah yang memperparah ketidakadilan tersebut.
Revisi UU Antimonopoli perlu mengadopsi pemahaman modern tentang keadilan ini, memastikan pengguna dan pelaku usaha menikmati manfaat yang proporsional. Karena itu, praktik diskriminasi seperti penetapan komisi yang tidak transparan atau self-preferencing (pemberian prioritas pada produk platform sendiri) harus ditegaskan dan diatur secara eksplisit larangannya.
Sementara itu, UU PDP berperan krusial dalam membatasi kemampuan platform menggabungkan data dari berbagai layanan tanpa persetujuan yang sah (Pasal 21 dan Pasal 40). Praktik penggabungan data ini seringkali menjadi bahan bakar praktik diskriminasi algoritmik dan penyalahgunaan kekuasaan pasar.
Semoga saja, momentum revisi UU Antimonopoli dan UU PDP menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk tidak sekadar mengejar target, tetapi melompat ke depan. Revisi kedua undang-undang ini bukan sekadar proyek legislasi teknis, melainkan sebuah investasi strategis untuk mewujudkan ekosistem digital yang inklusif--di mana inovasi lokal berkembang, persaingan sehat terjaga, dan hak setiap warga negara dilindungi sepenuhnya.
Dengan sinergi ini, Indonesia dapat membangun pasar digital yang berdaulat, di mana manfaat teknologi benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat, bukan hanya segelintir korporasi global.
(miq/miq)