Dari Lombok ke Panggung Dunia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di Desa Banyumulek, Lombok, suara langkah kaki para pengrajin berpadu dengan aroma tanah liat yang membentuk gerabah. Irama sederhana itu seperti doa yang dibentuk dari kesabaran dan keyakinan. Di balik jemari yang terlatih itu, tersimpan kisah tentang sebuah perubahan besar. ketika dunia menyaksikan melewati lintasan aspal di Mandalika, membawa angin baru bagi desa kecil yang dulu hanya dikenal dari peta.
"Sejak MotoGP banyak wisatawan datang, penjualan gerabah kami meningkat, alhamdulillah mas," tutur Ibu Jumiati dengan senyum sumringah. Kalimat itu sederhana, tapi di baliknya tersimpan gema kebanggaan. Gelaran Pertamina Grand Prix of Indonesia tak lagi sekadar pesta kecepatan. Ia menjelma menjadi jembatan rezeki, penghubung antara keringat dan harapan, antara tangan pengrajin dan mata dunia yang kini menatap ke arah Lombok. Craft is not just made by hands, but carried by generations.
Denyut kehidupan itu terus berlanjut, bergetar hingga ke jantung Lombok, tepatnya di Desa Sade. Dari jalanan berdebu sampai hamparan sawah yang berkilau, desa ini menjadi saksi bagaimana sebuah ajang balap dunia menyalakan "pembakaran sempurna" bukan hanya pada balap motor, namun juga dari hati manusia. MotoGP Mandalika bukan sekadar menyalakan mesin, tetapi menyalakan kehidupan.
Di panggung tanah adat itu, dua pria berhadapan dalam tarian Peresean. Salah satu tradisi perang yang tak dimaksudkan untuk menyakiti, melainkan untuk menunjukkan keberanian dan sportivitas. Tongkat rotan dan tameng kulit kerbau mereka seakan beradu, seolah meniru dentum mesin-mesin yang berpacu di lintasan. Sama-sama berani, sama-sama mengagungkan sportivitas, sama-sama hidup dari adrenalin yang menyala.
Dan ketika para pembalap dunia menjejak tanah Lombok, mereka tak hanya singgah untuk berkompetisi. Mereka larut dalam pesona. Ada yang duduk menikmati senja di pantai, ada yang ikut menenun sabar bersama para Perempuan di desa. Dari kecepatan, mereka belajar sebuah ketenangan, dari kebisingan mereka menemukan kedamaian. Seolah Mandalika mengajarkan bahwa kehidupan bukan hanya tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling tulus dalam setiap perjalanan.
Namun siapa sangka , di balik gemerlapnya tayangan dan sorak penonton, ada simfoni lain yang jarang terlihat. Sebuah konser besar yang tak akan lahir tanpa harmoni ribuan tangan. Ada petugas kebersihan yang diam-diam menyapu jejak kaki di tribun, security yang berdiri tegak menjaga aman di bawah terik matahari, marshal yang terjaga di setiap tikungan, pun tenaga medis yang menjadi garda terdepan melindungi nyawa. Bahkan para UMKM makanan maupun F&B yang menyuguhkan minuman dan makanan bagi ribuan pengunjung, ialah bagian dari orkestra yang sama dengan budaya Indonesia, gotong royong.
Mereka bekerja tanpa tepuk tangan, tapi justru merekalah yang membuat panggung ini berdiri tegak. Dari kerja keras itu, lahir sebuah resonansi besar. Pertamina Grand Prix of Indonesia bukan hanya menghadirkan balapan, tapi juga memperlihatkan identitas bangsa. Bangsa yang berdiri karena kerja sama dengan tulus kepada dunia.
Mandalika, pada akhirnya, bukan sekedar sirkuit balap. Ia adalah panggung peradaban. Di sanalah kecepatan bertemu keindahan, kerja keras bertemu kebanggaan, dan budaya bertemu dengan kemajuan. Dari sabang sampai merauke, gema energinya terdengar menjadi simbol bahwa bangsa ini mampu berdiri sejajar di mata dunia, karena semangat terbarukan di baliknya.
Dan lihatlah kini, bukti itu telah terukir. Capaian jumlah penonton meningkat 15% dibanding tahun sebelumnya. Okupansi penginapan hampir mencapai 100%, dan lebih dari 2.000 pekerja lokal terlibat dalam penyelenggaraan ajang ini. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, melainkan denyut nadi yang hidup, bukti bahwa setiap tarikan gas di Mandalika menciptakan efek berantai yang nyata. Sebuah multiplier effect yang mengalir dari sirkuit hingga ke ladang, dari tribun ke hingga pasar, dari suara mesin ke suara hati. Di Mandalika, kecepatan ternyata bisa menumbuhkan kehidupan. Dan mungkin, di antara raungan mesin dan riuh tepuk tangan itu, kita bisa mendengar sesuatu yang lebih lembut. suara bangsa yang sedang bermimpi, dan kini perlahan-lahan, sedang mewujudkannya. Dari Pertamina, untuk Indonesia.