LawMacro dan Masa Depan Hukum Persaingan

Ukay Karyadi, CNBC Indonesia
09 October 2025 13:27
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi seorang ekonom, mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelum terpilih menjadi Komisioner KPPU 2018-2023, Ukay merupakan Tenaga Ahli DPR-RI (2015-2018) dan Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan (2011-2014). Selain itu, le.. Selengkapnya
Suasana gedung bertingkat tertutup kabut polusi udara di Jakarta, Selasa (8/8/2023). Pemprov DKI Jakarta mengimbau warga menggunakan masker untuk mengantisipasi polusi udara di Ibu Kota akibat polusi udara Jakarta dinilai sangat buruk.  (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Potret gedung-gedung bertingkat di Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Persaingan usaha yang sehat selama ini dipahami sebagai arena di mana pasar beroperasi secara efisien, tanpa campur tangan berlebihan dari negara. Di banyak yurisdiksi, termasuk Indonesia, kerangka hukum persaingan usaha dibangun di atas prinsip-prinsip Law and Economics (LawEcon): kepastian hukum, efisiensi alokatif, dan kepercayaan pada mekanisme desentralisasi.

Namun, dalam dunia yang semakin rentan terhadap guncangan makroekonomi-resesi global, krisis energi, atau pandemi-muncul pertanyaan mendasar: apakah hukum persaingan usaha harus tetap kaku, atau justru belajar mengikuti irama ekonomi?

Munculnya pendekatan Law and Macroeconomics (LawMacro), sebagaimana dikemukakan Bruno Meyerhof Salama (2025), menawarkan perspektif segar. LawMacro bukan sekadar memasukkan variabel makroekonomi ke dalam analisis hukum-hal yang sebenarnya sudah lama dilakukan-melainkan menandai pergeseran ideologis yang dalam: penerimaan terhadap ekonomi Keynesian, yang menekankan peran aktif negara dalam mengelola permintaan agregat dan menstabilkan siklus bisnis.

Dalam konteks persaingan usaha, ini berarti hukum tidak lagi dipandang sebagai aturan abadi yang berlaku sama di segala musim, melainkan sebagai instrumen yang bisa-dan bahkan seharusnya-disesuaikan dengan kondisi ekonomi makro.

Dasar teoretis LawMacro terletak pada dua pilar utama. Pertama, ekonomi Keynesian yang menolak asumsi money neutrality dan menekankan bahwa pasar tidak selalu mencapai full employment secara alami, karena itu intervensi negara diperlukan untuk mengatasi kegagalan agregat.

Kedua, teori second-best, yang menyatakan bahwa dalam dunia yang penuh distorsi (seperti resesi atau ketimpangan struktural), memperbaiki satu pasar secara parsial-misalnya dengan menegakkan larangan kartel secara kaku-bisa justru memperburuk kesejahteraan secara keseluruhan.

Contoh nyata dapat dilihat dari respons Amerika Serikat terhadap krisis keuangan 2008. Saat itu, Departemen Kehakiman AS (melalui Antitrust Division-nya) secara eksplisit mengumumkan bahwa akan mengurangi penegakan hukum antitrust terhadap merger di sektor perbankan selama masa krisis.

Alasannya bukan karena prinsip persaingan diabaikan, melainkan karena pemerintah menilai bahwa stabilitas sistem keuangan lebih mendesak daripada menjaga struktur kompetitif jangka panjang. Langkah ini selaras dengan argumen Yair Listokin dalam Law and Macroeconomics: Legal Remedies for Recessions (2019), yang menyarankan agar hukum antitrust atau antimonopoli berfungsi sebagai "stabilisator otomatis" yang bersifat countercyclical.

Di Uni Eropa, pendekatan serupa muncul selama pandemi. Komisi Eropa, yang biasanya ketat dalam mengawasi bantuan negara (state aid), sementara melonggarkan aturan tersebut melalui Temporary Framework for State Aid Measures pada Maret 2020. Kerangka ini memungkinkan negara anggota memberikan subsidi langsung, jaminan pinjaman, dan restrukturisasi utang kepada perusahaan yang terdampak-langkah yang dalam kondisi normal akan dianggap sebagai distorsi persaingan.

Namun, dalam konteks resesi akibat lockdown global, Komisi Eropa berargumen bahwa kelangsungan hidup perusahaan dan pekerja lebih penting daripada menjaga tingkat persaingan ideal. Ini adalah manifestasi nyata dari prinsip LawMacro: hukum persaingan usaha tidak berdiri di atas moralitas abstrak, melainkan berakar pada realitas ekonomi yang fluktuatif.

UU Antimonopoli Indonesia: Ketegangan antara Efisiensi Mikro dan Stabilitas Makro
Di Indonesia, kerangka hukum persaingan usaha diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau yang lebih populer dengan sebutan UU Antimonopoli. Dua ketentuan mendasar dalam undang-undang ini (Pasal 2 dan Pasal 3) mencerminkan komitmen kuat terhadap prinsip demokrasi ekonomi dan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Pasal 2 UU Antimonopoli menyatakan bahwa "Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum." Sementara Pasal 3 menegaskan bahwa tujuan undang-undang ini antara lain "menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional... serta mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat."

Kedua pasal ini penting, karena tidak membatasi tujuan hukum persaingan hanya pada efisiensi mikro, melainkan secara eksplisit mengakui kepentingan umum dan efisiensi ekonomi nasional-konsep yang secara inheren bersifat makroekonomi. Ini membuka ruang normatif bagi pendekatan LawMacro dalam konteks Indonesia.

Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum persaingan usaha cenderung mengadopsi pendekatan LawEcon yang ketat. Misalnya, Pasal 5 ayat (1) melarang perjanjian penetapan harga antar pesaing (price fixing) secara per se illegal, tanpa mempertimbangkan konteks ekonomi.

Pendekatan ini sangat konsisten dengan tradisi LawEcon: fokus pada efisiensi mikro, kepastian hukum, dan pencegahan distorsi pasar. Namun, dalam konteks makroekonomi yang dinamis-terutama selama krisis-pendekatan ini menimbulkan ketegangan normatif.

Bayangkan masa resesi: permintaan merosot, perusahaan berjuang bertahan, dan pengangguran mengancam stabilitas sosial. Dalam situasi seperti ini, kolusi sementara untuk menstabilkan harga atau berbagi beban operasional bisa justru mencegah PHK massal dan menjaga permintaan agregat. Namun, di bawah Pasal 5 UU Antimonopoli, praktik semacam ini tetap ilegal, tanpa mempertimbangkan konteks makroekonomi.

Menariknya, Pasal 50 UU Antimonopoli justru membuka celah untuk pengecualian, misalnya bagi usaha kecil, koperasi, atau perjanjian yang bertujuan ekspor. Ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang tidak menganggap prinsip persaingan sebagai nilai absolut, melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih luas-termasuk keadilan sosial dan stabilitas ekonomi.

Dari perspektif LawMacro, ini merupakan fondasi normatif yang kuat. Hukum persaingan usaha Indonesia, melalui Pasal 2 dan Pasal 3, sudah memiliki ruh makroekonomi-namun belum diwujudkan dalam mekanisme penegakan yang responsif terhadap siklus bisnis. Tidak ada klausul "darurat ekonomi" atau pedoman countercyclical dalam UU Antimonopoli.

Revisi terhadap UU Antimonopoli-yang sedang dalam proses legislasi-membuka peluang untuk mengintegrasikan prinsip LawMacro secara eksplisit. Misalnya, dengan memasukkan pengecualian sementara bagi perjanjian antar pelaku usaha di sektor strategis selama masa resesi, asalkan:

a) Tidak merugikan konsumen secara signifikan; b) Bertujuan mempertahankan lapangan kerja atau rantai pasok; c) Diawasi ketat oleh KPPU; dan d) Berlaku hanya selama kondisi darurat ekonomi ditetapkan oleh pemerintah.

Langkah semacam ini tidak berarti melemahkan prinsip anti-kartel, melainkan menyesuaikan hukum dengan realitas ekonomi yang fluktuatif-sebuah prinsip inti dalam LawMacro, sekaligus sejalan dengan semangat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Antimonopoli.

Tentu, pendekatan ini mengundang kekhawatiran: apakah fleksibilitas tidak akan membuka pintu bagi regulatory capture atau penyalahgunaan kekuasaan? Di sinilah pentingnya membangun mekanisme akuntabilitas yang ketat-bukan menghilangkan aturan, melainkan membuat aturan yang cerdas.

Hukum persaingan usaha versi LawMacro tidak menolak kepastian, melainkan menolak kekakuan buta. LawMacro menyerukan agar otoritas persaingan memiliki alat analisis untuk memahami fase siklus ekonomi tempat suatu praktik usaha terjadi, serta dampak agregatnya terhadap ketenagakerjaan, daya beli, dan stabilitas keuangan.

Lebih jauh, LawMacro mengajak kita melihat persaingan usaha bukan hanya sebagai soal harga dan inovasi di tingkat mikro, tetapi juga sebagai bagian dari sistem kebijakan makroekonomi yang terpadu. Penegakan hukum persaingan harus berdialog dengan kebijakan moneter, fiskal, dan kebijakan sektor riil lainnya.

Ketika bank sentral menurunkan suku bunga untuk merangsang investasi, atau ketika pemerintah memberikan insentif fiskal untuk sektor strategis, hukum persaingan usaha seharusnya tidak beroperasi dalam ruang hampa-ia harus menjadi bagian dari orkestrasi kebijakan yang menjaga keseimbangan antara efisiensi pasar dan ketahanan sosial-ekonomi.

Di tengah ketidakpastian global yang kian meningkat, Indonesia-dan negara-negara berkembang lainnya-membutuhkan hukum persaingan usaha yang tidak hanya adil secara teknis, tetapi juga bijak secara ekonomi. Bukan hukum yang kaku seperti batu, melainkan seperti pohon bambu-teguh pada prinsip, namun lentur menghadapi badai.


(miq/miq)