Daerah Jangan Takut Memelihara Mimpi Besar

Ronny P. Sasmita, CNBC Indonesia
09 September 2025 05:10
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita merupakan analis senior di Indonesia Strategic and Economics Action Institution... Selengkapnya
Jalan Lingkar Brebes – Tegal di Provinsi Jawa Tengah sepanjang 17,4 km. (Dok: PUPR)
Foto: Jalan Lingkar Brebes–Tegal sepanjang 17,4 kilometer di Provinsi Jawa Tengah. (Dokumentasi Kementerian PUPR)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Belum lama ini, saya sempat berniat mengisi waktu luang di salah satu taman kota di Makati, Manila, Filipina. Nama tamannya adalah Ayala Triangle Garden, sebuah jantung hijau di tengah-tengah Makati. Namun sayangnya, waktu luang tersebut tak berhasil saya nikmati untuk bersantai total, karena gerimis datang dan saya harus segera menemukan tempat berteduh.

Spot berteduh terdekat, yang saya duga awalnya adalah coffee shop kecil, ternyata sebuah perpustakaan di tengah taman. Tak pelak, aspirasi bersantai saya terjebak di antara buku-buku, yang menurut sebagian besar orang adalah barang serius, bukan barang buat bersantai.

Setelah saya pantau dan perhatikan, memang mayoritas koleksinya diisi dengan karya-karya sastra. Tapi setidaknya masih terdapat buku-buku serius di mana salah satunya akhirnya membuat mata saya tertarik. Sebuah buku karya David Thornell, berjudul Small Town Solutions: An Economic Development Guide for Small Communities with BIG Dreams (2023), terselip di ujung rak buku.

Judul ini menarik mata saya karena seketika setelah membaca judulnya, memori saya bekerja dan melancong langsung ke daerah-daerah di Indonesia, yang terjebak di dalam ruang waktu yang sangat jauh di belakang ruang waktu kota-kota besar di Pulau Jawa. Tanpa ragu akhirnya saya tarik satu buku yang terjepit di ujung rak tersebut, saya bawa ke depan perpustakaan.

Niat saya sebenarnya adalah untuk menikmati rokok bersama buku David Thornell di depan perpustakaan, karena di dalamnya sudah pasti tak diperbolehkan. Naas bagi saya, di seluruh taman sama sekali tak diperbolehkan merokok. Celakanya lagi, rasa penasaran saya tentang buku tersebut sudah diubun-ubun, sehingga opsi tersisa yang normal adalah membacanya di dalam dengan santai dan melupakan niat untuk merokok

Namun itu akan menjadi opsi yang jauh di luar kebiasaan saya, karena entah karena sugesti atau sekedar kebiasaan, membaca buku bagi saya biasanya sepaket dengan rokok dan segelas kopi. Walhasil, saya mengajukan permohonan dengan menyampaikan latar belakang kebiasaan saya tersebut. Saya katakan bahwa saya sangat ingin membaca buku tersebut, tapi di luar taman di salah satu cafe.

Tak disangka, permintaan saya dipenuhi dengan syarat, yakni saya harus meninggalkan jaminan uang sebesar 500 pesos atau kira-kira setara dengan Rp 140 ribuan. Tanpa basa-basi, saya merogoh kocek dan mengeluarkan uang seribu peso dan memintanya untuk tetap menyimpannya sampai saya kembali.

Namun setelah penjaga perpustakaan mengajukan banyak pertanyaan tentang siapa saya dan mengapa saya ada di Manila, ia dengan sukarela memperluas konsesi buku untuk saya, karena meyakini saya tidak akan bisa menyelesaikannya di dalam beberapa jam.

Walhasil, kesepakatan baru didapat. Saya bisa membawa buku tersebut ke hotel, maksimum dua hari, dan meninggalkan uang jaminan seribu pesos. Uang bisa diambil kembali setelah buku juga kembali dengan utuh. Deal yang sangat menyenangkan hati saya.

Beberapa poin penting yang saya pahami setelah membacanya adalah bahwa menurut David Thornell, kota-kota kecil seringkali menghadapi tantangan besar dalam pembangunan ekonomi, terutama karena keterbatasan sumber daya, akses modal, dan tenaga kerja. Tentu kita sepakat dengan pernyataan tersebut, bukan! Hal itu tidak hanya terjadi di Amerika, tapi juga hampir di semua daerah tingkat dua dan kota di Indonesia.

Namun menariknya, lanjut Thornell, keterbatasan tersebut justru bisa menjadi pemicu lahirnya kreativitas dan strategi pembangunan yang lebih kontekstual, jika daerah atau kota tersebut dipimpin oleh pemimpin yang visioner sekaligus memiliki mimpi besar atas daerah atau kota yang mereka pimpin.

Dalam kajian Thornell, kepemimpinan lokal yang visioner menjadi salah satu kunci penting. Pemimpin di kota kecil, baik dari sektor publik (kepala daerah) maupun swasta, harus mampu membangun konsensus, menciptakan jejaring, dan mendorong partisipasi aktif warga di dalam setiap gerak pembangunan. Karena tanpa kepemimpinan yang solid dan visioner, program pembangunan hanya akan berjalan setengah hati.

Pemimpin visioner dan solid biasanya akan menekankan pentingnya peran kolaborasi antarpemangku kepentingan. Sementara pemimpin daerah yang terlalu politis justru akan terjebak ke dalam konflik-konflik tak penting dengan banyak pihak di daerah atas nama ego politik dan kepentingan kelompok masing-masing.

Karena itu, kata Thornell, pemerintah daerah, pelaku usaha, organisasi masyarakat sipil, dan institusi pendidikan perlu bekerja sama dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang sehat. Kolaborasi diyakini dapat meminimalkan tumpang tindih program dan memperkuat sinergi.

Setelah itu, Thornell menyarankan langkah pertama dalam membangun ekonomi kota kecil dan daerah adalah memahami potensi unik yang dimiliki masing-masing komunitas di daerahnya, bukan hanya secara keseluruhan. Tidak semua kota harus meniru model metropolitan; sebaliknya, kota dan daerah perlu mengeksplorasi keunggulan lokal seperti sektor pertanian, pariwisata, atau industri kerajinan.

Artinya, pemetaan secara mendetail harus dilakukan, baik secara demografis, geografis, komunitas, budaya, dan sektoral. Dengan pemetaan yang komprehensif, tentu akan didapatkan keunggulan dan keunikan masing-masing daerah dan komunitas.

Setelah itu barulah masuk ke langkah kedua, membuat perencanaan pembangunan yang berbasiskan komunitas, adaptatif terhadap teknologi, mengedepankan keberlanjutan, dan mengutamakan kualitas hidup serta ruang hidup masyarakat di kota atau daerah masing-masing.

Salah satu contoh implementasi yang sesuai dengan gagasan Thornell yang juga ia ceritakan dengan semangat di dalam buku adalah di Kota Paducah, Kentucky, Amerika. Paducah adalah kota kecil di Kentucky dengan jumlah penduduk sekitar 25 ribu jiwa.

Pada akhir abad ke-20, kota ini menghadapi masalah serius: penurunan industri tradisional, hilangnya lapangan kerja, dan degradasi kawasan pusat kota (downtown). Banyak bangunan tua terbengkalai, bisnis lokal tutup, dan warganya kehilangan optimisme. Kondisi ini membuat Paducah terancam menjadi kota kecil yang stagnan, persis seperti tantangan yang digambarkan Thornell dalam bukunya.

Pemerintah kota Paducah kemudian meluncurkan program Artist Relocation Project pada tahun 2000. Program ini dirancang untuk menarik seniman dari berbagai belahan Amerika agar mau pindah dan tinggal di kota tersebut. Pemerintah menawarkan rumah tua di pusat kota dengan harga sangat terjangkau, bahkan gratis dalam beberapa kasus, asalkan seniman bersedia merenovasi dan menjadikannya studio atau galeri.

Ternyata kehadiran para seniman mengubah wajah Paducah. Kawasan pusat kota yang dulunya sepi dan terabaikan berubah menjadi Lower Town Arts District, sebuah pusat seni yang ramai dengan galeri, studio, kafe, dan pertunjukan budaya. Aktivitas ini tidak hanya menghidupkan kembali ekonomi lokal melalui pariwisata dan bisnis kreatif, tetapi juga membangun identitas baru bagi Paducah sebagai kota seni.

Lebih lanjut, keberhasilan Paducah akhirnya diakui dunia. Pada tahun 2013, UNESCO menetapkan Paducah sebagai salah satu kota dalam jaringan Creative Cities Network untuk kategori kerajinan dan seni rakyat. Hal ini meningkatkan citra kota kecil tersebut di panggung global, menarik lebih banyak pengunjung dan investor kreatif.

Kasus Paducah memperlihatkan bagaimana ide-ide Thornell bisa diterapkan. Pertama, kota dan daerah menggunakan potensi unik (seni dan budaya) sebagai strategi pembangunan. Kedua, keberhasilannya lahir dari kepemimpinan lokal yang visioner dan mampu melihat peluang di balik keterbatasan. Ketiga, program ini menunjukkan pentingnya branding komunitas agar mampu menarik orang luar dan menciptakan dampak jangka panjang.

Contoh lain yang diangkat Thornell adalah Kota Wilson, kota kecil di North Carolina dengan penduduk sekitar 50 ribu jiwa. Seperti banyak kota kecil lain di Amerika Serikat, Wilson dulunya bergantung pada industri tradisional, khususnya tembakau dan manufaktur.

Namun, perubahan global dalam industri ini menyebabkan banyak kehilangan pekerjaan, penurunan ekonomi, dan keterbatasan peluang baru. Situasi ini mencerminkan persoalan umum yang sering disebut Thornell, yakni ketergantungan pada industri lama membuat kota kecil rawan stagnasi.

Untuk keluar dari keterpurukan, pemerintah kota Wilson meluncurkan inisiatif Greenlight Community Broadband pada tahun 2008. Ini adalah jaringan fiber-to-the-home yang memberikan akses internet kecepatan tinggi langsung ke warga dan bisnis. Langkah ini sangat progresif, mengingat banyak kota kecil di AS masih mengalami keterbatasan akses internet yang memadai.

Dengan adanya jaringan fiber, Wilson berhasil menarik bisnis baru yang membutuhkan internet cepat, termasuk perusahaan teknologi, startup, dan perusahaan layanan modern. UMKM lokal juga terdorong untuk beradaptasi dengan platform digital, memperluas pasar mereka hingga ke tingkat nasional bahkan internasional. Hal ini sejalan dengan pemikiran Thornell tentang pentingnya adopsi teknologi digital sebagai katalis pertumbuhan ekonomi kota kecil.

Greenlight tidak hanya berpengaruh pada bisnis, tetapi juga sektor sosial. Sekolah-sekolah di Wilson mendapatkan akses internet berkualitas, memungkinkan peningkatan pembelajaran digital dan pendidikan jarak jauh. Warga juga lebih mudah mengakses layanan publik berbasis digital, seperti tele medicine dan e-government. Dengan begitu, kualitas hidup meningkat, sebuah poin penting yang juga menjadi sorotan Thornell.

Buku Thornell memperluas cakrawala saya tentang pembangunan daerah yang selama ini cenderung saya nikmati dari sisi ekonomi makro dan kebijakan fiskal semata. Daerah nyatanya lebih dari sekadar objek kebijakan ekonomi dan fiskal. Daerah memang seharusnya dipandang sebagai ajang kreativitas untuk meningkatkan kualitas hidup warganya, jauh melampaui urusan fiskal dan birokrasi.

Dan hal ini, dalam hemat saya, harus menjadi catatan penting bagi para kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Mereka adalah ujung tombak pemerintahan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Kreativitas dan inovasi dari kepala-kepala daerah ini diyakini akan langsung menyentuh kepentingan warganya dari segala sisi.

Sehingga, pesan pendek dari saya setelah membaca buku Thornell adalah daerah jangan takut bermimpi besar. Lupakan "tekanan fiskal" yang dilakukan oleh pemerintah pusat sejak awal tahun ini. Fokus mencari solusi untuk memperbaiki kualitas warga lokal dengan solusi-solusi lokal yang ciamik, inovatif, dan kreatif. Semoga!


(miq/miq)