Paradoks Transisi Energi Indonesia

Ronny P. Sasmita CNBC Indonesia
Rabu, 01/10/2025 18:10 WIB
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita merupakan analis senior di Indonesia Strategic and Economics Action Institution.... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi pertambangan nikel. (AFP/HANDOUT)

Transisi energi Indonesia semakin menarik untuk diperbincangkan. Dengan kekayaan sumber daya alam, ekonomi yang terus tumbuh, dan komitmen ambisius untuk menurunkan emisi karbon, Indonesia memposisikan diri sebagai calon pemimpin baru dalam perlombaan global menuju dekarbonisasi.

Pemerintah kerap menyebut potensi negara ini sebagai "Arab Saudi-nya nikel," komoditas penting untuk baterai kendaraan listrik (EV). Di sisi lain, rencana besar untuk meninggalkan PLTU batu bara demi energi surya, panas bumi, dan sumber terbarukan lain digadang sebagai lompatan besar menuju masa depan hijau.


Namun di balik narasi besar tersebut tersembunyi kontradiksi serius. Transisi energi yang dimaksudkan untuk menyelamatkan lingkungan justru berisiko melahirkan kerusakan ekologis dan ketidakadilan sosial baru.

Pertama, prioritas terhadap kendaraan listrik telah memicu lonjakan penambangan nikel, kobalt, dan litium, praktik ekstraktif yang merusak hutan, laut, dan kehidupan masyarakat lokal. Kedua, percepatan penggantian batu bara dengan energi terbarukan juga menyimpan paradoks, teknologi hijau tidak sepenuhnya "bersih" karena bahan bakunya juga ditambang secara destruktif, sementara proyek-proyek besar kerap menyingkirkan masyarakat tanpa konsultasi sosial yang layak.

Lebih jauh lagi, ada dimensi geopolitik dan geoekonomi yang jarang dibicarakan secara terbuka, sebagian besar nilai tambah dari transisi energi Indonesia justru dinikmati oleh China. Industri pengolahan nikel, rantai pasok panel surya, hingga investasi besar energi terbarukan banyak didominasi Beijing. Alih-alih memperkuat kedaulatan energi, Indonesia berisiko semakin terjerat ketergantungan pada negeri Tirai Bambu.

Dilema Nikel
Kendaraan listrik menjadi ikon utama agenda dekarbonisasi Indonesia. Dengan melonjaknya permintaan global atas baterai EV, cadangan nikel Indonesia yang masif dipandang sebagai modal emas untuk mendorong industrialisasi baru sekaligus berkontribusi pada agenda iklim dunia.

Pemerintah menggandeng raksasa otomotif dan teknologi, mengundang investasi dari China, Korea Selatan, hingga Barat, bahkan memberlakukan larangan ekspor bijih nikel mentah demi mendorong pembangunan smelter di dalam negeri.

Namun kenyataan di lapangan jauh dari narasi hijau. Di Sulawesi, pusat tambang nikel Indonesia, bentang alam pegunungan terkelupas menjadi kawah-kawah terbuka. Hutan tropis kaya keanekaragaman hayati lenyap, sementara hujan deras menyeret tanah merah ke sungai dan laut. Nelayan mengeluhkan stok ikan yang makin berkurang, petani kehilangan hasil panen karena air tercemar.

Di Raja Ampat, Papua Barat, ikon pariwisata dunia karena keindahan laut dan karang-tambang nikel menimbulkan deforestasi dan sedimentasi yang mengancam ekosistem laut. Ironi yang telanjang, demi memproduksi mobil listrik yang dipasarkan sebagai solusi iklim, justru mempertontonkan bahwa Indonesia menghancurkan ekosistem yang menjadi benteng alami menghadapi perubahan iklim.

Lebih buruk lagi, keuntungan besar dari hilirisasi nikel tidak sepenuhnya dinikmati rakyat Indonesia. Smelter dan industri pengolahan mayoritas dikuasai perusahaan China, baik melalui investasi langsung maupun joint venture.

Teknologi, pasar, dan margin keuntungan strategis lari ke China, sementara Indonesia menanggung beban ekologis. Dengan kata lain, Indonesia menyediakan bahan baku dan lingkungan yang rusak, China memetik buah ekonomi dan geopolitik.

Masalah Lama dalam Baju Baru
Agenda kedua transisi energi Indonesia adalah mengurangi ketergantungan pada batu bara. Dengan kontribusi batu bara lebih dari 50% pembangkit listrik nasional, langkah ini memang mendesak. Namun, alternatif yang diandalkan, energi surya dan panas bumi, juga sarat paradoks.

Energi surya, misalnya, sering disebut sebagai solusi bersih dan melimpah. Namun panel surya bergantung pada pasir kuarsa, yang penambangannya kerap merusak ekosistem pesisir dan meningkatkan risiko abrasi. Rencana pemerintah membangun kawasan industri panel surya raksasa di Pulau Rempang, Batam, menuai perlawanan keras.

Ribuan warga menghadapi ancaman penggusuran, sementara proses konsultasi nyaris absen. Prinsip Social License to Operate (SLO), yang menekankan pentingnya legitimasi sosial dalam proyek energi, diabaikan. Alih-alih menjadi simbol energi bersih, Rempang mencerminkan wajah lama pembangunan, yakni pengorbanan masyarakat demi industrialisasi besar-besaran.

Energi panas bumi juga tak lepas dari konflik. Indonesia memang memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, tetapi eksplorasi sering memicu penolakan. Di Sumatra Barat, warga menolak pengeboran yang dikhawatirkan mencemari sumber air dan merusak kawasan yang dianggap sakral dalam kacamata adat.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), protes masyarakat meluas karena proyek dianggap merampas lahan dan mengabaikan hak-hak warga. Lagi-lagi, minimnya konsultasi dan transparansi membuat proyek yang seharusnya hijau berubah menjadi sumber konflik sosial.

Dan sekali lagi, China hadir sebagai pemain utama. Industri panel surya global didominasi pabrikan China dengan harga murah yang membanjiri pasar, termasuk Indonesia. Proyek Rempang pun diproyeksikan akan melibatkan teknologi dan pendanaan China.

Bahkan untuk proyek energi terbarukan lain seperti PLTA atau pembangkit listrik bertenaga angin, investor China kerap menjadi penyokong utama. Pergantian batu bara ke energi terbarukan bukannya mengurangi ketergantungan, justru meneguhkan pengaruh China dalam infrastruktur energi Indonesia.

Narasi Pertumbuhan dan Keadilan Energi
Paradoks transisi energi Indonesia berpangkal pada narasi besar "pertumbuhan hijau." Pemerintah melihat transisi sebagai peluang emas, baik untuk meningkatkan PDB, menarik investasi asing, maupun memperkuat posisi global. Namun logika "growth first" ini kerap mengorbankan tujuan sejati dekarbonisasi, yakni menjaga lingkungan dan melindungi masyarakat dari dampak krisis iklim.

Kondisi semacam ini memang tidak unik bagi Indonesia. Di Kongo, penambangan kobalt untuk baterai EV meninggalkan luka sosial ekologis yang sangat serius. Di Myanmar, penambangan mineral tanah jarang (rare earth) untuk turbin angin menghancurkan lanskap alam. Di India, farm surya raksasa menggusur desa-desa. Polanya sama, beban lingkungan bergeser, bukan hilang.

Yang membedakan Indonesia adalah dimensi geopolitiknya. Sembari mengumandangkan kedaulatan melalui hilirisasi, Indonesia justru makin terikat ke dalam rantai pasok dengan China. Dari nikel hingga panel surya, dari pendanaan hingga teknologi, China mendominasi. Nilai tambah dan keuntungan strategis mengalir ke Beijing, sementara Indonesia berisiko terjebak dalam ketergantungan baru.

Untuk keluar dari paradoks ini, dalam hemat saya, transisi energi Indonesia perlu diredefinisi. Pertama, penambangan untuk baterai EV harus dikontrol ketat dengan standar lingkungan yang transparan dan akuntabel.

Kedua, model desentralisasi energi terbarukan, seperti panel surya atap atau mikrogrid, harus diperkuat untuk mengurangi konflik lahan. Ketiga, prinsip Social License to Operate mesti dijadikan syarat mutlak, masyarakat bukan hanya diajak bicara, tapi diberdayakan untuk ikut menentukan arah proyek. Keempat, Indonesia perlu mendiversifikasi mitra internasional agar tidak sepenuhnya terikat pada China.

Menghindari Fatamorgana Hijau
Indonesia kini berada di persimpangan sejarah. Pilihan kebijakan beberapa tahun ke depan akan menentukan bukan hanya masa depan domestik, tapi juga kontribusi global terhadap krisis iklim. Godaan untuk mengejar "quick wins", ekspor nikel, kawasan industri raksasa, investasi asing instan, sangat besar.

Namun bila tidak hati-hati, Indonesia hanya akan menukar satu bentuk kerusakan lingkungan dengan bentuk lain, batu bara diganti nikel, minyak diganti pasir kuarsa, gas diganti pengeboran panas bumi, sementara masyarakat dan ekosistem tetap menjadi korban.

Paradoks transisi energi Indonesia bukan sekadar soal teknologi, tapi soal politik, keadilan, dan visi masa depan. Apakah Indonesia akan membangun transisi yang sekadar memindahkan beban lingkungan dan memperkuat dominasi Tiongkok? Ataukah berani menempuh jalan yang benar-benar berkelanjutan, inklusif, dan berdaulat?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah Indonesia dikenang sebagai pemimpin global dalam melawan perubahan iklim atau sekadar contoh bagaimana ambisi hijau bisa menyamarkan eksploitasi baru.

Untuk berhasil, transisi energi harus melampaui ilusi "pertumbuhan hijau" dan berani mengambil jalan sulit menuju keadilan lingkungan. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat benar-benar disebut sedang bertransisi menuju masa depan yang hijau, adil, dan berdaulat.



(miq/miq)