Carbon Backstop Fund, Penjaga Harga Industri Hijau

Feiral Rizky Batubara, CNBC Indonesia
03 July 2025 05:40
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan P.. Selengkapnya
Negara dengan produksi carbon dioksida terbesar di dunia
Foto: Infografis karbon. (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Fluktuasi harga karbon telah menjadi ganjalan utama bagi percepatan transisi energi di Indonesia. Di tengah dorongan menuju ekonomi rendah karbon, justru instrumen yang semestinya menjadi tulang punggung ekosistem hijau-yaitu harga karbon-terlihat rapuh dan tak pasti.

Tahun lalu, misalnya, harga kredit karbon sukarela di Asia Tenggara anjlok dari US$13 ke bawah US$5 per ton CO₂-e hanya dalam waktu satu tahun. Ketidakpastian ini membuat banyak investor dan pelaku industri enggan mengambil risiko menanamkan modal di teknologi hijau.

Di sisi lain, negara-negara seperti Kanada dan Jerman telah lebih dahulu menciptakan pelindung harga karbon melalui skema seperti carbon price backstop dan carbon contracts-for-difference (CCfD).

Prinsipnya sederhana: saat harga pasar karbon jatuh di bawah ambang tertentu, pemerintah menjamin selisihnya agar proyek dekarbonisasi tetap layak dibiayai. Ketika harga kembali tinggi, pelaku industri memberikan kontribusi balik kepada negara. Ini adalah mekanisme simetris, bukan subsidi permanen.

Indonesia sebenarnya memiliki fondasi hukum untuk membangun sistem serupa. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sudah memuat dasar pengenaan pajak karbon, meskipun implementasinya masih tertunda.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 43A) secara eksplisit membuka ruang penggunaan instrumen ekonomi lingkungan, termasuk pembentukan dana khusus. Maka, Carbon Backstop Fund (CBF) dapat dibentuk dan dioperasikan secara legal di bawah Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

CBF adalah mekanisme penyangga harga karbon. Ketika harga karbon pasar jatuh di bawah ambang batas tertentu, sehingga secara fungsi CBF ibaratnya adalah polis asuransi bagi industri yang berinvestasi dalam teknologi rendah karbon.

Saat harga karbon di pasar melemah, negara membayar selisih hingga tercapai harga dasar yang disepakati. Sebaliknya, saat harga melonjak, perusahaan akan menyetor dana cadangan.

Skema ini bersifat simetris-berbasis risiko bersama. Sehingga dengan skema seperti ini, Indonesia tak perlu terjebak pada pola subsidi energi fosil yang tak berkesudahan. CBF menciptakan stabilitas tanpa harus menanggung beban fiskal yang berat di masa depan.

Penting untuk dipahami bahwa biaya modal dalam proyek dekarbonisasi sangat sensitif terhadap volatilitas harga karbon. Studi dari DIW Berlin menyebutkan bahwa risiko harga karbon dan energi bersih dapat menaikkan weighted average cost of capital (WACC) proyek hijau hingga tiga persen.

Dalam kondisi seperti ini, bank akan berpikir dua kali untuk membiayai pabrik baja hijau atau proyek hidrogen, sebab risiko arus kas terlalu tinggi. Namun dengan adanya jaminan harga dari CBF, skema pendanaan menjadi lebih bankable.

CBF juga memberi manfaat lain: memperkuat kredibilitas bursa karbon Indonesia yang baru lahir, IDXCarbon. Bursa yang tidak memiliki kestabilan harga atau likuiditas akan kesulitan menarik minat pembeli global. Dengan adanya harga dasar yang dijamin oleh CBF, sinyal pasar menjadi lebih tegas: Indonesia serius mengembangkan ekosistem karbonnya.

Desain CBF dapat dibangun dengan struktur yang hati-hati namun fleksibel. Dana awal bisa berasal dari hasil lelang izin emisi (cap-and-tax), pungutan ekspor batu bara, serta penerimaan dari pajak karbon ketika mulai diterapkan. Harga dasar dapat dimulai dari Rp120.000 per ton CO₂-e dan naik bertahap sesuai dengan tahapan yang dirancang dalam UU HPP: Rp240.000 pada 2029-2032, dan Rp350.000 setelah 2033.

Pembayaran selisih dilakukan per semester dan hanya untuk proyek yang sudah terverifikasi, misalnya pabrik semen, baja, atau petrokimia yang beralih ke sumber energi bersih. Sebaliknya, ketika harga pasar lebih tinggi dari floor, perusahaan wajib menyetor kembali ke dana-menciptakan siklus stabilisasi fiskal yang sehat.

Risiko kebocoran dana atau windfall profit dari perusahaan yang menikmati harga tinggi tanpa mengembalikan kelebihan, dapat ditekan melalui kontrak jangka panjang dan sistem claw-back. IDXCarbon dapat menggunakan algoritmanya untuk menahan sebagian kredit hingga kewajiban dilunasi. Audit independen dari lembaga seperti Gold Standard atau Verra wajib dilakukan secara rutin untuk menjaga kualitas registri.

Dampak hilir dari skema ini sangat besar. Dengan kepastian harga karbon, embedded cost dari hidrogen hijau dalam proses produksi pupuk atau baterai EV bisa turun 10-15 persen. Ini memungkinkan produk hijau bersaing langsung dengan produk konvensional. Di sisi fiskal, CBF dicatat sebagai "belanja variabel kondisional" yang justru memperkuat posisi APBN-menggantikan beban subsidi energi fosil yang bisa mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun.

Intinya, Carbon Backstop Fund memberi kita opsi strategis: mendorong investasi hijau tanpa mengandalkan subsidi langsung, sekaligus menstabilkan pasar karbon domestik. Jika Bank Indonesia bersedia menyalurkan surplus green bond, dan pemerintah daerah mengalokasikan sebagian retribusi tambang untuk memperkuat CBF, Indonesia berpotensi menjadi negara pertama di Asia yang memiliki dana penyangga karbon berbasis harga pasar.

Ini bukan sekadar reformasi teknis, tetapi fondasi ekonomi hijau yang sesungguhnya. Karena harga karbon tak akan menunggu kesiapan kita-dan kita tak bisa lagi menunda mengambil langkah.

Saatnya pemerintah menandatangani "polis asuransi karbon" Indonesia. Karena yang kita asuransikan bukan hanya industri, tetapi masa depan kita bersama.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation