UMKM Tonggak Ekonomi: (Bukan) Solusi Satu-satunya Atasi Pengangguran

Ahmad Naufal Firnanda CNBC Indonesia
Jumat, 26/09/2025 05:10 WIB
Ahmad Naufal Firnanda
Ahmad Naufal Firnanda
Ahmad Naufal Firnanda, S.H merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang saat ini bekerja di Kementerian Usaha Mikro, Kecil, d... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi pelaku UMKM. (Dokumentasi BRI)

Dalam sejumlah kesempatan, sejumlah pejabat publik kerap menyampaikan pesan kepada lulusan baru perguruan tinggi agar tidak hanya mengandalkan pekerjaan sebagai pegawai negeri maupun karyawan perusahaan. Sebaliknya, mereka diminta untuk berani membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja.

Namun, pandangan tersebut tidak sepenuhnya diterima tanpa kritik. Data Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menunjukkan lebih dari 99 persen unit usaha di Indonesia adalah UMKM, dan sekitar 90 persennya merupakan usaha mikro. Dominasi usaha mikro yang sebagian besar bergerak di sektor informal dinilai rawan menciptakan jebakan produktivitas rendah.

Sejumlah pengamat juga menekankan pentingnya keseimbangan. Kehadiran lulusan sarjana di sektor industri, perusahaan besar, maupun lembaga penelitian tetap krusial untuk memperkuat daya saing nasional.


"Tidak semua orang bisa dan cocok jadi pengusaha. Ada yang kontribusinya justru lebih besar bila bekerja sebagai tenaga profesional," ujar Direktur Eksekutif CORE
Indonesia Mohammad Faisal beberapa waktu lalu.

Menurut opini penulis, alih-alih hanya menambah jumlah pengusaha baru, pemerintah perlu memfokuskan strategi pada transformasi usaha mikro agar naik kelas menjadi usaha kecil dan menengah. Dukungan berupa akses pembiayaan, pendampingan, serta integrasi dengan rantai pasok industri akan membuat UMKM lebih produktif, bukan sekadar bertambah banyak.

Dengan demikian, pesan "jadilah pengusaha" memang baik untuk membangun semangat, namun tidak dapat dijadikan solusi tunggal dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan di Indonesia.

Yang lebih penting adalah membangun ekosistem yang seimbang antara tenaga profesional dan wirausaha, sehingga keduanya dapat saling melengkapi. Dengan adanya sinergi ini, pertumbuhan ekonomi nasional dapat berlangsung secara lebih berkualitas, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Lahirnya Kementerian UMKM di era pemerintahan Prabowo merupakan harapan baru bagi para UMKM. Kehadiran kementerian ini tidak hanya menjadi simbol keberpihakan negara terhadap UMKM, tetapi juga diharapkan mampu menghadirkan kebijakan yang lebih konkret, terarah, dan tepat sasaran.

UMKM memang menjadi tulang punggung perekonomian nasional, namun diperlukan dukungan regulasi dan fasilitas yang berkesinambungan mutlak diperlukan agar
UMKM bisa naik kelas dan tidak selamanya terjebak dalam usaha berskala mikro.

Meski demikian, harus disadari bahwa mayoritas UMKM saat ini bukanlah pengusaha yang berangkat dari semangat kewirausahaan, melainkan karena keterpaksaan akibat terbatasnya pilihan pekerjaan formal. Banyak dari mereka sekadar menjalankan usaha untuk bertahan hidup, bukan untuk membangun bisnis yang berorientasi pada inovasi, ekspansi, dan keberlanjutan.

Realitas ini menunjukkan bahwa UMKM masih menjadi penampung tenaga kerja informal terbesar, namun dengan produktivitas yang rendah dan daya saing yang terbatas.

Kondisi ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi kita semua, terutama pemerintah. Apalagi Indonesia sedang bersiap menyongsong tahun 2045, ketika bonus demografi mencapai puncaknya dan generasi emas diharapkan mampu mengisi pembangunan nasional.

Jika sejak sekarang tidak ada langkah strategis yang mampu memperkuat penciptaan lapangan kerja formal dan mendorong tumbuhnya wirausaha produktif, maka bonus demografi tersebut justru bisa berubah menjadi beban demografi.

Tingginya angka pengangguran, ditambah banyaknya usaha mikro yang hanya bersifat survival, dapat menjadi indikator kegagalan negara dalam menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang sehat dan berdaya saing.

Karena itu, membangun kewirausahaan di Indonesia tidak bisa sekadar mengandalkan slogan. Diperlukan intervensi yang nyata melalui pendidikan vokasi, inkubasi bisnis, akses pembiayaan yang inklusif, serta kebijakan yang mendorong UMKM agar mampu masuk dalam rantai pasok formal.

Hanya dengan cara inilah UMKM dapat benar-benar menjadi penggerak utama ekonomi, bukan sekadar penopang sementara di tengah keterbatasan lapangan kerja.


(miq/miq)