Industri Halal Bisa Jadi Motor Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2045

Menghitung mundur menuju tahun 2045, Indonesia menyongsong babak penting: satu abad kemerdekaan. Di tengah target ambisius itu, wacana "Indonesia Emas 2045" mengangkat pertanyaan sederhana namun strategis:
Sektor apa yang dapat mendorong pertumbuhan besar, inklusif, dan berkelanjutan untuk mengantar bangsa ini menjadi negara maju? Jawaban praktisnya tidak hanya terletak pada energi, infrastruktur, atau manufaktur. Ada satu kekuatan potensial yang realistis, yaitu industri halal.
Industri halal kini bukan lagi semata ranah ritual atau religiositas, melainkan telah berubah menjadi gaya hidup yang memiliki nilai ekonomi multi-triliun dolar yang mencakup makanan dan minuman, farmasi dan kosmetik, modest fashion, pariwisata ramah muslim, serta ekonomi kreatif dan media.
Laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/25 menegaskan besarnya pasar ini, yaitu pengeluaran konsumen muslim lintas sektor inti mencapai US$ 2,43 triliun pada 2023 dan diproyeksikan naik ke US$ 3,36 triliun pada 2028. Data ini bukan sekadar potensi, melainkan peluang nyata yang bisa diolah menjadi mesin ekspor, lapangan kerja, dan pembangunan nilai tambah domestik.
Untuk bangsa dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, memaksimalkan industri halal bukan hanya logika ekonomi, tetapi strategi kedaulatan ekonomi. Indonesia harus mampu mengubah status dari konsumen besar menjadi produsen dan pengekspor berkualitas.
SGIE 2024/25 menempatkan Indonesia pada peringkat yang sangat strategis, yaitu peringkat tiga dunia dalam Global Islamic Economy Indicator (GIEI), di belakang Malaysia dan Arab Saudi. Peringkat ini mencerminkan kemajuan infrastruktur kebijakan, kapasitas pasar domestik, serta perkembangan sektor-sektor tertentu di dalam ekosistem halal Indonesia. Prestasi ini menegaskan bahwa Indonesia sedang berada pada lintasan yang benar, namun bukan berarti perjalanan telah usai.
Indonesia menunjukkan keunggulan relatif di beberapa sub-sektor. Misalnya, modest fashion menempatkan Indonesia sebagai salah satu pemimpin dunia, yang merupakan hasil dari tradisi busana, desain kreatif, dan jaringan produksi yang kuat.
Sedangkan pariwisata ramah Muslim dan sektor farmasi dan kosmetik halal juga menempati posisi kompetitif sehingga membuka ruang ekspansi. Namun, ada sektor seperti keuangan syariah, di mana Indonesia masih tertinggal dibandingkan pemain utama lain dan perlu percepatan inovasi produk serta inklusi agar manfaat ekonomi dapat menjangkau lebih luas.
Modal besar ini, yaitu populasi, kemampuan produksi, keanekaragaman bahan baku, dan kreativitas budaya. Kondisi ini menjadikan wajar bila negara menempatkan industri halal di jantung strategi 2045.
Untuk menjadikan industri halal sebagai motor pertumbuhan, maka terdapat lima pilar strategis yang harus diperkuat secara simultan, meliputi pangan halal, modest fashion, farmasi dan kosmetik halal, pariwisata ramah Muslim, dan ekosistem keuangan syariah.
Pilar pertama ialah pangan halal. Sektor makanan dan minuman adalah komponen terbesar dalam ekosistem halal global. SGIE melaporkan bahwa makanan halal merupakan porsi terbesar dari total pengeluaran halal, dan diproyeksikan terus bertumbuh. Di Indonesia, pasar domestik sangat besar, di mana konsumsi makanan halal sehari-hari, restoran, serta produk olahan memberi basis pasar yang luas untuk menaikkan ke skala produksi yang kompetitif ekspor.
Namun kendala nyata ada di sisi sertifikasi, keterlacakan, dan rantai pasok. Masih banyak UMKM belum terhubung ke ekosistem sertifikasi yang memadai sehingga sulit menembus pasar internasional yang menuntut bukti kepatuhan dan transparansi. Investasi pada pasok dingin, standardisasi proses, dan program sertifikasi yang ramah UMKM adalah langkah prioritas.
Pilar kedua ialah modest fashion yang menjadi keunggulan kreatif yang global. Indonesia sudah memegang tongkat penting di sektor modest fashion. Laporan SGIE menunjukkan belanja modest fashion global mencapai ratusan miliar dolar AS dan diproyeksikan meningkat signifikan.
Indonesia kini berada di jajaran atas karena ekosistem desainer, produksi tekstil, dan pasar domestik yang solid. Kesempatan besar adalah menempatkan merek-merek Indonesia di pusat retail global, bukan hanya pada ceruk pasar. Kesempatan ini dilakukan dengan strategi branding, kolaborasi internasional, dan kualitas manufaktur skala massal yang tetap mempertahankan nilai estetika lokal.
Pilar ketiga ialah farmasi dan kosmetik halal yang memiliki nilai tambah bernilai tinggi. Segmentasi halal pada farmasi dan kosmetik menunjukkan potensi ekonomi yang menarik. Konsumen kini mencari produk yang tidak hanya halal tetapi juga etis, aman, dan berbasis bahan alami.
Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas; peluang inovasi berbasis bahan lokal (misalkan ekstrak herbal, minyak nabati) terbuka lebar. Tantangannya adalah riset dan pengembangan, sertifikasi internasional, dan penguatan kapasitas produksi berstandar internasional sehingga produk lokal bisa bersaing di pasar premium.
Pilar keempat ialah pariwisata ramah muslim. Sektor travel oleh konsumen Muslim adalah salah satu subsektor dengan pertumbuhan tercepat dalam SGIE. Indonesia memiliki kombinasi alam, budaya, dan potensi layanan ramah Muslim untuk menarik turis dari pasar utama seperti Asia Barat, Asia Selatan, dan negara-negara Muslim lainnya.
Pengembangan pariwisata halal bukan hanya soal ketersediaan makanan halal, tetapi juga fasilitas ibadah, akomodasi ramah keluarga, serta konektivitas yang mudah. Penataan destinasi, sertifikasi destinasi halal, dan pembinaan bisnis lokal (seperti homestay, agen travel halal) dapat meningkatkan devisa sekaligus memberikan efek pengganda ekonomi lokal.
Pilar kelima ialah keuangan syariah. Tidak ada ekosistem halal yang berjalan tanpa pembiayaan yang sesuai. Aset keuangan Islam global tercatat besar (US$ 4,93 triliun pada 2023) dan diperkirakan tumbuh. Data ini menandakan bahwa produk pembiayaan syariah punya potensi besar untuk mendukung meningkatkan skala UMKM halal, infrastruktur industri halal, hingga proyek pariwisata.
Di Indonesia, penetrasi keuangan syariah masih belum merata. Kondisi ini menunjukkan bahwa perlu produk fintech syariah, sukuk korporasi untuk sektor halal, dan instrumen wakaf/filantropi yang diarahkan ke ekonomi produktif. Pembiayaan yang tepat akan menciptakan permintaan dan kapabilitas produksi yang lebih tinggi.
Salah satu kekuatan Indonesia adalah dominasi UMKM dalam perekonomian, dimana UMKM berperan penting dalam penciptaan lapangan kerja dan distribusi kesejahteraan. Sebagian besar UMKM bergerak di sektor pangan dan fashion, sehingga penguatan kapasitas UMKM halal akan memicu efek berganda. Efek pengganda yang dihasilkan berupa penciptaan nilai tambah lokal, perluasan basis pajak, serta mengurangi ketergantungan impor bahan baku tertentu.
Praktisnya, fokus kebijakan harus mengatasi hambatan utama bagi UMKM seperti biaya sertifikasi halal, literasi manajemen mutu, akses pembiayaan syariah, dan integrasi ke platform e-commerce yang bisa memfasilitasi ekspor mikro (micro-export). Skema hibah/pembiayaan untuk sertifikasi, inkubasi desain dan pemasaran digital, serta kemitraan B-to-B dengan eksportir besar harus menjadi prioritas.
Potensi besar selalu datang dengan tantangan struktural, beberapa di antaranya saling berkaitan. Tantangan pertama ialah beban sertifikasi dan standar internasional. Wajib sertifikasi halal membuat produk semakin dapat dipercaya, tetapi mekanisme dan biaya harus dirancang agar UMKM tidak terdorong ke pasar abu-abu. Selain itu, perbedaan standar di negara tujuan ekspor memerlukan diplomasi standar dan kesempatan rekognisi yang bersifat mutual.
Tantangan kedua ialah kesenjangan keuangan syariah. Perluasan produk keuangan syariah untuk UMKM, jaminan ekspor berbasis sukuk, dan instrumen pembiayaan mikro halal menjadi krusial. Tanpa akses pembiayaan, banyak pemain potensial yang tidak bisa naik kelas.
Tantangan ketiga ialah rantai pasok infrastruktur. Untuk produk seperti makanan halal dan farmasi, keberlanjutan rantai dingin (cold chain), penyimpanan, dan transportasi yang memenuhi standar sangat penting. Kondisi ini menuntut investasi publik dan swasta dalam infrastruktur logistik.
Tantangan keempat, kapasitas riset dan sumber daya manusia. Riset dan pengembangan pada bahan baku halal, pengembangan produk bernilai tambah, serta auditor/inspektur halal yang kompeten masih terbatas. Perlu program pendidikan vokasi dan riset pengembangan yang diarahkan pada ekonomi halal.
Tantangan kelima ialah aspek branding dan akses pasar global. Barang bagus belum tentu laku bila tidak dibungkus dan dipromosikan dengan strategi global. Industri halal Indonesia perlu belajar pemasaran global, sertifikasi internasional, dan kerja sama ritel internasional.
Untuk menjadikan industri halal agar dapat berperan sebagai motor pertumbuhan 2045, terdapat beberapa hal yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah, pemangku kepentingan industri, dan pelaku usaha.
Aspek pertama ialah kebijakan dan regulasi yang membumi. Kondisi ini meliputi desain kebijakan sertifikasi yang progresif berupa subsidi/insentif untuk UMKM, percepatan proses secara daring, dan pengakuan sertifikat otomatis antar-negara mitra. Selain itu pemerintah perlu menyusun suatu masterplan Industri Halal Nasional 2025-2045 lengkap dengan target capaian ekspor, perkembangan klaster halal, dan indikator kinerja terukur.
Aspek kedua ialah pada pembiayaan dan insentif. Skema pembiayaan khusus untuk bisnis halal, termasuk sukuk daerah untuk infrastruktur halal dan fasilitas kredit murah untuk UMKM. Selain itu, penting pula diberikan insentif fiskal untuk pengembangan riset dan pengembangan halal, fasilitas cold chain, dan perluasan kapasitas produksi.
Aspek ketiga ialah peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan riset dan pengembangan. Perlu dikembangkan program vokasi halal yang mampu menghasilkan para ahli dalam audit halal, manajemen rantai pasok halal, teknologi pangan halal, kosmetik halal. Selain itu dukungan dana hibah penelitian untuk pengembangan bahan baku lokal menjadi produk bernilai tambah.
Aspek keempat ialah infrastruktur dan digitalisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan kawasan industri halal yang telah ada, di mana kawasan industri ini harus terintegrasi dengan fasilitas sertifikasi, laboratorium, dan akses logistik. Selain itu penting dilakukan digitalisasi rantai nilai. Keterlacakan dapat menggunakan teknologi seperti blockchain untuk meningkatkan kepercayaan dan akses pasar.
Aspek kelima ialah branding dan diplomasi ekonomi. Kita dapat melakukan kampanye global "Made-in-Indonesia: Halal & Sustainable" sebagai brand nasional. Kemudian diplomasi standar penting untuk dilakukan menjalin kerja sama rekognisi bersifat mutual dan memperkuat peran Indonesia dalam forum internasional halal.
Aspek keenam ialah perlunya kolaborasi antara kementerian (perdagangan, Bappenas, Kemenkes, Kemenparekraf), BI, OJK, lembaga sertifikasi, asosiasi industri, dan akademisi diperlukan untuk implementasi lintas-sektor.
Bila dipandang secara makro, mengoptimalkan industri halal berpotensi memberikan beberapa hasil transformasional pada 2045. Pertumbuhan PDB yang lebih inklusif, dimana kontribusi sub-sektor halal pada PDB bisa meningkat signifikan seiring ekspor dan nilai tambah domestik. Kemudian diharapkan industri halal ini akan mampu meningkatkan penciptaan lapangan kerja mulai dari produksi, desain, logistik, hingga pariwisata, terutama di daerah.
Selain itu, industri halal ini pun akan merubah struktur ekspor, dimana beralih ke barang manufaktur bernilai tambah dan jasa. Kemudian industri halal ini pun akan mampu meningkatkan pendapatan daerah melalui kawasan industri halal dan destinasi wisata halal yang terkelola.
SGIE 2024/25 menunjukkan tren pertumbuhan belanja dan aset keuangan Islam yang solid. Angka-angka ini menggambarkan momentum finansial yang bisa dipanen oleh negara yang siap. Aset keuangan Islam global pada 2023 tercatat mencapai US$ 4,93 triliun dengan proyeksi kenaikan, menandakan adanya ruang besar bagi instrumen pembiayaan untuk mendukung skala industri halal.
Menjadikan industri halal sebagai motor pertumbuhan ekonomi Indonesia 2045 bukan sekadar mimpi atau retorika simbolik. Dengan data global yang menunjukkan pasar yang melonjak, posisi kompetitif Indonesia di beberapa sub-sektor, serta kebijakan domestik yang mulai menyelaraskan, peluang itu nyata.
Namun momentum tidak datang sendiri, melainkan mesti dijemput dengan kebijakan pragmatis, investasi infrastruktur, program pembiayaan inklusif, serta kapasitas riset dan pemasaran yang mumpuni.
Kata kuncinya adalah sinergi antara negara, pelaku usaha besar, UMKM, akademisi, dan komunitas. Hanya melalui sinergi terarah dan langkah-langkah implementatif yang konkret, potensi multi-triliun dolar itu dapat diubah menjadi kenyataan ekonomi yang memberi manfaat luas meliputi lapangan kerja, pendapatan daerah, penguatan ekspor, serta citra Indonesia sebagai pusat industri halal dunia.
Ketika tahun 2045 tiba, bangsa ini berkesempatan pulang, di mana bukan lagi sebagai konsumen terbesar produk halal dunia, tetapi sebagai pencipta standar, inovator, dan pengekspor utama. Tugas besar sekarang adalah memulai langkah-langkah yang akan membuat janji itu menjadi sejarah yang bisa dibanggakan.
(miq/miq)