Api yang tak Pernah Padam: Merenungi Hakikat Ketahanan Energi

Api sejak lama menjadi simbol kehidupan dalam berbagai peradaban. Ia dijaga agar tidak padam karena dari api lahirlah kehangatan, pangan, dan harapan. Di Yunani kuno, api Olimpia menjadi tanda semangat yang abadi. Di Nusantara, tungku nenek moyang selalu dijaga agar bara kecil tetap menyala demi memberi makan dan cahaya bagi keluarga.
Hari ini api itu kita sebut energi. Bentuknya tidak lagi sekadar kayu bakar, melainkan listrik, gas, minyak, angin, dan cahaya matahari. Namun maknanya tidak pernah berubah, energi adalah penopang kehidupan.
Ketahanan energi sering didefinisikan dalam istilah teknis, seperti seberapa besar cadangan minyak bumi, seberapa aman pasokan gas, atau seberapa kuat jaringan listrik menahan lonjakan permintaan. Definisi ini sah, tetapi terlalu sempit. Hakikat ketahanan energi lebih dalam, ia berkaitan dengan kemampuan bangsa menjaga keberlanjutan hidup di tengah krisis, memastikan api tidak padam bukan hanya hari ini tetapi juga di masa depan.
Sejarah memberi cermin yang jelas. Kekaisaran Romawi yang perkasa runtuh karena gagal menjaga sumber dayanya. Eropa di abad pertengahan mengalami krisis kayu bakar yang memaksa mereka beralih ke batu bara. Dunia modern pun pernah terguncang oleh krisis minyak tahun 1970an, ketika embargo negara produsen membuat harga melonjak dan pasokan terganggu. Semua itu menunjukkan energi adalah titik paling rapuh sekaligus paling vital dalam peradaban.
Kini Indonesia menghadapi tantangan yang berbeda. Energi fosil yang dulu menjadi penopang kini justru menjadi sumber krisis. Ketergantungan pada minyak, gas, dan batu bara membuat bangsa ini terikat pada fluktuasi pasar global dan konflik geopolitik. Lebih jauh lagi, pembakaran fosil menghasilkan emisi karbon yang merusak atmosfer, mengubah iklim, dan menggerus daya dukung bumi. Api yang dulunya menyelamatkan kini berbalik menjadi ancaman.
Ketahanan energi pada era ini tidak lagi cukup dipahami sebagai cadangan fisik, melainkan juga kemampuan moral dan ekologis. Pertanyaannya bukan hanya bagaimana pasokan tetap terjaga, tetapi bagaimana cara memenuhi kebutuhan energi tanpa menghancurkan fondasi kehidupan.
Apa artinya listrik stabil di kota besar bila desa terpencil masih gelap. Apa gunanya cadangan besar bila hanya menguntungkan sebagian kecil penduduk. Ketahanan energi sejati menuntut keadilan dan akses bagi seluruh rakyat.
Landasan hukum nasional sejatinya sudah memberi arah. UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi menegaskan bahwa pengelolaan energi harus berkeadilan, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Pasal 3 undang undang ini menggariskan tujuan energi nasional, antara lain mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi, memanfaatkan sumber daya secara optimal, serta menjamin akses energi bagi masyarakat.
Demikian pula UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mewajibkan pemerintah menyediakan listrik yang andal, terjangkau, dan merata di seluruh wilayah. Kedua instrumen hukum ini mempertegas bahwa ketahanan energi bukan semata urusan ekonomi, melainkan kewajiban negara dalam menjamin hajat hidup orang banyak.
Sumber daya alam sebenarnya sudah menyediakan pelita yang nyaris tak terbatas. Matahari terbit setiap hari, angin berhembus di seluruh penjuru, air mengalir tanpa henti. Energi terbarukan adalah simbol ketahanan sejati, karena hadir tanpa habis, tidak terikat pada konflik geopolitik, dan bisa dinikmati semua orang. Tantangannya ada pada keberanian untuk meninggalkan kebiasaan lama yang membakar bumi, dan beralih pada energi yang lebih ramah dan abadi.
Namun transisi energi tidak hanya soal teknologi, tetapi juga soal pola pikir. Energi harus dipandang sebagai sumber daya bersama, bukan sekadar komoditas. Kebijakan subsidi dan insentif seharusnya diarahkan untuk memperkuat kelompok rentan, bukan semata menguntungkan yang sudah kuat. Program pelatihan dan partisipasi masyarakat harus diperluas agar energi benar benar menjadi milik bersama. Ketahanan energi hanya bisa tercapai bila ada solidaritas dan rasa memiliki.
Api adalah pengingat bahwa kehidupan membutuhkan keseimbangan. Ia bisa menjadi penyelamat, tetapi juga bisa melahap segalanya bila tidak dijaga. Filsafat api ini relevan untuk Indonesia hari ini. Bara kecil yang dijaga di tungku desa dapat dianalogikan dengan pembangkit mikrohidro, panel surya di sekolah, atau kincir angin di kampung pesisir. Dari pelita kecil yang dijaga bersama inilah ketahanan sejati lahir.
Api yang tak pernah padam bukanlah metafora tentang kekuatan absolut, melainkan tentang keberlanjutan. Ia bukan sekadar nyala besar yang menghanguskan, tetapi cahaya yang konsisten, sederhana, dan setia. Ketahanan energi yang sejati adalah ketika kita mampu memastikan bahwa api itu terus hidup, tak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Merenungi hakikat ketahanan energi berarti merenungi keberadaan kita sebagai manusia: makhluk yang rapuh, tetapi mampu bertahan karena bisa menjaga api bersama. Dan selama kita mau merawatnya dengan pertimbangan keadilan, kesadaran ekologis, dan solidaritas, api itu akan tetap menyala. Api yang tak pernah padam.
(miq/miq)