Koperasi Merah Putih Bisa Mewujudkan Kedaulatan Energi?

Feiral Rizky Batubara, CNBC Indonesia
25 August 2025 19:11
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan P.. Selengkapnya
Presiden RI Prabowo Subianto dalam peresmian Koperasi Desa Merah Putih, Desa Bentangan, Klaten, Jawa Tengah, Senin, (21/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Presiden Prabowo Subianto menghadiri peresmian Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Desa Bentangan, Klaten, Jawa Tengah, Senin (21/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kedaulatan energi tidak semata-mata berbicara soal megawatt atau kilowatt jam, tetapi tentang siapa yang menguasai sumber daya, siapa yang menentukan harga, dan siapa yang merasakan manfaatnya.

Selama ini, tata kelola energi di Indonesia masih sangat terpusat: dikuasai negara melalui PLN sesuai amanat UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, didukung Independent Power Producer (IPP) swasta besar, serta ditopang perusahaan fosil yang mendominasi pasokan batu bara dan migas. Sementara itu, rakyat yang sesungguhnya merupakan pemilik kedaulatan energi berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, lebih sering hanya berperan sebagai konsumen pasif.

Padahal, sejarah bangsa ini membuktikan bahwa gotong royong adalah kekuatan terbesar kita, dan bentuk kelembagaan modern dari semangat itu adalah koperasi. UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menegaskan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional. Pertanyaannya: mungkinkah koperasi energi Merah Putih mengambil peran nyata dalam mewujudkan kedaulatan energi?

Jawabannya bukan utopia. Banyak negara sudah membuktikan bahwa koperasi energi mampu menjadi pilar transisi hijau. Di Jerman, hampir 40 persen kapasitas energi terbarukan dimiliki masyarakat melalui koperasi.

Di Denmark, ladang-ladang angin berdiri atas kepemilikan komunitas. Di Amerika Serikat, koperasi listrik pedesaan melayani lebih dari 40 juta orang. Model ini menunjukkan energi tidak harus dimonopoli korporasi besar. Energi bisa dikuasai rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Indonesia memiliki potensi yang bahkan lebih besar. Struktur sosial kita memang berakar pada gotong royong. Potensi energi terbarukan juga tersebar luas: matahari di hampir seluruh wilayah, angin di Nusa Tenggara dan Sulawesi, aliran sungai di Sumatra dan Papua, serta biomassa di ribuan desa.

Di tengah fakta bahwa masih ada desa-desa yang belum mendapatkan akses energi bersih, koperasi energi bisa menjadi solusi tepat. Koperasi desa dapat membangun PLTS atap, koperasi petani mengolah limbah menjadi listrik biomassa, koperasi nelayan membangun cold storage bertenaga surya, bahkan koperasi pesantren mengelola mikrohidro untuk mandiri energi.

Lebih jauh, koperasi juga dapat memasuki ekosistem energi baru. Bayangkan koperasi perkotaan yang mengelola Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), atau koperasi mahasiswa yang mengembangkan proyek baterai komunitas untuk kampus dan perumahan. Dengan inovasi kelembagaan, koperasi energi dapat menjadi pionir transisi energi yang inklusif.

Namun, tantangan regulasi tidak bisa diabaikan. Perizinan energi masih rumit, skema tarif belum memberi ruang cukup bagi inisiatif komunitas, sementara PLN tetap memegang mandat utama penyediaan listrik nasional. Tanpa reposisi kebijakan, koperasi energi sulit berkembang.

Di sinilah peran negara menjadi krusial. Pemerintah perlu membuka ruang hukum yang jelas, mulai dari skema feed-in tariff khusus koperasi, dana bergulir untuk modal awal, hingga kewajiban BUMN energi bermitra dengan koperasi lokal. Bahkan, program nasional "Satu Desa Satu Koperasi Energi" dapat menjadi strategi ketahanan energi berbasis rakyat.

Lebih penting lagi, koperasi energi bisa menjadi penyangga fiskal. Selama ini, subsidi energi sering tidak tepat sasaran. Dengan menyalurkannya melalui koperasi, subsidi bisa lebih efektif dan langsung menurunkan biaya listrik rakyat. Koperasi energi juga punya dimensi ideologis yang tidak kalah penting: demokratisasi energi. Dengan model ini, rakyat tidak hanya menjadi pembayar listrik, tetapi juga pemilik dan penerima manfaat, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Tentu, semua ini tidak dapat dicapai dalam semalam. Diperlukan peta jalan jangka panjang, proyek percontohan yang berhasil, serta dukungan teknologi dan pembiayaan. Tetapi tanpa langkah awal, mimpi kedaulatan energi berbasis koperasi tidak akan pernah terwujud. Indonesia harus belajar dari praktik terbaik di dunia, mengadaptasikannya sesuai konteks lokal, dan menjadikannya bagian integral dari transisi menuju Indonesia Emas 2045.

Kedaulatan energi sejati hanya akan terwujud bila rakyat menjadi pemilik sekaligus pengelola sumber dayanya. Koperasi energi Merah Putih dapat menjadi jembatan menuju tujuan itu: memastikan energi bersih tidak hanya dinikmati segelintir orang, tetapi menjadi hak kolektif bangsa.

Dengan keberanian politik dan dukungan kebijakan yang tepat, pemerintah dapat membuka jalan bagi lahirnya koperasi energi di setiap desa dan kota. Inilah saatnya menjadikan energi bersih bukan sekadar agenda pembangunan, tetapi juga warisan gotong royong bangsa yang memberi manfaat nyata bagi rakyat Indonesia.


(miq/miq)