Menyalakan Energi Bersih dari Tumpukan Sampah

Feiral Rizky Batubara CNBC Indonesia
Senin, 15/09/2025 12:20 WIB
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebija... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi PLTSa (Dokumentasi BPPT)

Sampah adalah wajah sehari-hari kabupaten/kota di Indonesia. Ia menumpuk di sungai, menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), mencemari air tanah, dan menyebarkan bau busuk ke pemukiman. Lebih dari itu, gas metana yang dihasilkan jauh lebih berbahaya bagi iklim dibanding karbon dioksida.

Namun di balik krisis itu sesungguhnya terkandung energi yang dapat diubah menjadi listrik. Inilah gagasan dasar pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa, sebuah solusi yang berupaya mengubah sampah menjadi cahaya yang menggerakkan roda kehidupan.


Jepang telah lama membuktikan bahwa PLTSa bukan sekadar wacana. Hampir setiap kota besar mereka memiliki fasilitas pengolah sampah berstandar emisi ketat yang berdiri menyatu dengan lanskap kota. Bahkan di Kopenhagen, Denmark, sebuah PLTSa bernama CopenHill tampil sebagai ikon kota dengan arena ski di atas atapnya.

Bayangkan sebuah pabrik sampah menjadi tujuan wisata sekaligus simbol inovasi perkotaan. Kontras dengan itu, di Jakarta, Surabaya, hingga Medan, proyek PLTSa berulang kali tersendat. Bukan karena teknologi yang tidak tersedia, melainkan karena birokrasi yang berbelit dan tarik menarik kepentingan seputar biaya pengolahan yang dikenal sebagai tipping fee.

Tipping fee seharusnya menjadi instrumen sederhana, yaitu biaya yang dibayarkan pemerintah daerah kepada pengelola PLTSa per ton sampah yang diolah. Tetapi dalam praktiknya sering menjadi arena tarik ulur.

Pemerintah daerah menilai angka yang diminta investor terlalu tinggi dan membebani APBD, sementara investor merasa angka yang ditawarkan tidak menutup biaya operasional. Bahkan ketika telah disepakati, pembayaran sering tertunda sehingga pengelola kesulitan menjaga arus kas. Masalah ini memperlihatkan bahwa hambatan PLTSa bukan semata persoalan mesin, melainkan tata kelola yang kurang transparan.

Padahal manfaat PLTSa sangat nyata. Volume sampah kota bisa berkurang hingga 90 persen, emisi metana ditekan, dan listrik dihasilkan dari proses yang terkendali. Lapangan kerja baru tercipta, lahan kota terselamatkan dari gunungan sampah, dan fasilitas modern dapat menjadi pusat edukasi lingkungan.

PLTSa juga sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular, yaitu mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang, dan baru kemudian mengolah residu menjadi energi. Tanpa kerangka ini, PLTSa bisa menjadi pembenar bagi budaya konsumsi berlebihan.

Tantangan yang harus dijawab jelas. Pertama adalah harmonisasi regulasi. Saat ini kewenangan pengelolaan sampah dan energi terbagi di banyak kementerian dan pemerintah daerah. Kepastian hukum sangat dibutuhkan agar investor memiliki pegangan.

Landasan dapat ditemukan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang menegaskan kewajiban pemerintah menjamin pengelolaan sampah dengan pendekatan ramah lingkungan.

Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan PLTSa telah memberi mandat khusus bagi kota besar, meski implementasinya masih lambat. Dengan menegakkan konsistensi kedua aturan ini, pemerintah dapat memberi kepastian yang selama ini dirindukan pelaku usaha.

Kedua adalah kepastian finansial. Tipping fee harus ditata dengan formula yang jelas, transparan, dan adil. Kreativitas pembiayaan bisa ditempuh melalui skema blended finance, insentif fiskal, hingga subsidi silang dari tarif listrik. Ketiga adalah penyesuaian teknologi. Karakter sampah Indonesia yang memiliki kadar organik tinggi menuntut adaptasi teknologi, bukan sekadar menyalin mesin impor yang sering gagal beroperasi optimal.

Yang tidak kalah penting adalah penerimaan publik. Selama PLTSa dianggap sebagai pabrik asap beracun, resistensi masyarakat akan muncul. Karena itu, fasilitas perlu dirancang terbuka, ramah lingkungan, dan bahkan bersifat rekreatif. Menyertakan pusat edukasi lingkungan atau ruang hijau kota di sekitar fasilitas dapat membangun rasa kepemilikan warga.

Filosofi PLTSa sesungguhnya sederhana: bahwa sesuatu yang kita buang pun bisa memberi nilai bila dikelola dengan benar. Dari kotoran bisa lahir cahaya, dari sampah bisa lahir energi. Indonesia kini berada di posisi yang menentukan.

Apakah kita memilih jalan yang menunda dengan resiko TPA meluap dan emisi metana semakin parah, atau kita memilih jalan yang berani menempatkan sampah sebagai sumber daya dengan membangun PLTSa modern, transparan, dan ramah publik.

Jika Jepang dan Denmark bisa melakukannya, maka Indonesia pun bisa. Apalagi landasan hukum sudah ada, teknologi semakin terjangkau, dan kebutuhan energi terus meningkat. Yang diperlukan sekarang adalah keberanian politik untuk menegakkan aturan yang konsisten, mengelola pembiayaan dengan kreatif, dan memastikan setiap warga merasakan manfaatnya.


(miq/miq)