Burden Sharing yang Tepat, Kunci Pemulihan

Fakhrul Fulvian, CNBC Indonesia
04 September 2025 10:00
Fakhrul Fulvian
Fakhrul Fulvian
Fakhrul Fulvian adalah Chief Economist di Trimegah Sekuritas Indonesia. Titel sarjana ekonomi diraih dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2010. Sepanjang kariernya sebagai ekonom yang berkecimpung di dunia keuangan, Fakhrul telah terlibat.. Selengkapnya
Suasana gedung bertingkat tertutup kabut polusi usai hujan di Jakarta, Kamis (16/6/2023). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Suasana gedung bertingkat tertutup kabut polusi usai hujan di Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Isu burden sharing kembali mengemuka setelah Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan membuka peluang berbagi beban pembiayaan untuk program-program prioritas seperti seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Publik bertanya: apakah ini sehat bagi perekonomian, atau justru berbahaya? *Jawabannya tergantung: burden sharing bisa tepat dan juga tidak tepat.*



Pada tahun 2020, skema burden sharing awalnya sangat diragukan dengan argumen-argumen standar seperti skema ini akan men-trigger inflasi yang tinggi, lalu memperlebar defisit neraca berjalan. Terkait dengan hal ini, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa skema ini berhasil dilaksanakan dengan baik.

Alih-alih inflasi, kita mengalami deflasi di periode pandemi Covid-19. Walaupun skema burden sharing mencapai Rp 1.000 triliun, ini ternyata tidak menyebabkan Current Account Deficit, bahkan Indonesia mengalami CA surplus pada tahun 2021 di 0,3% dari PDB, lalu surplus berlanjut menjadi 1% dari PDB pada tahun 2022.

Kondisi Covid-19 menunjukkan, kebijakan non-conservative dari pemerintah berhasil dilakukan untuk kondisi yang tidak biasa pula. Sederhananya, kejatuhan perputaran uang (velocity of money), membuat sekalipun defisit anggaran membesar, dengan defisit tahunan sampai Rp 1.000 trilliun, dan ada burden sharing, ini tidak mengganggu kestabilan sistem keuangan dan men-trigger depresiasi Rupiah, tapi justru ini membuat pemulihan ekonomi bisa dilakukan dengan cepat.

Pada dasarnya, dengan BI masuk ke pasar primer dari Obligasi Negara waktu Covid-19, biaya bunga dari APBN juga menurun. Tentunya ini bukannya free lunch, mekanisme burden sharing era Covid-19 pada dasarnya memindahkan surplus dari yang seharusnya didapatkan oleh bond holder karena ada risiko yang tinggi (yield tinggi), kepada APBN, via burden sharing.

Secara mekanistis, ini menurunkan surplus BI di masa depan, karena membeli obligasi di yield yang lebih rendah, yang berujung pada berkurangnya prospek PNBP dari BI ke pemerintah di masa depan. Untuk pasar keuangan, pada dasarnya, ini bisa dilihat sebagai pemerintah menarik cashflow di depan.

Ini dulu tidak menjadi masalah, karena komunikasi terkait exit strategy dikomunikasikan dengan baik. *Pasar pada waktu itu, melihat tren dari cashflow pemerintah akan kembali ke trajectory yang awal. Ketika Covid-19 berakhir, pasar aman, APBN kembali ke trajectory semula. Rupiah stabil, yield obligasi terkendali.*

Lalu bagaimana dengan rencana burden sharing yang hendak dilakukan selanjutnya di tahun 2025? Pada tahun 2020, burden sharing dilakukan di tengah situasi yang benar-benar extraordinary.

Ekonomi Indonesia masuk resesi pertama sejak 1998, kontraksi -2,1%, dengan output gap sangat negative, pabrik-pabrik banyak yang idle, tenaga kerja kehilangan jam kerja, konsumsi rumah tangga ambruk. Situasi tahun 2025 berbeda.

Ekonomi memang tumbuh positif sekitar 5%, tetapi belum kembali ke tren jangka panjang pra-Covid, sehingga output gap masih negatif, meski lebih kecil. Inflasi terkendali di sekitar target BI, tetapi ada risiko baru dari pangan dan energi. APBN ditekan kembali ke defisit sekitar 3% PDB, namun kebutuhan belanja besar untuk program andalan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) membuat pemerintah mencari ruang pembiayaan tambahan.

Di dalam UU P2SK, saat ini mandat BI sudah diperluas, yakni selain menjaga stabilitas rupiah & inflasi, BI juga diberi tugas mendukung pertumbuhan berkelanjutan. Pasal-pasal kunci UU P2SK menegaskan BI sebagai lembaga independen, bebas dari intervensi, serta setiap kebijakan extraordinary, termasuk potensi burden sharing, harus diputuskan secara kolektif dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Burden sharing tidak boleh jadi pembiayaan rutin APBN. BI hanya boleh membeli SBN di pasar sekunder untuk tujuan moneter (likuiditas, stabilitas pasar).

Terkait dengan prospek burden sharing di tahun 2025, skema burden sharing akan dilakukan dengan pemberian tambahan bunga terhadap rekening pemerintah yang ada di BI sejalan dengan peran BI sebagai pemegang kas pemerintah, yakni sebesar 2,15% untuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dan 2,9% untuk perumahan rakyat.

Skema ini berbeda dengan skema yang dulu dilaksanakan ketika kondisi extraordinary ketika krisis Covid-19, yang mana BI secara langsung membeli obligasi di pasar primer sehingga secara langsung dan tak langsung mempengaruhi harga, sehingga ada perpindahan surplus dari bond holder kepada kas negara, dalam kondisi krisis.

Dalam skema 2025, tidak akan terjadi kejadian luar biasa di pasar, karena pada dasarnya, sebagai bentuk manajemen moneter, BI sudah secara rutin membeli di pasar obligasi dengan kenaikan kepemilikan BI (gross) sebesar Rp 123 triliun year to date.

Terkait ini juga tidak akan ada prospek perubahan suplai dari government bond di pasar. Pasar tetap bisa memprediksi dinamika di pasar obligasi sama dibanding sebelumnya. Dampak perubahan likuiditas akan cenderung minimal, sehingga prospek rupiah dan neraca berjalan seharusnya netral.

Lalu, apa yang harus diperhatikan untuk memastikan bahwa kebijakan ini tepat? Seperti tahun 2020, burden sharing berhasil dilakukan karena ada komunikasi exit strategy dan target yang tepat. Untuk tahun 2025, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:

1. Bagaimanapun burden sharing akan menurunkan surplus BI dan akan menurunkan prospek setoran surplus BI kepada APBN. Risiko bisa meningkat, bila prediksi kami yang melihat penguatan rupiah sampai tahun 2026 terjadi karena penurunan bunga The Fed (TRIM Forecast: Rp 15,500), karena akan menyebabkan penurunan unrealized gain dari manajemen cadangan devisa yang ada di BI. *Penguatan rupiah nanti harus menjadi natural break dari burden sharing*, karena mengharuskan BI mulai counter-cyclical terhadap situasi yang membaik.

2. Burden sharing harus dilakukan tetap dengan memperhatikan postur neraca bank sentral, yang saat ini memiliki total capital dan akumulasi surplus sebesar Rp 367 triliun. Jika terdapat kondisi cadangan tidak cukup, UU P2SK 2023 membuka pintu: APBN wajib menutup selisih modal negatif BI.

Di sini nantinya akan menjadi faktor risiko di masa depan kalau ini dilakukan terus menerus. Karena fleksibilitas kebijakan moneter bisa turun. Namun dengan akumulasi surplus dan capital sebesar Rp 367 triliun, ruang burden sharing itu memang ada. Dengan asumsi 2,9% dari Rp 200 triliun, berarti ongkosnya secara kasar diperkirakan hanya sekitar Rp 10 triliun.

3. Kapan burden sharing ini bisa dikatakan sukses? Burden sharing ini nantinya akan bisa dikategorikan sukses, kalau bisa dikomunikasikan dengan baik, sehingga yield SBN dan rupiah terkendali, output gap yang mengecil, serta inflasi terkendali. Di sisi lain, indikator APBN dan sosial ekonomi, seperti Makan Bergizi Gratis, pengangguran, daya beli dan multiplier effect tetap harus diperhatikan.

Pada dasarnya, ruang untuk burden sharing itu ada, tapi memang tidak bisa sebesar di tahun 2020. Dunia yang semakin multipolar dengan segala risikonya mau tidak mau memaksa baik pemerintah ataupun sektor swasta lebih elastis untuk mengantisipasi perubahan.

Dengan kondisi ini, kami juga tetap memandang BI masih akan menurunkan tingkat suku bunga dua kali lagi pada tahun ini sampai 4,50% dan nilai tukar menguat ke bawah Rp 16 ribu karena ditopang oleh kondisi global yang favorable. Mudah-mudahan perencanaan dan eksekusi burden sharing di 2025 ini bisa terlaksana dengan baik.


(miq/miq)