Leviathan Menyimpang dan Retaknya Kontrak Sosial

Negara bertugas melindungi, bukan menindas rakyatnya. Insiden penabrakan seorang pengemudi ojek online (ojol) oleh kendaraan taktis Brigade Mobil Kepolisian Negara Republik Indonesia di Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025), bukan peristiwa biasa. Ia memercikkan luka kolektif dan rasa ketidakadilan terhadap kepongahan penguasa.
Mobil baja yang seharusnya menjadi pelindung malah melaju cepat merenggut nyawa rakyat kecil. Bukankah seharusnya kendaraan itu melintas perlahan karena di sekitarnya banyak masyarakat yang bisa terluka? Jika alasannya ancaman, bukankah aparat sudah berlindung di balik kerasnya rangka mobil yang tak mungkin rusak oleh bilah kayu atau bambu?
Ironi ini tidak hanya berakhir di jalan raya. Ketika rakyat menyerukan pembubaran DPR, respons yang diterima malah menyalahkan kebodohan masyarakat. Anggota Dewan yang sejatinya menjadi corong suara rakyat justru menjawab tanpa empati dan penuh arogansi.
Kesenjangan ini begitu telanjang. Ketika seorang tukang harus menghabiskan 166 jam dalam 26 hari untuk mendapatkan pendapatan Rp6,4 juta. Setiap hari ada pertaruhan nyawa bagi mereka.
Kontras dengan gaji dan tunjangan DPR yang fantastis. Bahkan salah satu dari mereka merespons reaksi masyarakat dengan mengatakan: "Indonesia memiliki mentalitas senang melihat orang susah, dan tidak senang melihat orang senang."
Mereka lupa bahwa emosi psikologis di balik tuntutan itu ada rasa kecewa atas begitu tingginya jarak sosial-ekonomi antara penguasa dengan masyarakat.
Leviathan yang Menyimpang
Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) mengilustrasikan negara sebagai monster raksasa yang lahir dari kontrak sosial, di mana rakyat menyerahkan hak kebebasannya demi perlindungan. Namun Leviathan di Jakarta justru muncul bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai penggilas masyarakat kecil. Seluruh aparat negara seharusnya menjadi Leviathan, pelindung atas kontrak sosial yang telah disepakati.
Dalam teori klasik Barat seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau menegaskan bahwa negara hanya sah selama masih berfungsi melindungi hak untuk hidup, bebas, dan memiliki properti. Bila aparat berkhianat, maka rakyat berhak menarik mandatnya. Hak ini melekat dan menjadi hak dasar manusia.
Dalam konteks Indonesia, Leviathan lebih mirip dengan apa yang disebut Max Weber sebagai sangkar besi birokrasi dan C. Wright Mills sebagai kuasa elite. Aparat dan politisi tidak lagi memiliki beban moral untuk menjaga kontrak sosial ala Hobbesian.
Namun, mereka sibuk menjaga privilese sendiri agar terus berkuasa. Inilah gambaran utuh penyimpangan Leviathan jika sudah berkompromi secara patron-klien antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Jika kita menarik lebih jauh dari literatur cendekiawan muslim seperti Al-Mawardi, sangat jelas digambarkan bahwa kekuasaan hanya akan bertahan jika penguasa menegakkan keadilan. Ia menegaskan salah satu ciri kerusakan negara adalah hilangnya amanah dan kepercayaan rakyat pada pemerintah. Selain itu, Ibn Khaldun menggambarkan bahwa arogansi dan penindasan melalui penarikan pajak tinggi akan mengikis 'asabiyyah (solidaritas antara penguasa dan rakyat).
Survei (16-21 Januari 2025) menunjukkan hampir 30% masyarakat tidak percaya pada DPR dan Polri. Angka ini berpotensi akan menurun. Kasus Brimob di Pejompongan hanyalah satu dari banyaknya penyimpangan Leviathan.
Sudah terlalu sering kita melihat tebang pilih kasus, korupsi pejabat dan anggota dewan, serta kekerasan oleh aparat pemilik senjata terhadap rakyat sipil. Semua ini menjadi gambaran budaya kekuasaan di Indonesia. Reaksi wakil rakyat yang arogan, kasar, dan meremehkan rakyat bukanlah sekadar masalah temperamen pribadi. Ini adalah cerminan pola relasi kuasa antara penguasa dengan rakyat kecil.
Keadilan sebagai Fondasi
Pergerakan politik dan relasi kuasa di Indonesia mengalami perbedaan penafsiran terhadap kesenjangan keadilan antara pandangan penguasa dan rakyat. Keadilan bagi penguasa adalah kepatuhan dan stabilitas, sementara bagi masyarakat adalah kesejahteraan.
Selain itu, pola kekuasaan juga lebih mengedepankan kepentingan politik dibandingkan dengan pandangan moral. Ini bisa dilihat bagaimana hukum digunakan sebagai sarana untuk kelas dominan yang memiliki kekuasaan untuk memaksa dari atas.
Apa yang sedang kita lihat di Indonesia, ketika masyarakat berteriak di pagar gedung DPR dan digebuki oleh aparat keamanan tanpa adanya rasa empati dari penguasa, mencerminkan retaknya demokrasi. Kekuasaan dalam demokrasi sejatinya di luar sebagai legitimasi, bukan sebagai dominasi.
Kita semakin mendekati hubris syndrome: di mana arogansi kekuasaan sudah kehilangan empati dan muncul orientasi dominasi sosial. Sebuah kecenderungan yang membenarkan hierarki penindasan terhadap masyarakat lapisan bawah. Maka yang muncul adalah represi, bukan legitimasi. Kombinasi dominasi struktural dan arogansi psikologis para elite inilah yang membuat keadilan sudah dibentuk dalam pola relasi kekuasaan.
Terus bagaimana memperbaikinya? Satu hal yang perlu dicatat bahwa model represif tidak akan pernah bisa sukses di masyarakat yang sudah memiliki akses informasi. Pengalihan narasi untuk membentuk citra positif tidak akan bertahan lama jika rasa keadilan tercederai dan peran masyarakat dikecilkan.
Oleh karena itu, perlu perubahan pola rotasi kekuasaan, di mana jabatan selayaknya tidak dijabat lebih dari satu periode. Ini setidaknya akan menekan rasa arogansi yang melekat dengan jabatan.
Keadilan tidak boleh dipersempit menjadi sekadar kepatuhan pada penguasa. Peletakan hak dasar tidak hanya sebuah program pemerintah. Perlindungan hak asasi manusia harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas rakyat dan membuka distribusi kekuasaan yang lebih plural, bukan berdasarkan relasi patron.
Dan semua ini membutuhkan reformasi kelembagaan, tidak hanya dalam ruang lingkup legal tapi juga penanaman norma pada aparat negara. Hanya dengan cara ini, negara bisa kembali pada fitrah kontrak sosial untuk melindungi rakyatnya.
(miq/miq)