Interoperabilitas Digital: Strategi Penggalian Potensi Pendapatan RI

Di era ketika data menjadi "minyak baru" perekonomian, penerimaan negara tak lagi hanya ditentukan oleh besarnya tarif atau ketatnya penegakan hukum, melainkan oleh kemampuan negara dalam mengelola, menghubungkan, dan membaca data.
Pada tahun 2024, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 2.842,5 triliun, terdiri atas penerimaan pajak sebesar Rp 1.932,4 triliun sebagai kontributor terbesar, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 579,5 triliun, serta penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 300,2 triliun.
Potensi penerimaan dari ketiga pos utama ini pada dasarnya masih dapat ditingkatkan, sebab data perpajakan, kepabeanan, dan PNBP yang tersebar seperti titik-titik di peta dapat disatukan menjadi jalur emas apabila dibuka melalui satu kunci: interoperabilitas digital.
Langkah awal telah dilakukan melalui joint programme antara Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Direktorat Jenderal Anggaran. Namun, upaya ini masih dapat ditingkatkan dengan memperluas pemanfaatan data, tidak hanya dari internal Kementerian Keuangan, tetapi juga dari kementerian dan lembaga lain, sehingga terbangun basis informasi yang lebih valid, berkualitas, dan saling melengkapi.
Secara konsep, interoperabilitas berbeda dari sekadar integrasi data. Integrasi hanya menghubungkan sistem agar bertukar informasi, sementara interoperabilitas memastikan data dapat digunakan lintas platform, diperkuat protokol keamanan, dan dikelola sesuai regulasi. Karena itu, interoperabilitas bukan sekadar proyek teknologi, melainkan reformasi struktural dalam tata kelola data negara.
Potensi penerimaan negara belum tergarap optimal bukan karena kesulitan memungut, melainkan karena informasi yang dibutuhkan untuk memperluas basis penerimaan sering kali masih tersebar di luar lingkup Kementerian Keuangan. Hal ini menjadikan interoperabilitas digital krusial untuk menyatukan data lintas sektor dan mengubah fragmentasi menjadi konektivitas yang bernilai.
Upaya tersebut dimulai dengan standardisasi format dan terminologi, didukung arsitektur terbuka dan pemanfaatan Application Programming Interface (API) agar sistem yang berbeda dapat saling terhubung, tanpa perlu membuat sistem baru.
Aspek keamanan dijamin melalui enkripsi end-to-end serta pengendalian akses berbasis peran, sementara keseluruhan proses tunduk pada kerangka hukum yang selaras dengan regulasi nasional dan standar global, seperti Common Reporting Standard (CRS). Dengan fondasi ini, data transaksi, perizinan, maupun laporan keuangan dapat diolah secara real-time menjadi dasar kebijakan fiskal yang presisi, adaptif, dan berorientasi ke depan.
Beberapa negara telah mendemonstrasikan manfaat interoperabilitas digital. Estonia membangun X-Road yang menghubungkan lebih dari 900 lembaga publik dan swasta, sehingga hampir seluruh proses perpajakan berlangsung otomatis dan biaya administrasi menurun signifikan. India melalui Goods and Services Tax Network (GSTN) berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus mempersempit ruang penghindaran.
Singapura memanfaatkan National Digital Identity (NDI) dan MyInfo untuk pertukaran data lintas sektor secara aman, menjadikan pelaporan dan pembayaran pajak lebih cepat, efisien, dan tidak memerlukan pelampiran dokumen fisik. Praktik-praktik ini membuktikan interoperabilitas digital bukan sekadar konsep visioner, melainkan instrumen kebijakan dengan dampak fiskal yang terukur.
Bagi Indonesia, penerapan interoperabilitas digital memiliki signifikansi strategis pada tiga sektor utama. Pertama, di bidang perpajakan, integrasi sistem point of sale ritel dengan e-faktur dan e-bupot dapat meminimalkan transaksi yang terlewat dari pencatatan, sementara pertukaran data antara e-commerce dan logistik memungkinkan pemetaan transaksi daring secara lebih akurat.
Pemanfaatan teknologi blockchain berperan penting dalam menjamin keaslian faktur serta mencegah praktik manipulasi. Kedua, dalam sektor kepabeanan dan cukai, pertukaran data manifest kargo secara real-time antara Bea Cukai, sektor perbankan, dan otoritas pelabuhan, berpotensi mengungkap praktik undervaluation maupun misdeklarasi barang, yang selanjutnya dapat dianalisis menggunakan artificial intelligence (AI) untuk memprediksi potensi pelanggaran, bahkan sebelum barang tiba di pelabuhan.
Ketiga, pada ranah PNBP dan pengelolaan sumber daya alam, konektivitas data perizinan, produksi, dan ekspor dapat menutup celah underreporting. Selanjutnya, penerapan smart contracts memungkinkan pembayaran royalti maupun bagi hasil dilakukan secara otomatis sesuai output produksi, sehingga mengurangi risiko keterlambatan dan penyimpangan.
Teknologi yang menjadi pendorong utama interoperabilitas mencakup blockchain yang menjamin integritas data dan transparansi transaksi, AI yang mampu mengenali pola ketidakpatuhan serta memprediksi tren penerimaan, big data analytics yang mengolah data masif untuk mengidentifikasi potensi penerimaan baru, serta smart contracts yang mengeksekusi kewajiban pembayaran secara otomatis sesuai parameter yang telah ditetapkan. Dengan dukungan teknologi tersebut, proses pemungutan penerimaan negara dapat berlangsung lebih cepat, akurat, dan transparan.
Kendati demikian, penerapan interoperabilitas digital di Indonesia masih menghadapi tantangan teknis dan kelembagaan. Perbedaan kewenangan antarinstansi dapat menghambat berbagi data, sementara kesenjangan infrastruktur menunjukkan kapasitas teknologi dan keamanan siber yang belum merata.
Peningkatan literasi digital aparatur negara juga krusial agar pemahaman teknis dan tata kelola data berjalan seragam. Selain itu, harmonisasi regulasi diperlukan untuk mencegah tumpang tindih kewajiban lintas sektor.
Tantangan-tantangan dimaksud dapat diatasi melalui penguatan kelembagaan, standardisasi infrastruktur, dan kerangka tata kelola data yang konsisten. Di atas semua itu, komitmen lintas kementerian dan lembaga menjadi imperatif, sebab manfaat interoperabilitas digital akan memperkuat fiskal yang berimplikasi pada peningkatan layanan publik bagi masyarakat.
Strategi menuju interoperabilitas penuh di Indonesia menuntut pembangunan Pusat Data Nasional yang terintegrasi sebagai hub pertukaran data lintas instansi fiskal, keuangan, kepabeanan, serta sektor-sektor strategis lainnya.
Upaya ini perlu dijalankan dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, dan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, yang telah memberikan dasar hukum bagi kewajiban pelaporan dan keterhubungan data lintas sektor.
Tantangan utama kini terletak pada penguatan implementasi: memastikan setiap entitas konsisten terkoneksi dengan sistem, menyampaikan data secara lengkap dan akurat, serta memperoleh dukungan mekanisme insentif-disinsentif yang efektif.
Penegakan aturan perlu diiringi dengan pengawasan dan audit berbasis teknologi agar kepatuhan tidak hanya administratif, tetapi juga substantif. Selain itu, kolaborasi publik-swasta penting diformalkan dalam kerangka yang jelas agar interoperabilitas dapat berjalan konsisten, efisien, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Oleh karena itu, interoperabilitas digital bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan prasyarat struktural bagi kedaulatan fiskal Indonesia. Tanpanya, optimalisasi penerimaan akan terus berkutat pada tambal sulam kebocoran. Dengannya, potensi yang tersebar dapat terhimpun menjadi arus penerimaan baru yang berkelanjutan.
Indonesia memiliki modal berupa basis data luas, populasi digital dinamis, dan infrastruktur yang berkembang. Tantangannya kini adalah berani melangkah dari wacana menuju implementasi nyata. Sebab, masa depan penerimaan negara tidak lagi ditentukan oleh besaran tarif atau ketatnya penegakan hukum, melainkan oleh kemampuan menjadikan data sebagai kompas kebijakan, pengungkit penerimaan, dan penopang ketahanan fiskal jangka panjang.
(miq/miq)