Data Energi dan Subsidi: Harta Digital yang tidak Boleh Dikuasai Asing

Kuntjoro Pinardi CNBC Indonesia
Selasa, 26/08/2025 11:25 WIB
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi ... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi LPG. (Dokumentasi PT Pertamina)

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya strategis: minyak, gas, listrik, batubara, dan berbagai mineral penting. Dalam era digital, data yang berkaitan dengan energi dan subsidi, mulai dari distribusi LPG 3 kg, listrik murah, hingga produksi migas, adalah bentuk kekayaan baru.



Sayangnya, sebagian besar data ini disimpan dan diproses oleh hyperscaler asing seperti AWS, Google Cloud, Microsoft Azure, atau Huawei Cloud. Artinya, setiap tahun, miliaran dolar, yang seharusnya menjadi modal pembangunan nasional, sebenarnya mengalir ke luar negeri.

Sementara itu, kendali atas data strategis negara melemah, padahal data tersebut adalah elemen vital dalam pengelolaan subsidi dan penerimaan negara. Luar negeri sudah lebih dulu melindungi harta digitalnya dengan serius.

Norwegia menyimpan seluruh data migasnya di cloud nasional milik Norwegian Petroleum Directorate, sehingga setiap tetes migas tercatat transparan dan penerimaan negara maksimal.

India, lewat National Informatics Cloud dan sistem Mineral Tracking System (MTS), memastikan data produksi tambang dan konsumsi subsidi direkam secara digital, bebas celah kebocoran. Bahkan China memastikan data energi, pendidikan, dan militer hanya boleh hidup di cloud nasional.


Indonesia harus menyusul. Teknologi untuk membangun sovereign cloud dengan hyperscaler nasional. LEN, bersama BUMN dan universitas, bisa menjadi engine-nya.

Data smart meter PLN, EDC subsidi LPG dan BBM, sistem migas dan tambang, serta sistem MOOC nasional bisa dipindahkan ke cloud nasional, dengan tingkat komponen lokal tinggi dan biaya lebih efisien daripada sewa hyperscaler asing. Kita perlu ingat, selain kehilangan kontrol atas data, biaya sewa cloud asing itu nyata.

Sebagai gambaran, pasar pusat data Indonesia, yang didominasi oleh investasi hyperscaler, diperkirakan mencapai setidaknya US$ 1,865 miliar pada tahun 2023 dan diproyeksikan tumbuh hampir dua kali lipat menjadi US$ 616 juta pada tahun 2032.

Jika sebagian besar BUMN dan kementerian menggunakan layanan cloud asing dengan biaya operasional tahunan yang tinggi, akumulasi devisa keluar bisa menekan anggaran pembangunan kita secara signifikan.

Oleh karena itu, misi kita bukan hanya soal efisiensi data dan subsidi, tetapi soal kedaulatan ekonomi dan digital. Setiap rupiah yang keluar untuk sewa cloud asing bisa dialihkan untuk membangun kapasitas lokal, menciptakan lapangan kerja TI, dan mendorong inovasi nasional.

Kini saatnya para pemangku kebijakan mengambil sikap tegas: data energi dan subsidi strategi nasional yang mendasar untuk masa depan yang berdaulat.


(miq/miq)