Peluang Indonesia Memimpin Pasar Metanol Asia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Deru getar kereta api membawa penulis keluar dari hiruk pikuk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk menepi sejenak dari penatnya Ibu Kota. Dalam gerbong kereta sekilas tampak kesibukan warga DKI Jakarta yang memadati kereta sebelah, Kereta Rel Listrik atau KRL.
Rangkaian KRL yang mempunyai delapan hingga 12 gerbong melaju dengan membawa penumpang yang di dalamnya pasti banyak keluh kesah. Kadang juga terpikirkan apakah pendapatan masyarakat cukup besar sehingga rela berpergian dengan effort yang luar besar atau gaji mereka hanya cukup untuk bertahan hidup saja.
Penulis juga tergabung komunitas komuter yang rela berangkat pagi, pulang malam, dari Kota Serang ke DKI Jakarta, setiap hari menempuh setidaknya 80 kilometer atau dua jam di jalan. Rela menghabiskan waktu di jalan, tidak bermain dengan keluarga di rumah, hanya demi mendapatkan pendapatan. Istilah orang zaman dahulu (mungkin sekarang juga) adalah menua di jalan.
Di satu sisi, ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat, Nafa Urbach, menyampaikan keluhan harus menempuh satu jam setengah untuk berangkat dari Bintaro ke Senayan. Sehingga kata anggota DPR tersebut harus menyewa tempat tinggal di Jakarta dengan anggaran sebesar Rp50 juta per bulan.
Kolega anggota tersebut dan juga Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, juga menyebutkan bahwa untuk menyewa tempat tinggal di DKI Jakarta bagi dia adalah Rp3 juta per hari. Jadi klaim anggota dewan tersebut, mereka masih nombok untuk menyewa penginapan di DKI Jakarta.
Kondisi tersebut menggelitik hati nurani penulis di mana mereka yang digaji dari penduduk yang rela komuter, berdesak-desakan, harus membiayai penginapan anggota DPR yang malas bangun pagi untuk tidak terlambat. Nominal sewa penginapan sehari Rp3 juta sama dengan rata-rata upah pekerja di Indonesia yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya Rp3,1 juta per bulan.
Jika kita bandingkan dengan upah minimum DKI Jakarta sekitar Rp 5 juta per bulan, gaji masyarakat satu bulan tidak cukup untuk membiayai menginap anggota DPR selama dua hari. Jika kita kaitkan dengan pembayar pajak di mana dengan gaji sekitar Rp5 juta per bulan, pajak yang dibayarkan adalah Rp961 per hari. Maka, ada 3 ribu pekerja yang iuran membiayai penginapan anggota dewan terhormat untuk menginap setiap harinya. Iya, itu uang pajak kita.
Gaji Fantastis, Minim Etika
Seolah tidak pernah belajar, anggota dewan saat ini tengah krisis etika, bukan hanya soal kemampuan berpikir. Pola pikir yang "kurang" tersebut ditunjukkan ketika menyiratkan kebutuhan penyewaan tempat tinggal di saat semua sedang melakukan efisiensi. Anggota DPR dapat tunjangan rumah Rp50 juta per bulan di saat kondisi masyarakat sedang sulit mendapatkan hunian rumah.
Saat ini, backlog perumahan di Indonesia mencapai angka mengkhawatirkan, yakni sekitar 9,9 juta rumah. Artinya, jutaan keluarga masih hidup tanpa hunian yang layak. Kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji masyarakat tetap menjadi tantangan. Pada tahun 2023, kenaikan rata-rata harga rumah mencapai 1,96 persen, sedangkan kenaikan gaji hanya 1,8 persen. Ini berarti banyak masyarakat masih kesulitan untuk membeli rumah.
Data BPS menunjukkan 11 persen masyarakat dengan pendapatan 20 persen terbawah mendapatkan rumah dari warisan atau hibah. Angka tersebut tertinggi dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan menengah dan atas, menunjukkan ketergantungan masyarakat miskin akan hibah atau warisan rumah untuk memiliki hunian.
Sebanyak 24 persen masyarakat yang belum mempunyai hunian, beralasan tidak mempunyai dana. Sebagian dari mereka adalah penyumbang pajak untuk membiayai biaya tunjangan rumah DPR sebesar Rp50 juta per bulan. Masyarakat diminta iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang mendapatkan rumah adalah anggota dewan. Padahal, sudah ada perumahan khusus anggota dewan yang tersebar di Kalibata dan Ulujami.
Selain pola pikir yang "kurang" dan tersesat, anggota dewan kita juga menunjukkan minim etika. Minim etika di sini terkait dengan gaji yang fantastis yang diterima oleh anggota DPR namun masih meminta tambahan tunjangan. Gaji dan tunjangan melekat sebelum ditambahkan tunjangan rumah bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp60 juta, belum ditambah kehadiran dan sebagainya. Jika ditambah dengan tunjangan rumah, pendapatan per bulan bisa lebih dari Rp100 juta.
Perbandingan pendapatan anggota DPR di Indonesia 14 kali lebih tinggi dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita masyarakat Indonesia yang masih di angka Rp8,5 jutaan per bulan. Jika kita bandingkan dengan rata-rata upah yang sebesar Rp3,1 juta per bulan, maka pendapatan anggota DPR lebih besar 32 kali lipat.
Parlemen Malaysia, walaupun hampir sama pendapatan per bulan (sekitar Rp100 juta per bulan) namun hanya 6,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan PDB per kapita penduduk Malaysia.
Pola Pikir Anggota DPR
Tahun 2026, pemerintah masih melakukan efisiensi dalam beberapa pos anggaran, termasuk pos pendidikan dan transfer ke daerah. Anggaran pendidikan, meskipun dalam klaim pemerintah meningkat 9,8 persen.
Anggaran pendidikan di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar Rp757,8 triliun. Namun demikian, ada anggaran tersembunyi dalam Rp757,8 triliun untuk keperluan makan bergizi gratis. Program MBG dalam pos anggaran pendidikan mempunyai porsi hingga 30 persen dengan nominal sebesar Rp223,6 triliun. Jadi sektor pendidikan harus berhemat 22 persen hanya untuk menyediakan ruang bagi anggaran MBG.
Begitu juga dengan transfer ke daerah yang turun hingga 24,8 persen, di mana pada outlook 2025 sebesar Rp864,1 triliun, menurun menjadi Rp650 triliun di RAPBN 2026. Padahal, kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah terus meningkat, namun pemerintah pusat justru memangkas anggaran ke daerah.
Bagi daerah yang sangat bergantung pada dana alokasi umum (DAU), kondisi efisiensi ini akan memberatkan kesehatan fiskal daerah. Akibatnya, pemerintah daerah terpaksa mencari celah untuk menambal lubang fiskal yang ditinggalkan oleh pemerintah pusat. Salah satunya adalah melalui meningkatkan tarif pajak daerah, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bahkan, tidak tanggung-tanggung, ada beberapa daerah yang menaikkan tarif PBB hingga ratusan persen.
Dengan jumlah anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebesar 732 anggota, maka ada tambahan anggaran sebesar Rp439,2 miliar setiap tahun. Anggaran sebesar itu, bisa untuk memberikan gaji kepada guru 12,2 ribu guru honorer dengan gaji sebesar Rp3 juta per bulan. Saat ini, guru honorer masih banyak yang digaji sebesar Rp300 ribu per bulan dan pembayaran dilakukan tiga bulan sekali.
Maka, sudah saatnya kita bersuara untuk menuntut wakil kita di Senayan untuk dapat berpikir, setidaknya berempati memahami kondisi sosial ekonomi masyarakat. Uang negara yang dibayarkan dari gaji kita, harus dibuka secara transparan dan dapat dipertanggung jawaban. Untuk anggota DPR, Nafa Urbach, coba untuk bangun lebih pagi, berangkat lebih awal untuk tidak telat atau berangkat dari Bintaro menggunakan KRL, lebih cepat sampai ke Senayan via Stasiun Palmerah.