80 Tahun Indonesia Merdeka dan Pembangunan Abad 21

Fakhrul Fulvian CNBC Indonesia
Rabu, 20/08/2025 05:20 WIB
Fakhrul Fulvian
Fakhrul Fulvian
Fakhrul Fulvian adalah Chief Economist di Trimegah Sekuritas Indonesia. Titel sarjana ekonomi diraih dari Fakultas Ekonomi Universitas Indon... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi bendera merah putih. (Dokumentasi Pertamina International Shipping)

Sudah delapan dekade sejak proklamasi kemerdekaan dibacakan di sebuah halaman rumah sederhana di Pegangsaan Timur. Dalam 80 tahun ini, Indonesia telah menapaki musim-musim sejarahnya: musim kelahiran penuh harapan (1945-1965), musim badai dan konsolidasi (1965-1998), musim reformasi dan pembukaan diri (1998-2015), hingga musim guncangan global, pandemi Covid-19, dan era perubahan (2015-kini).


Dari reruntuhan perang dan kota yang sering gulita, kita membangun pelabuhan, membentangkan jalan tol, dan menyalakan listrik hingga ke desa-desa. Pendapatan per kapita naik dari hanya US$ 100 di awal kemerdekaan menjadi lebih dari US$ 4.900 hari ini. Kemiskinan ekstrem yang dulu menyelimuti mayoritas rakyat kini telah jauh berkurang, dan wajah kehidupan berubah: sekolah lebih ramai, rumah sakit lebih dekat, harapan lebih mungkin dijangkau.

Namun sejarah, seperti bumi, selalu berputar dengan musim-musimnya. Setelah abad ke-20 menjadi zaman mesin, abad ke-21 menjemput kita dengan musim semi baru: era artificial intelligence (AI), bioteknologi, dan energi hijau.

Kita sedang memasuki apa yang disebut Nikolai Kondratieff sebagai Kondratieff Spring, masa ketika ekonomi dunia menanggalkan salju krisis panjang, dan benih inovasi mulai tumbuh dari tanah beku.

Setiap musim semi dalam gelombang sejarah melahirkan tatanan baru: dulu lahir listrik, rel kereta, dan telepon; kini lahir AI, digitalisasi, dan energi bersih. Pertanyaannya: apakah kita hanya akan jadi penonton, atau ikut menabur benihnya?

Dunia pascapandemi, pascageopolitik lama, dan pascasistem keuangan tradisional kini menumbuhkan tunas-tunas baru:

• Ekonomi digital tanpa batas geografis,
• Tatanan moneter baru dari stablecoin dan CBDC,
• Energi terbarukan yang mengubah wajah industri,
• Kecerdasan buatan yang mengubah cara bekerja, belajar, dan bahkan bermimpi.

Tetapi seperti diingatkan Joseph Schumpeter, setiap musim semi juga membawa creative destruction: AI bisa memperdalam ketimpangan bila hanya dikuasai segelintir, perdagangan global makin terfragmentasi, transisi energi menimbulkan peluang sekaligus gejolak, dan sistem keuangan dunia menuntut reformasi besar di IMF, Bank Dunia, dan MDBs.

Musim semi bukanlah waktu beristirahat. Ia adalah waktu menanam fondasi yang menentukan panen besar 30-40 tahun mendatang.

Dari Beton ke Sistem
Delapan puluh tahun pertama kita dipenuhi pembangunan fisik: jalan, pelabuhan, bandara, bendungan, listrik. Delapan puluh tahun berikutnya menuntut pembangunan sistem, nilai, dan kapasitas kolektif.

Jika masa lalu kita bertumpu pada baja, batu, dan aspal, maka abad ini menuntut kekuatan dari pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan beradaptasi. Bung Hatta pernah mengingatkan: "Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan emas untuk mencapai masyarakat adil dan makmur."

Bung Sjahrir pun menulis: "Kemerdekaan nasional adalah bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya."

Dua pesan ini adalah petunjuk lintas zaman: membangun negeri tidak hanya mengisi kas negara, tapi juga hati rakyat dengan rasa memiliki dan percaya pada masa depan.

Ukuran Baru untuk Musim Baru
80 tahun kita terlalu lama bergantung pada GDP. Ia menghitung barang dan jasa, tapi tidak menghitung rasa aman, udara bersih, ketahanan keluarga, atau kesehatan jiwa bangsa. GDP naik, tetapi jika ketimpangan melebar, tanah rusak, dan rakyat kehilangan makna, untuk apa angka itu?

Abad ke-21 menuntut ukuran baru yang lebih manusiawi:

• Green GDP, yang menghitung biaya lingkungan,
Inclusive Prosperity Index, yang mengukur seberapa merata hasil pertumbuhan,
• Indeks Ketahanan Sosial, untuk menilai kekuatan keluarga dan komunitas menghadapi krisis,
• Indeks Kapasitas Digital, yang mengukur akses rakyat pada AI dan teknologi,
Well-being Index, yang mengukur kesehatan mental, pendidikan, dan kohesi sosial.

Indonesia, seperti dulu berani memimpin kemerdekaan Asia-Afrika, bisa kembali memelopori cara baru membaca peradaban.

Dunia Baru: Lima Angin Perubahan
Musim semi kita ditiup oleh lima angin besar:
1. Krisis iklim dan transisi energi, di mana revolusi hijau adalah keniscayaan.
2. Perdagangan internasional bergeser dari integrasi ke fragmentasi, di mana ASEAN dan middle powers harus jadi jangkar aturan.
3. Sistem keuangan global keluar dari bayang-bayang dolar, reformasi SDR, pajak internasional, dan peran MDBs jadi kunci.
4. Populasi menua, membalik struktur pasar tenaga kerja dan menuntut inovasi sosial.
5. Lompatan teknologi (AI, digital, bioteknologi) yang peluang besar, sekaligus jurang ketimpangan bila tak dikelola multipolar.

Tidak ada peta lama yang bisa memandu kita. Peta baru dunia bukan lagi satu kutub yang memimpin, melainkan jaringan lintas arah. Teknologi melesat seperti rasi bintang: bisa jadi kompas, bisa pula jadi kabut tergantung keberanian kita menavigasi dengan keadilan.

Masa Depan: Rencana Gampang Tapi Serius
Banyak bangsa terjebak pada keyakinan bahwa masa depan harus lahir dari desain rumit. Padahal, yang menyelamatkan masyarakat bukanlah rumitnya rencana, melainkan kesederhanaan arah. "Rencana gampang" berarti tujuan pembangunan bisa dipahami rakyat seperti peta desa: jelas, mudah dibaca, dan semua orang tahu jalan pulang.

Tetapi gampang tidak berarti main-main. Ia harus disusun dengan visi, data, dan disiplin. Karena itu, rencana ini harus keluar dari ruang rapat teknokrat dan masuk ke ruang hidup sehari-hari: dibicarakan di warung kopi, diajarkan di kelas, dan didiskusikan di grup WhatsApp warga.

Beberapa program pemerintah saat ini seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi sarana yang baik untuk menjadi kebijakan yang arahnya jelas dan bisa dimengerti eksekusinya oleh masyarakat.

Indikator pun harus gampang dipahami rakyat, tapi serius nilainya: harga beras dan cabai, udara pagi yang kita hirup, waktu tempuh ke sekolah, seberapa sering kita masih gotong royong, dan apakah anak muda masih bisa punya rumah atau modal usaha. Indikator sederhana ini justru lebih jujur mencerminkan denyut kehidupan.

"Seorang ibu di pasar tidak perlu tahu istilah output gap, tapi ia ingin harga cabai tidak melonjak minggu depan. Seorang guru di desa tidak perlu tahu perdebatan moneter, tapi ia ingin ada internet agar muridnya bisa belajar dan tersedia dana untuk kesana. Itulah arti rencana gampang tapi serius: indikator yang sederhana, tapi serius nilainya bagi bangsa."

80 tahun lalu, kemerdekaan lahir dari keberanian untuk memulai. 80 tahun ke depan, kejayaan lahir dari keberanian untuk merancang. Musim semi telah tiba. Benih yang kita tanam hari ini akan menentukan taman peradaban esok.

Merdeka!


(miq/miq)