Refleksi Konstitusi di Hari Ulang Tahunnya

Nur Fauzi Ramadhan, CNBC Indonesia
18 August 2025 05:40
Nur Fauzi Ramadhan
Nur Fauzi Ramadhan
Nur Fauzi Ramadhan merupakan peneliti yang meminati isu hukum dan kebijakan publik. Fokus kajian dari Fauzi adalah hukum pidana, hukum tata negara dan administrasi negara, hukum disabilitas, dan kebijakan publik. Selain itu, Fauzi berpengalaman dalam mela.. Selengkapnya
Gedung Mahkamah Konstitusi RI. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Setiap tanggal 18 Agustus, kita memperingati Hari Konstitusi. Hal ini merupakan momentum seremonial untuk memperingati kala dicetuskannya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara.

Sehari selepas diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai melakukan rangkaian rapat secara maraton guna mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan guna mendukung jalannya negara Indonesia yang baru berdiri.

Rapat yang dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu pada intinya menyepakati tiga hal, yakni: menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara, mengangkat Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, dan membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk membantu tugas presiden dan wakil Presiden dalam hal pemegang kekuasaan legislatif.

Oleh sebab pada rapat tersebut ditetapkan UUD 1945 sebagai dasar negara, maka praktis setiap tanggal 18 Agustus kita memperingati Hari Konstitusi.

Tak Selamanya UUD 1945
Dalam perjalanannya, UUD 1945 tidak selalu menjadi dasar legal-formal dalam jalannya negara dan pemerintahan. Hal demikian tidak terlepas dari kondisi politis terutama di dua dasawarsa awal kemerdekaan seperti masih adanya upaya Belanda untuk memerintah kembali Indonesia dan perbedaan pendapat antar sesama pembesar saat itu.

Oleh karenanya, praktis pernah ada tiga model dasar negara yang pernah diberlakukan yakni: Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku pada 27 Desember 1949-17 Agustus 1950, Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang diberlakukan pada 17 Agustus 1950-5 Juli 1959, dan kembali lagi ke UUD 1945 sejak 5 Juli 1959 hingga saat ini.

Dalam sejarahnya pun, UUD 1945 telah dilakukan amendemen sebanyak empat kali. Hal demikian merupakan tuntutan reformasi pada tahun 1998 sehingga dibutuhkan penyesuaian lebih lanjut terhadap dasar negara yang berlaku agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Lagi pula, menurut Soekarno sendiri tatkala berpidato di forum PPKI padaa tahun 1945, UUD yang dibentuk pada saat itu merupakan jenis UUD kilat, sehingga dibutuhkan adanya pembaharuan di masa depan. Kendati begitu, pada saat amendemen UUD, Panitia Amendemen Konstitusi menyepakati ada beberapa hal yang tidak dapat diamendemen sebagai bentuk komitmen pada kesakralan nilai-nilai bangsa.

Adapun beberapa hal tersebut diantaranya ialah: Pembukaan UUD 1945, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, pasal yang berkaitan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem pemerintahan presidensial, serta komitmen untuk berhati-hati untuk melaksanakan amendemen di masa yang akan datang.

Adapun sebagai hal yang menjadi kebaharuan dari amendemen konstitusi sendiri ialah berkenaan tentang pembatasan kekuasaan presiden, adanya lembaga negara tinggi negara baru, memberikan penegasan tentang sistem negara dan sistem perekonomian, dan pendidikan.

Konstitusi dan Gejolak Masa Kini
Peringatan Hari Konstitusi seyogianya tidak hanya dijadikan sebagai momentum seremonial belaka. Di saat 80 tahun kemerdekaan dan Hari Konstitusi, sayangnya kita sedang berada pada situasi yang mengkhawatirkan.

Saat ini, terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, tingginya sektor pekerja informal, serta ketidaktaatan terhadap konstitusi yang dilakukan secara terang-terangan.

Dalam persoalan perekonomian, hal demikian terjadi oleh sebab tidak terejawantahkannya Pasal 33 ayat (3) UUD dengan konsekuen dan persisten. Makna pasal 33 ayat (3) yakni "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat", tidak pernah tersampaikan dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat secara konsekuen.

Hal demikian dapat terlihat seperti banyak kita temui berita terjadinya korupsi yang berkaitan tentang izin tambang, izin perkebunan, izin hutan, dan sebagainya.
Dalam persoalan sosial, itu karena amanat Pasal 34 ayat (1) UUD yakni, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara" tidak pernah tersampaikan dengan baik.

Saat ini, boleh jadi mereka yang berada dalam golongan fakir dan miskin serta orang terlantar benar-benar dipelihara keadaannya supaya dapat dijadikan lumbung suara dalam proses elektoral. Bukan berarti dipelihara dengan tujuan dipenuhi kebutuhannya, dijamin haknya, dan dihargai suaranya secara bermartabat.

Dalam hal kenegaraan, kita masih menemui banyak sekali upaya untuk mengkerdilkan konstitusi. Sebagai contoh, banyak kita temui akhir-akhir ini upaya untuk menjadikan negara berupa lembaga dan institusinya sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan baik di pusat maupun di daerah, melakukan korupsi dan keserakahan secara besar-besaran, bahkan melakukan tindakan lain yang dapat merongrong kesatuan dan persatuan bangsa.

Simbol bendera bajak laut Jolly Roger One Peace yang menjadi tren akhir-akhir ini sudah seyogianya dimaknai sebagai ancaman persatuan dan kesatuan, serta pengkhianatan terhadap konstitusi. Namun, seharusnya kita membaca fenomena ini bukan untuk berlaku represif kepada pelaku, akan tetapi kita perlu mencaritahu dasar dari hal tersebut.

Simbol tersebut merupakan simbol perlawanan terhadap keadaan yang terjadi seperti naiknya pajak namun tidak disertai dengan kenaikan mutu pelayanan publik, pernyataan kontroversial dari para pembesar negeri, terjadinya ketidakadilan yang terus dipertontonkan, atau faktor-faktor sistemik seperti terjadinya kemiskinan, sulitnya lapangan kerja, terjadinya ketimpangan ekonomi, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, alih-alih melakukan hal represif terhadap fenomena yang terjadi akhir-akhir ini ataupun yang akan terjadi di masa depan, pemerintah dan segala alat negara sudah semestinya berefleksi mengenai akar permasalahan sehingga terjadi fenomena tersebut.

Di akhir, muncul kembali pertanyaan, apakah tingkah kita semua dalam bernegara sudah sesuai dengan amanat konstitusi? Atau justru, konstitusi yang kita pegang adalah hal yang berbeda dengan konstitusi yang kita jalankan?


(miq/miq)