Renungan 7 Oktober dari Gaza Palestina

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Jakarta, Agustus 1945. Kota itu seperti menahan napas. Tentara Jepang masih berseragam di jalanan, tetapi kekalahannya di Pasifik sudah menjadi rahasia umum.
Di sebuah rumah di Jalan Menteng 31, suara langkah pemuda-pemuda muda bergema hingga malam. Asap rokok bercampur dengan bau tinta dan kertas. Di antara mereka ada Sukarni, Wikana, Chairul Saleh, Adam Malik, nama-nama yang kelak memenuhi bab kecil tapi penting dalam sejarah republik.
Mereka bukan pejabat, bukan anggota BPUPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Mereka bahkan tidak punya kedudukan politik resmi. Tetapi dari ruang sempit itu lahir desakan, amarah, dan harapan yang akan mengubah arah bangsa.
Mereka "hampa dalam putaran kuasa", tapi daya ledak ide mereka menembus batas ruang sidang yang rapi dan berhati-hati. Para senior kala itu, Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh BPUPKI, sedang menimbang jalannya sejarah dengan hati-hati di bawah bayang-bayang Jepang.
Sementara di Menteng 31, generasi muda mendidih. Mereka membaca pamflet, buku, dan tulisan Soekarno, Hatta, serta Tan Malaka yang beredar diam-diam. Mereka menyerap semangat sosialisme, nasionalisme, dan anti-imperialisme tanpa benar-benar terikat pada satu ideologi.
Mereka bukan komunis, bukan nasionalis ortodoks, bukan Islam politik. Mereka hanyalah pembaca gelisah yang menolak menunggu izin untuk merdeka. Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pertengahan Agustus 1945, mereka melihat satu hal: pintu sejarah terbuka.
Sukarni dan Wikana mendatangi rumah Soekarno di Pegangsaan Timur, mendesak agar proklamasi dilakukan segera, malam itu juga. Namun Soekarno menolak, menunggu keputusan PPKI. Perdebatan itu berakhir dalam kebuntuan yang menyala.
Dini hari 16 Agustus, para pemuda membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Itu bukan penculikan politik, melainkan tekanan moral, agar kemerdekaan tidak menjadi hadiah Jepang, melainkan tindakan bangsa sendiri.
Keesokan harinya, 17 Agustus 1945, teks proklamasi dibacakan. Sejarah pun mencatat: revolusi dimulai bukan oleh mereka yang berkuasa, tetapi oleh mereka yang berani mendesak kekuasaan agar segera berpihak pada rakyat.
Setelah proklamasi, api Menteng 31 belum padam. Mereka ikut mendorong pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) dan menuntut agar presiden bertanggung jawab kepada wakil rakyat. Tekanan pemuda membuat sistem pemerintahan yang semula bersifat presidensial berubah menjadi parlementer sementara.
Dari sana lahir semangat baru, bahwa republik bukan milik pemimpin semata, melainkan ruang bagi rakyat mengawasi kekuasaan. Namun semangat itu juga membawa paradoks.
Sebagian dari mereka kemudian terpecah oleh arus ideologi pascarevolusi, ada yang condong ke kiri, ada yang tetap di jalur nasionalis, ada pula yang memilih diplomasi. Tetapi sebelum semua label ideologis itu muncul, di tahun 1945 mereka berdiri dalam satu bahasa: Indonesia harus merdeka, sekarang juga.
Kini, ketika jarak sejarah makin jauh, kalimat "pemuda hampa dalam putaran kuasa tapi berdaya ledak tinggi" terasa seperti gema yang datang dari masa lalu. Ia mengingatkan bahwa kekuatan perubahan tidak selalu lahir dari jabatan, melainkan dari nurani yang menolak diam.
Dari ruang-ruang diskusi, dari halaman kecil yang menjadi tempat berkumpul, dari buku-buku yang dibaca dalam senyap, lahir keberanian untuk memaksa sejarah bergerak.
Bangsa ini pernah dibangunkan oleh mereka yang tak punya apa-apa selain keyakinan. Dan mungkin, dalam setiap zaman, bangsa ini menunggu lagi lahirnya mereka, pemuda-pemuda yang tampak hampa di mata kekuasaan, tapi menyimpan daya ledak ide untuk mengubah arah negeri.