Revisi UU ASN untuk Menjaga Kesehatan Fiskal APBD

Kurniawan Budi Irianto CNBC Indonesia
Senin, 11/08/2025 06:34 WIB
Kurniawan Budi Irianto
Kurniawan Budi Irianto
Kurniawan Budi Irianto, Pejabat pengawas pada Kementerian Keuangan. Menulis untuk mengisi waktu luang. Opini yang disampaikan merupakan pend... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi ASN. (Aristya Rahadian/CNBC Indonesia)

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), khususnya Pasal 66, menghadirkan persoalan baru dalam tata kelola kepegawaian di Indonesia. Pasal ini mengatur bahwa seluruh pegawai non-ASN harus ditentukan statusnya paling lambat Desember 2024, dengan pilihan utama dialihstatuskan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Boleh dibilang pasal tersebut akhirnya menjadi jerat yang terpaksa harus dilaksanakan. Meskipun niat dari pemberlakuan ketentuan ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dan penghargaan bagi tenaga honorer yang telah lama mengabdi, pelaksanaannya justru memunculkan tantangan serius di tingkat daerah. Khususnya dari sisi fiskal dan kepatuhan terhadap batasan belanja pegawai sebagaimana telah diatur dalam regulasi lainnya.


Masalah utama muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara ketentuan dalam UU ASN dan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dalam UU HKPD, pemerintah daerah diwajibkan menjaga porsi belanja pegawai tidak melebihi 30% dari total APBD.

Sementara itu, dengan kewajiban pengangkatan honorer menjadi PPPK sesuai UU ASN terdapat sejumlah daerah yang akhirnya gagal mencapai target maksimal belanja pegawai di angka 30%. Alih-alih menurunkan porsi belanja pegawai, yang terjadi malah terjadi penambahan persentase cukup signifikan khususnya di daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) minim.

Kondisi ini menciptakan dilema struktural. Di satu sisi, daerah harus mematuhi perintah UU ASN untuk menyelesaikan status seluruh pegawai non-ASN. Pada saat yang bersamaan pemda tunduk dengan aturan tentang batas maksimal alokasi per jenis belanja pada APBD. Alhasil, pemda pun harus menyusun berbagai skenario agar kedua regulasi yang ada bisa terlaksana secara harmonis.

Untuk mengatasi tekanan fiskal, terdapat beberapa kebijakan yang akhirnya diambil oleh pemda dalam menentukan status kepegawaian terhadap tenaga honorer yang dimiliki. Hal yang pertama dilakukan jelas meniadakan rekrutmen pegawai baru dengan status nonASN. Moratorium ini sejalan dengan Pasal 65 UU ASN yang mengatur larangan pengangkatan pegawai nonASN serta ancaman sanksi yang akan diberikan jika ada pelanggaran.

Terhadap pegawai honorer yang dimiliki, bagi pemda dengan kapasitas fiskal memadai maka konversi status bukan merupakan sebuah permasalahan. Sayangnya pemda yang berkategori mampu jumlahnya tidak terlalu banyak. Sebaliknya pemda dengan kategori menengah sampai kemampuan fiskal terbatas menduduki jumlah dominan.

Pada pemda dengan kemampuan fiskal menengah dan bawah, pelaksanaan alih status menghadapi problematika. Meski pemerintah pusat telah memberikan kuota pengangkatan namun di lapangan jumlah kuota yang disediakan tidak sepenuhnya bisa dieksekusi. Di sinilah kemudian muncul konflik baik antara honorer dengan pemda maupun honorer dengan pegawai yang berstatus PNS.

Pegawai honorer akan mendasarkan pada kuota yang disediakan pemerintah pusat dan menuntut untuk segera diangkat sesuai kuota yang disediakan. Adanya potensi konflik tersebut memaksa pemda untuk berhitung ulang sesuai kemampuan fiskal yang dimiliki. Sedangkan potensi konflik dengan pegawai yang berstatus PNS akan terlihat pada saat pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai atau TPP.

Ketika besaran belanja pegawai sudah dikunci persentase alokasinya dan faktor pembagi alias jumlah pegawai bertambah maka secara matematis besaran TPP akan mengecil. Sejumlah daerah akhirnya terpaksa melakukan penyesuaian besaran TPP dikarenakan tambahan pegawai-pegawai baru hasil pengangkatan dari honorer.

Walaupun ada pemda yang mampu merekrut semua honorer menjadi PPPK, terdapat pula pemda yang meski sudah menggunakan berbagai skenario tetap kesulitan untuk melakukan perubahan status honorer menjadi PPPK. Sisa honorer ini yang kemudian menyisakan persoalan yang harus dituntaskan.

Pemerintah pusat menyikapi hal tersebut dengan wacana PPPK paruh waktu, namun hal tersebut tidak menjawab hal mendasar sesuai dengan amanat UU ASN. Khususnya ketika dihadapkan dengan standar penghasilan bagi PPPK dengan status paruh waktu.

Alternatif lain yang dilakukan pemda untuk menyiasati pemberlakuan UU ASN berkaitan dengan durasi waktu kontrak para PPPK. Jika pada umumnya PPPK dikontrak untuk jangka waktu hingga 5 tahun dan dapat diperpanjang, terdapat beberapa pemda yang membatasi kontraknya hanya untuk satu tahun anggaran saja.

Kontrak dengan durasi tahunan sebenarnya tidak berbeda dengan yang dilakukan selama ini terhadap pegawai honorer. Satu hal yang membedakan hanya berkaitan dengan standar penghasilan yang lebih layak dibandingkan dengan sewaktu menjadi honorer. Dengan masa kontrak yang hanya tahunan tersebut sebenarnya cukup mengganggu motivasi para PPPK untuk berkinerja secara optimal.

Tatkala semua langkah yang dilakukan tidak mampu mengerem laju kenaikan belanja pegawai maka alternatif kebijakan tidak populis pun terpaksa dipilih. Beberapa pemda akhirnya memilih mendongkrak PAD secara agresif, terutama melalui kenaikan tarif pajak dan retribusi daerah. Sayangnya, langkah ini langsung berdampak terhadap daya beli masyarakat dan iklim usaha di daerah.

Fenomena alih status tenaga honorer sejatinya bukan hal baru. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pernah dilakukan program besar-besaran pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS. Hasilnya tidak sesuai yang dibayangkan. Jumlah honorer bukannya menghilang namun malah bertambah.

Beberapa kasus dijumpai bahwa honorer yang seharusnya masuk dalam daftar pengangkatan justru tidak diangkat. Posisi mereka tergantikan oleh honorer "siluman" yang selama ini malah tidak pernah mengabdi di institusi pemerintahan.

Realita yang terjadi di era Presiden SBY tersebut saat ini pun kembali terulang. Setelah secara masif dilakukan alih status PPPK ternyata jumlah yang belum diangkat terus bertambah. Jika kebijakan ini terus dilanjutkan maka akan menjadi preseden yang terus berulang di tahun-tahun yang akan datang. Adanya kelonggaran aturan serta potensi menjadi ASN "tanpa seleksi" membuka peluang daerah untuk terus mencoba menyisipkan tenaga-tenaga baru untuk menjadi honorer jika memungkinkan.

Melihat kompleksitas dan dampak luas dari kebijakan alih status ini, revisi UU ASN menjadi langkah yang sangat penting. Fokus revisi bukan sekadar mengakomodasi kepentingan pegawai non-ASN, tetapi juga harus berpijak pada kemampuan fiskal, efisiensi birokrasi, dan prinsip keadilan rekrutmen.

Beberapa pengaturan yang perlu dipertimbangkan dalam revisi UU ASN di antaranya :

1. Menghapus kewajiban alih status tenaga honorer menjadi ASN secara otomatis. Negara tidak semestinya menanggung beban fiskal dari pengangkatan massal tanpa mempertimbangkan kemampuan anggaran dan kebutuhan riil organisasi.

2. Rekrutmen ASN harus dilakukan melalui proses seleksi terbuka dan kompetitif, bukan konversi status. Hal ini sejalan dengan prinsip meritokrasi yang menjadi fondasi reformasi birokrasi.

3. Fokus pengaturan UU ASN sebaiknya diarahkan pada penetapan standar penghasilan yang layak bagi seluruh pegawai pemerintah terlepas apapun statusnya. Hal ini tentu akan membuka peluang peningkatan penghasilan pegawai berstatus honorer atau pegawai lepas untuk mendapatkan penghasilan secara layak.

Pembatasan status kepegawaian justru menjadi rumit mengingat karakteristik pegawai yang bekerja di institusi pemerintahan bisa beraneka ragam. Mulai dari pegawai yang bekerja penuh dan terus menerus hingga pegawai dengan durasi singkat misalnya dosen untuk mata kuliah tertentu atau dokter swasta yang berpraktik di RS pemerintah.

4. Kewenangan pengangkatan PPPK lingkup pemda sebaiknya menjadi hak penuh pemerintah setempat. Hal ini logis karena PPPK akan menjadi beban fiskal APBD serta adanya aturan yang melarang terjadinya mutasi PPPK antar daerah. Sebaliknya, pengangkatan PNS tetap menjadi domain pemerintah pusat karena memiliki implikasi penugasan secara nasional.

5. Pengendalian rekrutmen tenaga honorer pasca-pengangkatan juga harus diatur secara tegas dengan memperhitungkan kemampuan fiskal yang dimiliki agar tidak terjadi pembengkakan biaya birokrasi.

Revisi UU ASN bukan hanya soal kepegawaian, tetapi juga soal menjaga keseimbangan antara perlindungan pegawai dan keberlanjutan fiskal. Dalam sistem pemerintahan yang desentralistik seperti Indonesia, daerah harus diberi keleluasaan yang proporsional untuk mengelola SDM sesuai kemampuan fiskal yang dimiliki.

Tanpa adanya revisi UU ASN, kebijakan pengangkatan honorer berpotensi menjadi "bom waktu" fiskal bagi daerah. Kenaikan belanja pegawai yang tidak terkendali akan menggerus porsi anggaran untuk pembangunan dan pelayanan publik. Akhirnya, masyarakatlah yang akan menanggung akibat dari ketidakseimbangan ini.

Memang benar bahwa APBD merupakan alat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di daerah. Namun perlu direnungkan kembali bahwa penciptaan lapangan kerja yang dimaksud dalam arti luas bukan dalam pengertian sempit berupa meningkatnya beban anggaran khususnya untuk mendanai kebutuhan pegawai semata.


(miq/miq)