Mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Pemilu Nasional dan Lokal

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Akhir-akhir ini, publik kembali menyoroti sejumlah penempatan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dijabat oleh sejumlah politisi, tanpa terkecuali anggota kabinet yang juga menjabat sebagai wakil menteri di kabinet Merah Putih. Hal demikian pascaditempatkannya para wakil menteri di 30 jabatan komisaris BUMN dan pascadibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XXIII/2025.
Putusan MK 21/PUU-XXIII/2025 yang berisikan larangan rangkap jabatan wakil menteri untuk menduduki jabatan direksi/komisaris Badan Usaha Milik Negara/Swasta serta badan lain yang dibiayai oleh APBN telah diputus pada Kamis, 17 Juli 2025. Dalam putusan ini pada intinya menyatakan permohonan yang diajukan oleh pemohhon tidak dapat diterima.
Konsekuensi hukum dari putusan tidak dapat diterima dalam konteks MK ialah segala alasan dan kerugian konstitusional menjadi tidak dapat dipertimbangkan kembali oleh MK atau dalam kata lain permohonan menjadi gugur. Kendati begitu, perlu kiranya kita menggaris bawahi bahwa sebab dari gugurnya permohonan di MK tersebut bukan disebabkan karena tidak adanya keterkaitan antara dalil-dalil yang dikemukakan dengan kerugian konstitusional Pemohon.
Akan tetapi sebab putusan dinyatakan tidak dapat diterima karena Pemohon yang meninggal dunia sebelum putusan dibacakan. Sehingga, kerugian hak konstitusional yang diderita Pemohon sebagai dasar permohonan menjadi tidak terjadi lagi.
Lebih jauh dari sekadar putusan yang dinyatakan tidak dapat diterima, sejatinya putusan ini menjadi pengingat publik terhadap putusan sebelumnya yang pernah diputuskan oleh MK. MK dalam Putusan 80/PUU-XVI/2019 telah memberikan panduan tentang jabatan wakil menteri dalam pemerintahan dan stuktur ketatanegaraan.
Pemaknaan Putusan MK
Dalam putusan 80/PUU-XVI/2019, MK menegaskan bahwa jabatan wakil menteri merupakan jabatan yang konstitusional. Hal demikian didasari pada kebutuhan praktis untuk menunjang pemerintahan yang dipimpin langsung oleh Presiden.
Di saat yang bersamaan dalam pertimbangan hukum tersebut juga melarang wakil menteri untuk memegang jabatan sebagai direksi dan komisaris dari Badan Usaha Milik Negara/swasta ataupun badan lain yang dibiayai oleh APBN (Paragraf 3.13 Putusan MK 80/2019 halaman 96).
Meskipun pada akhirnya putusan tersebut juga dinyatakan tidak dapat diterima, kendati penting kiranya dalam membaca putusan MK juga memperhatikan pertimbangan hukum sebagai satu kesatuan dari putusan. Hal demikian guna mencegah distorsi pemaknaan dari putusan MK itu sendiri.
Dalam kasus lain, pertimbangan hukum, meskipun amar putusannya dinyatakan tidak dapat diterima juga dapat menjadi rujukan dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sebagai contoh ialah putusan MK 138 Tahun 2009 soal uji formil terhadap UU KPK yang merupakan hasil persetujuan DPR dengan ditetapkannya Perppu 4 Tahun 2009.
Tiga syarat pada bagian pertimbangan hukum yang dibuat oleh MK dalam menilai konstitusionalitas sebuah Perppu yakni: adanya kekosongan hukum, kekosongan hukum tersebut harus diatur oleh UU, dan prosedur untuk membentuk UU tidak dapat dilakukan dalam waktu tertentu sudah menjadi justifikasi dalam pembuatan perppu di kemudian hari. Artinya, pertimbangan hukum tersebut secara tidak langsung sudah menjadi layaknya konsensus ketatanegaraan hingga saat ini.
Contoh lainnya ialah tatkala MK memutus perkara 12/PUU-XXII/2024. Kala itu, permohonan yang mengujikan tentang caleg terpilih pada Pemilu 2024 yang harus mengundurkan diri untuk berkontestasi di Pilkada 2024 pada amar putusannya justru ditolak oleh MK.
Kendati begitu, dalam amar pertimbangannya MK meminta pada pemerintah dan KPU sebagai otoritas dari penyelenggara pemilu untuk mempersyaratkan surat pengunduran diri bagi caleg terpilih bila ingin berkontestasi dalam Pilkada 2024. Hal ini kemudian diperkuat oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu yang mengakomodasi pertimbangan hukum MK tersebut.
Dari dua contoh kasus tersebut, sejatinya para pemangku kepentingan sudah menyadari bahwa meskipun dalam amar putusannya tidak dapat diterima ataupun ditolak, pertimbangan hukum masih memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagai satu kesatuan dari sebuah putusan. Bukankah seyogianya hal ini juga dapat diberlakukan secara konsisten dalam putusan 80/PUU-XVII/2019?
Bukan Hanya Soal Yuridis
Lebih jauh dari soal yuridis, secara faktual adanya rangkap jabatan wakil menteri tentu akan mengganggu efektivitas dari jalannya pemerintahan. Kembali lagi, dalam UU Kementerian Negara, tujuan untuk dibentuknya jabatan wakil menteri ialah untuk mengakselerasikan dan mengefektifkan tugas dari menteri dalam mengemban jalannya pemerintahan.
Pada awalnya, jabatan wakil menteri biasanya diambil dari teknokrat, akademisi, atau birokrat yang memahami isu dari suatu kementerian tertentu apabila pos kementerian tersebut diisi dari kalangan partai politik. Pertanyaannya, apakah dengan mengemban dua jabatan sekaligus akan menyebabkan tugas wakil menteri dan komisaris tersebut dapat terselenggara dengan baik secara bersamaan?
Terlebih, tugas komisaris sejatinya mengawasi jalannya sebuah perusahaan yang diselenggarakan oleh direksi, lalu apakah dengan menjalankan tugas menjadi wakil menteri bisa mengemban jabatan lainnya sebagai pengawas perusahaan?
Belum lagi jika kita berbicara adanya potensi benturan kepentingan (conflict of interest/coi) dan tidak sesuainya portofolio yang dikerjakan. Pertama soal benturan kepentingan, hal ini dapat terjadi karena adanya dua status yang diemban. Apabila jabatan wakil menteri dan BUMN yang diawasi bergerak di lini yang sama, apakah tidak terjadi penyalahgunaan kepentingan antara 'regulator' dengan 'operator'?
Lalu yang kedua soal perbedaan portofolio antara kementerian dan BUMN yang dimaksud. Sebagai renungan reflektif, apakah dimungkinkan dalam waktu yang bersamaan seorang wakil menteri yang mengurusi bidang hukum dan kemasyarakatan menjadi pengawas perusahaan yang bergerak di bidang pertanian?
Apakah kedua tugas tersebut dapat diemban dengan optimal? Atau justru, akan menciptakan trade off di lain sisi? Jika begitu, apabila kita meninjau dari sudut pandang non-politis bukankah tidak lebih baik jika memegang salah satu jabatan saja, untuk kemudian salah satu yang lainnya dikerjakan oleh profesional di bidangnya?
Di akhir, muncul pertanyaan: Putusan MK mengadang, apakah rangkap jabatan wakil menteri terus melenggang?