Triliunan Rupiah Dihabiskan, Tapi Mengapa Jakarta Masih Kebanjiran?

Kini, banyak warga Jakarta melihat banjir sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari yang harus dilalui. Sementara itu, pemerintah memahaminya sebagai masalah perkotaan yang harus dikelola. Tapi yang jelas, banjir terus datang dan pergi menenggelamkan kota dengan penduduk sekitar 10,7 juta jiwa itu dari waktu ke waktu.
Setelah tinggal di Jakarta selama beberapa waktu, penduduknya seolah-olah berdamai dengan kenyataan bahwa banjir merupakan masalah abadi yang tidak akan selesai dan hanya bisa diantisipasi serta dimitigasi dampak-dampaknya.
Perasaan itu bisa dipahami menimbang banjir sudah terjadi berulang-ulang dan masalahnya belum pernah teratasi sepenuhnya. Sekarang, banyak warga yang menerimanya sebagai bagian dari kehidupan di Jakarta, di mana orang-orang di kota itu perlu hidup berdampingan dengan banjir.
Dalam sejarah terkini, sekurang-kurangnya Jakarta telah mengalami empat kali banjir yang berskala besar. Air menenggelamkan kota itu pada tahun 2007, 2013, 2020, dan paling baru 2025. Pada bulan Maret 2025 lalu, air banjir menyerbu dari segala arah ketika Jakarta beserta wilayah-wilayah di sekitarnya diguyur hujan pada awal bulan Ramadhan saat banyak orang sedang puasa. Bagi warga Jakarta dan sekitarnya yang sedang menempuh ibadah puasa, banjir itu benar-benar memberikan ujian.
Seperti di kejadian-kejadian banjir sebelumnya, banjir yang terbaru pada 2025 itu juga mengakibatkan korban jiwa. Menteri Sosial Saifullah Yusuf yang kerap disapa Gus Ipul mengungkapkan ada sebanyak 28.000 jiwa terdampak oleh banjir di wilayah Jakarta, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bogor (Kompas, 2025). Bersamaan, Jakarta melaporkan kerugian finansial sebesar Rp1,92 miliar karena bencana tersebut (TVRI News, 2025).
Apa yang membuatnya berbeda sekarang adalah kejadian tersebut merupakan rangkaian dari gelombang banjir sejak awal tahun dan masih berlangsung hingga saat ini. Pada tahun 2025, Jakarta sudah terendam banjir di akhir bulan Januari, yaitu ketika masyarakat sedang merayakan Tahun Baru Imlek. Saat itu, lebih dari 2 ribu warga mengungsi ketika genangan air membanjiri berbagai wilayah di seantero wilayah Jakarta.
Setelah menghadapi banjir sejak bulan Januari lalu, Jakarta dan sekitarnya kembali ditenggelamkan oleh air ketika hujan deras terjadi di bulan Juli. Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Pramono Anung, beralasan bahwa banjir yang terbaru disebabkan oleh tingginya curah hujan di Jakarta, kiriman air dari daerah-daerah hulu, dan air pasang di wilayah-wilayah pesisir (Detik.com, 2025).
Sehingga, air terus berkumpul di Jakarta dan genangannya tidak bisa keluar dari kota tersebut. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa Jakarta banjir selama 1 semester lebih tanpa adanya kepastian kapan itu akan berhenti pada tahun 2025 ini.
Bukannya warga dan pemerintah tidak memiliki kesadaran atau upaya untuk menghadapi dan mengatasi banjir sebagai masalah yang kini hampir menjadi rutinitas kehidupan. Pada hari Rabu, 3 Maret 2025, Harian Kompas memuat artikel berjudul "Jabodetabek Butuh Solusi Atasi Banjir" di halaman pertama terbitan cetaknya.
Koran tersebut menyertai foto sebesar lebih dari setengah halaman yang memperlihatkan kompleks perumahan di sekitar Jabodetabek (wilayah aglomerasi Jakarta yang terdiri dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang sedang dilanda banjir parah. Foto itu memberikan gambaran menarik di mana segala jenis bangunan tergenang oleh air. Hal itu menunjukkan besarnya skala banjir yang berdampak kepada nyaris semua kelompok masyarakat di Jakarta dan sekitarnya.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menunjukkan kesadarannya secara lebih nyata lagi. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran (TA) 2025 ini, Pemprov DKI mengalokasikan anggaran sekitar Rp4,3 triliun untuk menghadapi banjir.
Anggaran itu yang besar itu digunakan untuk melakukan perawatan dan pembangunan infrastruktur-infrastruktur pengendalian banjir. Ini mendanai berbagai infrastruktur mulai dari turap, tanggul, kolam retensi, bendungan, pompa air, dan lain-lainnya di Jakarta. Sementara itu, Pemprov DKI juga melaksanakan pengerukan kali untuk mengurangi sedimentasi yang bisa menghambat lajunya air secara berkala.
Kendati demikian, banjir masih saja terjadi dan menenggelamkan Jakarta beserta warganya dari waktu ke waktu. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mengenai seberapa efektif atau tidaknya sistem pengendalian banjir yang ada di Jakarta, sehingga banjir masih jadi masalah besar yang tak kunjung selesai dan terus membayang-bayangi warga Jakarta. Parahnya, fenomena banjir yang berlangsung tahun ini terjadi secara terus menerus dan belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan berhenti.
Abidin Kusno (2023) dalam Jakarta: The City of a Thousand Dimension melakukan pendalaman terhadap masalah banjir yang mungkin bisa menjawab pertanyaan kenapa masalah banjir masih belum kunjung diselesaikan hingga kini. Salah satunya, Kusno menemukan adanya 'komunitas infrastruktur' (communities of infrastructure) dalam upaya menangani banjir di Jakarta.
Dengan kata lain, ada pembangunan berbagai infrastruktur berbeda yang seringkali tidak terintegrasi sebagai upaya dari masing-masing komunitas untuk mengatasi banjir di Jakarta. Tidak adanya kesatuan atau integrasi dalam menangani banjir itu yang membuat Jakarta kesulitan menghadapi banjir, meskipun sudah menggelontorkan sumber daya yang besar untuk menanganinya.
Di antara yang lainnya, 'komunitas infrastruktur' itu terletak di Pluit, di mana warganya yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap pihak pengembang berinisiatif untuk bergotong-royong membangun sebuah sistem infrastruktur pengendalian banjir. Sebagai bagian dari inisiatif tersebut, para warga meninggikan tanggul di sekitar perumahannya.
Kemudian, mereka juga memasang pompa-pompa air yang dapat bekerja sepanjang waktu untuk mengeluarkan air dari wilayah-wilayah di sekitarnya. Saat terjadi banjir besar pada tahun 2007, sistem tersebut efektif untuk menjaga Pluit supaya tidak tergenang oleh air. Padahal, Pluit berada di dataran rendah dan berdekatan dengan Pesisir Jakarta.
Keadaan berubah ketika banjir kembali menerjang Jakarta pada awal tahun 2013. Pada saat itu, Pluit ikut terendam, meskipun infrastrukturnya sudah cukup memadai untuk mencegah banjir enam tahun sebelumnya. Kali ini, banjir itu terjadi karena Banjir Kanal Barat (BKB) meluap dan airnya membobol tanggul di sekitarnya.
Pompa yang dibangun oleh warga Pluit sebelumnya tidak cukup kuat untuk mengeluarkan air dari wilayahnya, sehingga daerah yang tadinya terjaga dari banjir akhirnya terendam. Kejadian ini memberikan pelajaran pahit untuk Jakarta untuk yang kesekian kalinya.
Cerita dua banjir di Pluit yang punya akibat berbeda merupakan anekdot tepat bagi masalah tersebut. Jika ada satu hal yang bisa dipelajari dari banjir tersebut dan sebenarnya berulangkali telah diperoleh, maka itu adalah kesadaran bahwa banjir di Jakarta belum terselesaikan karena solusi-solusi untuk mengatasinya bersifat parsial atau tidak utuh.
Dalam kasus Pluit, apa pun perbaikan yang dilakukan di sana tidak akan cukup untuk mencegah banjir bilamana infrastruktur di wilayah-wilayah hulu tidak diperbaiki. Pada akhirnya, pompa air di Pluit tidak sanggup mengeluarkan semua air yang masuk karena tanggul di BKB runtuh. Apabila ditelisik lebih jauh lagi, hal itu disebabkan oleh pembukaan pintu air di dekat Manggarai untuk mengurangi tekanan terhadap strukturnya, sehingga air masuk dalam volume besar dan memenuhi BKB.
Kondisi itu berulang dari waktu ke waktu, termasuk ketika banjir kembali menerjang di tengah-tengah hujan berat di Jakarta belum lama ini. Seperti yang telah dikatakan oleh Pramono dalam pernyataannya, Gubernur DKI Jakarta itu menjelaskan banjir di Jakarta kali ini terjadi karena tiga faktor, yaitu genangan lokal, banjir kiriman, dan gelombang di Pesisir Jakarta.
Dalam kesempatan yang berbeda, Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, juga mengeluarkan pernyataan bahwa banjir di Jakarta baru akan selesai apabila lingkungan di sekitar daerah Megamendung dan Bogor sudah diperbaiki (Bisnis.com, 2025). Baru setelah kondisi di wilayah-wilayah hulu diperbaiki, maka banjir di Jakarta bisa ditangani secara efektif.
Jakarta dilalui oleh 13 sungai, baik yang besar maupun kecil. Beberapa seperti Kali Ciliwung dan Kali Krukut berhulu di daerah luar batasan geografis dan administratif Jakarta, yaitu Jawa Barat (Bogor dan Depok). Masalahnya, kondisi di hulu tidak selalu baik-baik saja.
Penggundulan hutan, penyalahgunaan tata ruang, dan lain-lain yang mengakibatkan berkurangnya wilayah hijau membuat daerah-daerah hulu itu sulit untuk menyerap air. Sehingga, volume air 'kiriman' yang turun ke wilayah hilir di Jakarta meningkat. Itu lah yang menjadi salah satu momok Pramono ketika berusaha menghadapi banjir terkini.
Di sini, pemegang wewenang di Jakarta, yaitu tidak lain adalah Pemprov DKI harus memiliki perspektif serta solusi komprehensif terhadap banjir. Banjir harus dilihat secara holistik yang diakibatkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kondisi di wilayah-wilayah hulu.
Sejauh ini, Pemprov DKI belum terlihat memiliki sudut pandang itu. Dalam APBD TA 2025, Pemprov DKI Jakarta tidak menganggarkan hibah bantuan penanganan banjir untuk Bogor. Seharusnya, Pemprov DKI Jakarta memberikan bantuan kepada daerah-daerah yang punya keterbatasan finansial. Lagipula, dana itu juga akan digunakan nantinya untuk menyelesaikan masalahnya dari hulu dan melindungi Jakarta dari banjir.
Sebenarnya bisa dipahami apabila Pemprov DKI Jakarta menghadapi keterbatasan untuk mengatasi suatu permasalahan di luar batas-batas wilayah administratifnya, sehingga mengutamakan solusi berskala lokal. Akan tetapi, hal ini pun dipertanyakan ketika melihat perkembangan normalisasi sungai di dalam perbatasan Jakarta itu sendiri.
Bisa dilihat kalau normalisasi di Kali Ciliwung baru rampung sekitar 17,17 kilometer (km) dari rencana 33,69 km yang ada. Dengan kata lain, Pemprov DKI masih harus melakukan normalisasi terhadap 16,52 km sisa jarak sungai yang menjadi salah satu gerbang masuknya air dari arah Bogor.
Terhambatnya normalisasi Kali Ciliwung itu diakibatkan oleh lambatnya pembebasan lahan pemukiman-pemukiman liar yang dibangun di bantaran kali. Itu pun menjadi masalah tersendiri kala Pramono menyatakan bahwa ia akan melakukan normalisasi tanpa melakukan penggusuran terhadap bangunan-bangunan tersebut.
Demikian, Jakarta harus melakukan 'huluisasi' untuk mengatasi banjir secara tuntas. Banjir yang datang dan pergi secara berulangkali tidak akan berhenti apabila penyelesaiannya hanya bersifat parsial atau tidak utuh.
Harus ada solusi komprehensif yang mengatasi banjir dari hulunya, supaya pembangunan-pembangunan fisik berbagai macam infrastruktur di daerah hilir, yaitu di Jakarta itu sendiri bisa optimal dalam menghadapi atau bahkan mencegah banjir karena debit air yang masuk dari hulu sudah bisa dikurangi secara drastis.
(miq/miq)