Mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Pemilu Nasional dan Lokal

Nur Fauzi Ramadhan, CNBC Indonesia
03 July 2025 05:10
Nur Fauzi Ramadhan
Nur Fauzi Ramadhan
Nur Fauzi Ramadhan merupakan peneliti yang meminati isu hukum dan kebijakan publik. Fokus kajian dari Fauzi adalah hukum pidana, hukum tata negara dan administrasi negara, hukum disabilitas, dan kebijakan publik. Selain itu, Fauzi berpengalaman dalam mela.. Selengkapnya
Gedung Mahkamah Konstitusi RI. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan oleh MK pada Kamis, 26 Juni 2025, meminta pembentuk undang-undang (presiden dan DPR) untuk melakukan rekayasa konstitusional utamanya soal pengisian jabatan kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, wali kota dan wakil wali kota, serta bupati dan wakil bupati).

Hal demikian karena dalam putusan ini MK meminta untuk adanya pergantian siklus penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Ke depannya, penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional akan dipisahkan dengan pemilu di tingkat lokal. Kebijakan itu diambil sebagai perbaikan terhadap sistem kepemiluan yang berkelanjutan di Indonesia.

Sebagai permulaan, pada Pemilu 2029 hanya akan terdapat pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD. Sementara itu, pemilihan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, wali kota dan wakil wali kota, bupati dan wakil bupati serta anggota DPRD akan dilaksanakan minimal dua tahun atau maksimal dua tahun enam bulan pascasiklus pemilu 2029 selesai.

Perlu dicatat, siklus pemilu akan berakhir tatkala calon terpilih dilantik. Sementara itu, pelantikan Anggota DPR dan DPD akan dilaksanakan tanggal 1 Oktober di tahun 2029 dan diikuti dengan pelantikan presiden/wakil presiden di tanggal 20 Oktober 2029.

Artinya, apabila kita mengacu pada putusan MK 135/PUU-XXII/2024 penyelenggaraan pemilu di tingkat lokal harus dilaksanakan di tahun 2031. Sementara itu muncul pertanyaan, bagaimana dengan kepala daerah dan DPRD yang sudah habis masa jabatannya di tahun 2029 dan awal tahun 2030?

Pilihan Kebijakan
Untuk memaknai putusan MK yang memerintahkan adanya rekayasa konstitusional guna mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan DPRD, muncul dua opsi yang dapat dilakukan. Kedua opsi tersebut ialah dengan mengisi jabatan yang kosong dengan pejabat (pj) kepala daerah dan perpanjangan masa jabatan.

Kedua opsi tersebut sangatlah mungkin terjadi sebagai bentuk dari kewenangan membentuk undang-undang (open legal policy). Selain itu, kedua opsi tersebut juga pernah dilakukan di Indonesia sebelumnya sehingga tidak sulit untuk menentukan presiden sebagai dasar kebijakan.

Opsi pertama soal pj kepala daerah pernah dilakukan di tahun 2022-2024. Kala itu, melalui UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur soal pilkada berupaya untuk menciptakan sistem pilkada yang menjadi satu kesatuan siklus penyelenggaraannya. Sehingga diambilah langkah untuk menjadikan satu siklus pilkada secara serentak.

Adapun alasan mengapa dipilih tahun 2024 sebagai tahun dimulainya pilkada serentak sekaligus di tahun yang sama dengan penyelenggaraan pemilu disebabkan karena agar terjadinya harmonisasi antara sistem perencanaan pembangunan dari tingkat nasional sampai ke tingkat daerah.

Terlebih, tahun 2025 sebagai momentum untuk dimulainya Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rancangan Pembangunan Jangkah Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2030.

Oleh karena sebelumnya penjadwalan pilkada yang tidak dilakukan pada waktu yang sama, maka dari itu diambilah kebijakan untuk mengadakan pilkada serentak secara parsial sebelum dilaksanakan pilkada serentak secara nasional. Tercatat terdapat empat kali Pilkada serentak di Indonesia yakni pada tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020.

Dari keempat siklus pilkada tersebut, terdapat tiga tahun penting waktu berakhirnya masa jabatan kepala daerah, yakni pada tahun 2022, 2023, dan semula 2024 yang kemudian diperpanjang hingga dilantik sesuai dengan hasil Pilkada 2024 melalui putusan MK 27/PUU-XXII/2024.

Sementara itu, untuk posisi kepala daerah yang berakhir jabatan di tahun 2022 dan 2023 maka akan digantikan oleh pj kepala daerah. Siapa sajakah yang dapat mengemban sebagai pj kepala daerah?

Menurut UU Pilkada, yang dapat menjabat sebagai pj kepala daerah adalah minimal jabatan pimpinan tinggi madya untuk gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama untuk wali kota dan bupati. Maka sejak itu, praktis hampir sebagian besar posisi kepala daerah di Indonesia diemban oleh pj kepala daerah dimulai sejak tahun 2022 sampai dilantiknya kepala daerah terpilih di tahun 2025.

Jadi, sejatinya untuk mengambil jalan untuk menetapkan pj kepala daerah sangatlah mungkin dilakukan kembali. Khususnya untuk mengatasi kosongnya jabatan kepala daerah di tahun 2025 dan 2030.

Sementara itu untuk opsi kedua, yakni perpanjangan jabatan pun sejatinya pernah dilakukan. Jika kita menengok sejarahnya, Indonesia pun pernah melakukan hal demikian, khususnya untuk level lembaga pemegang kekuasaan legislatif, yakni DPR.

Hal tersebut terjadi di periode 1971-1977 di mana masa jabatan anggota DPR diperpanjang karena terjadi penundaan pemilu. Bahkan untuk situasi sebaliknya pun pernah terjadi, di mana anggota DPR periode 1997/1999 hanya menjabat selama dua tahun karena gelombang reformasi dan adanya isu untuk mempercepat pelaksanaan pemilu (Anggraini, 2025).

Jadi sejatinya, kedua skenario baik untuk melakukan penunjukan pj kepala daerah maupun perpanjangan jabatan pun memiliki dasar yang kuat sebagai bentuk rekayasa konstitusional dan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) bagi pembentuk undang-undang. Situasi yang paling memungkinkan adalah untuk kepala daerah dapat dilakukan penunjukan pj dan untuk anggota DPRD dilakukan perpanjangan masa jabatan.

Namun, bukannya tak mungkin pula akan ada permintaan untuk melakukan perpanjangan masa jabatan kepala daerah baik saat penyusunan regulasi kepemiluan maupun melalui permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut pun sejatinya pernah terjadi ketika MK mengabulkan perkara 27/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh sejumlah kepala daerah hasil pilkada di tahun 2020.

Meskipun undang-undang pilkada telah menetapkan masa jabatan kepala daerah hasil pilkada di tahun 2020 akan selesai di tahun 2024, namun MK melalui putusan 27/PUU-XXII/2024 mengabulkan permohonan sejumlah kepala daerah tersebut untuk adanya perpanjangan masa jabatan hingga dilantiknya kepala daerah yang baru sepanjang tidak melebihi batas waktu lima tahun semenjak dilantik.

Keberlanjutan Demokrasi dan Pembangunan
Sejatinya, permohonan 135/PUU-XXII/2024 lahir dari semangat untuk membuat sistem kepemiluan yang berkelanjutan. Artinya, jangan sampai proses pemilu selalu berubah-ubah baik sistem maupun waktu pelaksanaannya. Selain itu, pemisahan pemilu pusat dan lokal merupakan refleksi dari sengkarutnya proses pemilu 2019 dan 2024 karena model 5 kotak secara bersamaan dinilai tidak efektif, baik penyelenggaraan maupun terhadap evaluasi sistem demokrasi dan kepartaian.

Kendati begitu, perlu diingat kembali, salah satu tujuan adanya penjadwalan pemilu dan pilkada di tahun yang sama adalah untuk menyelaraskan rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah.

Oleh karenanya, menjadi penting bagaimana proses penyusunan rencana pembangunan di daerah agar benar-benar sinkron, baik secara horizontal (berkaitan dengan sinkronisasi jadwal pembangunan yang berkelanjutan di suatu daerah) maupun secara vertikal (berkaitan dengan sinkronisasi kebijakan nasional).

Tentu, kita tidak ingin upaya perbaikan sistem kepemiluan jangan sampai mengorbankan pembangunan di daerah. Maka dari itu, hemat saya perlu pula untuk mengatur ulang rencana pembangunan di tingkat daerah, terutama yang berkenaan dengan jangka waktu RPJMD yang disesuaikan dengan masa waktu jabatan kepala daerah dan DPRD.

Dengan dilantiknya kepala daerah dan DPRD secara bersamaan, tentu akan ada siklus waktu yang sama untuk melakukan pembangunan yang dilakukan bersamaan antara kepala daerah dan DPRD. Oleh karenanya, visi-misi kepala daerah yang merupakan pilihan rakyat perlu kiranya menjadi prioritas untuk diakomodasi melalui upaya teknokratik dalam penyusunan RPJMD.

Hal ini agar menjaga pembangunan di daerah supaya sesuai dengan kehendak kepala daerah yang dipilih selagi masih sejalan dengan proyeksi yang wajar yang sesuai dengan kemampuan daerahnya.

Di akhir, tentu putusan MK ini jangan hanya dimaknai sebagai pergantian masa jabatan raja-raja kecil di daerah. Tetapi lebih jauh lagi, putusan MK ini perlu dimaknai dengan upaya untuk menata tidak hanya demokrasi, melainkan sistem pembangunan di tiap daerahnya supaya lebih sinkron, harmonis, dan sesuai dengan kehendak rakyatnya.


(miq/miq)