Komunikasi dalam Dunia Intelijen: Menyatukan Teknologi dan Kemanusiaan

Komunikasi dalam dunia intelijen, yang sering dianggap sebagai kegiatan rahasia dan tersembunyi, kini semakin menunjukkan peran pentingnya dalam pengelolaan ancaman dan keamanan.
Penulis berkesempatan hadir pada sebuah sidang terbuka di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Ade Mulya memaparkan disertasi doktoralnya berjudul Model Hibrida Koleksi Intelijen Keamanan: Perspektif Humint-Led dan Techint-Led. Paparan ini membuka pemahaman baru bahwa dalam dunia intelijen, teknologi dan interaksi manusia-bukan hanya informasi tersembunyi-menjadi kunci dalam penanggulangan masalah.
Promovendus mengemukakan bahwa dalam pengumpulan data intelijen, ada dua komponen yang sangat penting: Human Intelligence (Humint) dan Technical Intelligence (Techint).
Dalam perspektif Humint, intelijen dikumpulkan melalui interaksi langsung manusia-baik itu agen atau informan-sementara Techint melibatkan perangkat teknologi untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data. Seiring perkembangan teknologi, peran Techint semakin dominan, namun demikian, manusia tetap memegang peran sentral dalam interpretasi data yang dihasilkan.
Pergeseran Paradigma: Dari Manusia ke Mesin
Salah satu pergeseran utama yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah perubahan relasi dalam dunia intelijen. Dulu, hubungan dalam dunia intelijen terutama melibatkan manusia yang saling berinteraksi, yaitu antara agen dan informan. Namun, saat ini, hubungan tersebut semakin didorong oleh interaksi antara manusia dan mesin. Dalam hal ini, teknologi semakin mendominasi proses pengumpulan dan analisis data.
Buku The Cyber Effect (2016) oleh Mary Aiken, seorang ahli forensik digital, menjelaskan teknologi bukan hanya menjadi alat bantu, tetapi juga menjadi penggerak utama dalam dunia intelijen dan keamanan. Teknologi digital memungkinkan pengumpulan data dalam jumlah besar yang sebelumnya tidak mungkin dicapai, baik dari sumber terbuka (open-source intelligence/OSINT) maupun dari perangkat canggih seperti drone dan sensor yang dapat memberikan informasi real-time.
Namun, meskipun teknologi memainkan peran penting, para ahli mengingatkan teknologi tetap memerlukan campur tangan manusia untuk memberikan konteks. Sebagaimana yang ditegaskan Lindsay dan Goldfarb (2022), meskipun kecerdasan buatan (AI) dan sistem otomatisasi dapat mengolah informasi secara lebih cepat dan efisien, teknologi ini masih membutuhkan analisis kritis dari pihak manusia yang memahami konteks sosial, politik, dan kultural di balik data yang dikumpulkan.
Komunikasi dalam Strategi Intelijen
Dalam disertasi di atas, penulis melihat pentingnya strategic communication dalam dunia intelijen. Ini berarti selain mengumpulkan dan menganalisis data, penting bagi agen intelijen untuk dapat mengelola komunikasi dengan pihak-pihak yang terlibat-baik itu masyarakat, pemerintah, atau bahkan pihak asing. Kunci dari komunikasi ini adalah membangun kepercayaan dan memastikan transparansi, terutama dalam menghadapi situasi krisis.
Menurut Strategic Communication: Origins, Concepts, and Current Debates (2018) oleh Christopher Paul, komunikasi strategis dalam dunia intelijen harus mampu menanggapi ancaman secara efektif, memperkecil resiko kebingungannya, dan menanggulangi misinformasi atau disinformasi yang sering kali menyebar di ruang digital. Paul juga menekankan pentingnya komunikasi yang tidak bersifat koersif, artinya lebih berfokus pada pendekatan persuasif dan edukatif, bukan sekadar manipulatif atau pemaksaan.
Dalam konteks ini, peran digital touchpoints seperti media sosial, website, dan platform digital lainnya menjadi sangat penting. Di sisi lain, physical touchpoints, seperti pertemuan langsung dengan masyarakat atau partisipasi dalam forum-forum komunitas, juga berperan dalam membangun hubungan yang lebih personal dan humanis.
Penggunaan Teknologi dalam Intelijen: Keamanan dan Keberlanjutan
Perkembangan teknologi informasi, seperti penggunaan algoritma dan kecerdasan buatan (AI), semakin mendalamkan kemampuan analisis dalam dunia intelijen. Namun, teknologi yang canggih juga membawa tantangan baru, salah satunya adalah masalah privasi dan pengawasan yang berlebihan.
Menurut The Ethics of Cybersecurity (2021) oleh P.W. Singer dan Allan Friedman, meskipun teknologi dapat meningkatkan keamanan, ia juga menimbulkan potensi risiko dalam hal penyalahgunaan data dan kebebasan individu. Oleh karena itu, penting bagi dunia intelijen untuk mempertimbangkan etika dalam penggunaan teknologi, serta membangun sistem pengawasan yang dapat memastikan teknologi tidak digunakan untuk merusak kepercayaan publik atau melanggar hak privasi.
Salah satu contoh nyata adalah penggunaan Techint dalam menganalisis data dari media sosial. Meskipun teknologi ini memungkinkan pemantauan situasi di seluruh dunia dengan cepat, analisis yang dilakukan tetap harus mempertimbangkan aspek moral dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mesin dan algoritma bisa mempercepat analisis, keputusan akhir harus tetap melibatkan pertimbangan manusia.
Sinergi Antara Teknologi dan Kemanusiaan
Komunikasi dalam dunia intelijen bukanlah semata-mata tentang penyembunyian informasi atau penggunaan alat teknologi canggih. Ini adalah tentang bagaimana membangun komunikasi yang efektif dan berkelanjutan antara manusia, teknologi, dan masyarakat. Teknologi yang berkembang pesat memungkinkan pengumpulan informasi yang lebih luas dan lebih cepat, namun tanpa pemahaman dan interpretasi manusia, teknologi tersebut tidak akan efektif.
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, komunikasi dalam dunia intelijen harus bersifat dinamis, adaptif, dan berorientasi pada transparansi dan kepercayaan. Membangun jembatan antara Humint dan Techint adalah langkah menuju terciptanya strategi intelijen yang lebih berkelanjutan dan responsif terhadap tantangan global.
(miq/miq)