Keberlanjutan Pembangunan Ibu Kota Nusantara di Era Presiden Prabowo

Nicholas Martua Siagian, S.H., CNBC Indonesia
28 June 2025 07:10
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian mendalami keilmuan di bidang Hukum Administrasi Negara, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, Inovasi, dan Perbaikan Sistem. Nicholas merupakan salah seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghar.. Selengkapnya
Kunjungan msyarakat ke KIPPIKN selama libur Lebaran. (Dok. OIKN)
Foto: Suasana di IKN, Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu. (Dok. OIKN)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

"Pada kesempatan yang bersejarah ini, dengan memohon rida Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dari bapak ibu anggota dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa terutama pada seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan Ibu Kota Negara kita ke pulau Kalimantan".

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo pada 16 Agustus 2019 di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI sebagai penegasan rencana pemindahan ibu kota ke Nusantara.

Realisasi pemindahan ibu kota negara akhirnya semakin nyata setelah proses panjang terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Pada awalnya, pemindahan ini memang menuai pro-kontra baik di kalangan masyarakat, mahasiswa, teknokrat, hingga pakar.

Berdasarkan data dalam RPJMN tahun 2020-2024 memang hanya menyebutkan pagu indikatif pembangunan IKN, yaitu sekitar Rp466,1 triliun dengan sumber pendanaan, yaitu dari APBN sebesar Rp90,4 triliun, badan usaha/swasta sebesar 123,2 triliun, dan KPBU sebesar Rp252,5 triliun.

Artinya, besarnya anggaran yang digelontorkan APBN tentu menjadi "tanda tanya serius" dari masyarakat, apakah pemerintah memang benar-benar serius memindahkan ibu kota ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Kalau kita berkaca dari Rencana Jangka Panjang Pembangunan IKN, terdapat empat tahapan yang dibagi secara tegas yaitu: 2022-2024 sebagai tahap pemindahan awal, 2025-2029 sebagai tahap kedua, yaitu membangun IKN sebagai daerah inti yang tangguh, 2030-2034 sebagai tahap ketiga, yaitu melanjutkan pembangunan IKN lebih progresif, 2035-2039 sebagai tahap keempat membangun seluruh infrastruktur dan ekosistem tiga kota percepatan untuk pembangunan Kalimantan, 2040-2045 sebagai tahap memperkokoh reputasi kota dunia untuk semua.

Berbicara soal Ibu Kota Nusantara, maka tidak lepas dari eksistensi eks Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, bahkan persepsi publik juga telah diinstitusionalisasi bahwa: "IKN adalah legacy Jokowi".

Hal tersebut terlihat di pengujung masa kepemimpinan Jokowi berupa percepatan-percepatan pembangunan IKN, kebut-mengebut progres infrastruktur fisik, promosi terhadap investor asing, hingga seremonialisasi IKN kepada jajarannya di kabinet, para kepala daerah, dan masyarakat luas.

Evaluasi Tahap Pertama
Berdasarkan data yang dirilis oleh Otorita IKN, bahwa pembangunan IKN tahap pertama telah mencapai progres fisik 98,2 persen per 12 Februari 2025 meliputi pembangunan sarana utama seperti istana presiden, perkantoran, dan perumahan di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP), serta pembangunan infrastruktur dasar mencakup infrastruktur penyediaan air minum, ketenagalistrikan, teknologi informasi dan komunikasi, pengelolaan persampahan, dan air limbah untuk penduduk pionir (Perpres 63/2022).

Meskipun progres hampir selesai, namun capaian angka seharusnya juga diikuti oleh kualitas. Dalam dokumen BPK berjudul Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 yang berisi pemeriksaan BPK meliputi pemeriksaan kinerja pembangunan IKN TA 2022 sampai dengan Triwulan III-2023 sebagai bagian pembangunan tahap I tahun 2022-2024 pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan instansi terkait lainnya terdapat beberapa temuan permasalahan di antaranya pembangunan infrastruktur belum sepenuhnya selaras dengan RPJMN Tahun 2020-2024, Rencana Strategis (Renstra) Kementerian PUPR Tahun 2020-2024, dan Rencana Induk IKN.

Selain itu, disebutkan bahwa perencanaan pendanaan belum sepenuhnya memadai, antara lain sumber pendanaan alternatif selain APBN berupa KPBU dan swasta murni/BUMN/BUMD belum dapat terlaksana. Persiapan pembangunan infrastruktur belum memadai, di antaranya persiapan lahan pembangunan infrastruktur IKN masih terkendala mekanisme pelepasan kawasan hutan, 2.085,62 hektare dari 36.150 hektare tanah masih dalam penguasaan pihak lain karena belum diterbitkannya Hak Pengelolaan Lahan (HPL), serta belum selesainya proses sertifikasi atas 5 area hasil pengadaan tanah.

Persoalan ini belum lagi berbicara tentang dibatalkannya pemindahan ASN sampai batas waktu yang tidak ditentukan di tahap 1, batalnya masuk investor asing, persoalan teknis lainnya. Artinya, seharusnya perencanaan pembangunan IKN harus didasarkan pada teknokrasi dan evidensi, tidak "kebut-kebutan" dan "balap-balapan", karena pada dasarnya potensi korupsi disebabkan karena ugal-ugalannya perencanaan,

Hal tersebut juga senada dengan penelitian Daron Acemoglu & James A. Robinson yang berjudul: "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty," bahwa perencanaan institusi yang lemah dan kebijakan yang disfungsional membuka ruang lebar bagi korupsi dan patronase. Maka, sebagaimana yang dijelaskan oleh MM Gibran Sesunan bahwa pembangunan infrastruktur boleh besar-besaran, tetapi tidak boleh ugal-ugalan (Harian Kompas, 3/12/2024).

Tantangan Tahap Kedua
Setelah menyelesaikan fase awal yang sarat dengan pembangunan infrastruktur dasar dan landmark pemerintahan inti, megaproyek ini bersiap melangkah ke tahap kedua pada periode 2025-2029. Pemerintah telah menetapkan alokasi anggaran sebesar Rp48,8 triliun untuk tahap ini, difokuskan pada penyelesaian kompleks legislatif dan yudikatif, pengembangan ekosistem pendukung, serta pembukaan akses menuju wilayah perencanaan (WP) 2 (Investor Daily, 17/4/2025).

Namun, dengan bergantinya kepemimpinan nasional dan bergesernya fokus anggaran, tentu masih tersisa pertanyaan apakah IKN secara "political will" masih menjadi agenda prioritas di tengah berbagai program populis yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto?

Berbeda dengan tahap pertama (2022-2024) yang diwarnai dengan intensitas pembangunan dan aliran fiskal yang kuat di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, tahap kedua berpotensi menghadapi tantangan koordinasi dan pendanaan yang lebih kompleks, termasuk Instruksi Efisiensi Anggaran hingga fokus anggaran pada program strategis Asta Cita Prabowo Subianto.

Deregulasi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, pendanaan pembangunan IKN tidak hanya bersumber dari APBN, tetapi juga dari skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Di atas kertas, hal ini memungkinkan partisipasi swasta dan investor asing dalam mempercepat pembangunan.

Namun kenyataannya, minat investor global terhadap proyek IKN masih belum signifikan. Berbagai faktor mengemuka yaitu mulai dari kepastian hukum dan regulasi yang belum stabil, dinamika politik nasional dan global, hingga kekhawatiran terhadap iklim investasi yang belum sepenuhnya bebas dari praktik rente dan korupsi.

Dengan demikian, tantangan utama di tahap kedua ini bukan hanya membangun kantor, perumahan ASN, jalan tol, dan infrastruktur lainnya, tetapi juga penting mereformasi sistem perizinan, menyederhanakan regulasi, dan membangun transparansi.

Tanpa pembenahan sistemik terhadap tata kelola investasi, maka KPBU berisiko menjadi jargon teknokratik tanpa eksekusi yang memadai. Ketidakpastian iklim investasi ini jangan sampai menjadi batu sandungan yang membuat banyak investor ragu-ragu untuk terlibat dalam pembiayaan IKN.

Tahap kedua pembangunan IKN tidak hanya menyangkut infrastruktur fisik, tetapi juga belajar dari kesalahan sebelumnya yaitu perlu konsistensi kebijakan dan keberlanjutan fiskal. Pemerintah harus berhati-hati agar anggaran pembangunan tidak mengorbankan program sosial prioritas lainnya. Di sisi lain, absennya political will yang konkret terhadap IKN di masa pemerintahan baru dapat menimbulkan risiko terhentinya proyek secara prematur.

Sinkronisasi
Maka, maka agenda tahap kedua IKN tidak cukup hanya berbicara tentang dana. Lebih dari itu, dibutuhkan sinkronisasi antara fiskal, regulasi, dan yang paling penting political will. Jika tidak ada kepastian hukum, transparansi perizinan, dan jaminan tata kelola yang antikorupsi, maka proyek IKN akan terus kesulitan menarik investasi jangka panjang.

Lebih buruk lagi, jika komitmen politik terhadap IKN tidak hadir secara kuat di periode ini, maka pembangunan tahap kedua akan berjalan setengah hati, bahkan bisa melenceng dari rencana induk yang telah dirancang dengan detail.

IKN yang telah dimulai, mau tidak mau harus dilihat sebagai proyek bangsa, bukan sekadar proyek politik lagi. Jika tidak, Indonesia akan mengulang kegagalan mega proyek lain yang terbengkalai karena tidak ada konsistensi kebijakan.

Momentum tahap kedua (2025-2029) adalah ujian nyata: mampukah Indonesia membangun IKN tanpa terdistraksi oleh kepentingan jangka pendek? Jawabannya, tergantung pada ketegasan politik dan kesiapan sistem yang dibangun hari ini.




(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation