Kurban dan Sinergi Kebangsaan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kepulangan Leonardus Benjamin "Benny" Moerdani ke Indonesia dari Korea Selatan pada tahun 1974 menjadi titik penting bagi dunia intelijen Indonesia. Saat itu, intelijen Indonesia telah berfungsi sebagai pelaksana utama operasi dalam negeri, namun masih menghadapi kekacauan dalam pelaksanaan dan organisasi.
Persaingan antarelite di kalangan militer turut memengaruhi dinamika organisasi intelijen, seperti Ali Moertopo dengan OPSUS, Soemitro sebagai Pangkopkamtib, dan Sutopo Yuwono yang merupakan Kepala BAKIN. Persaingan ini tidak hanya menyebabkan konflik internal, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi dan politik bagi pihak-pihak berkepentingan.
Puncak dari persaingan ini terjadi pada 15 Januari 1974 dalam peristiwa Malari. Insiden tersebut menjadi titik balik dalam dinamika intelijen Indonesia, mendorong Presiden untuk melakukan perombakan besar-besaran guna mencegah persaingan internal yang menghambat pengambilan keputusan nasional.
Soemitro kemudian pensiun sebagai Pangkopkamtib/Wakil Panglima ABRI, Sutopo dicopot dari Kepala BAKIN, dan Ali Moertopo kehilangan jabatan sebagai asisten pribadi Presiden sebelum akhirnya masuk ke dalam struktur BAKIN.
Pencopotan tokoh-tokoh tersebut dipicu oleh laporan intelijen yang bertentangan, sehingga Presiden kesulitan mengambil keputusan yang tepat. Untuk merestorasi kendali atas intelijen, Benny ditunjuk menangani intelijen militer, sedangkan Yoga Soegama dipanggil pulang dari New York untuk menangani BAKIN.
Era Keemasan BAIS di Bawah Benny
Di awal kepulangannya, Benny diberi tanggung jawab untuk menangani satuan intelijen militer dan ekstra-struktural. Ia mengemban berbagai jabatan sekaligus, seperti Asintel Hankam, Kapusintelstrat, Asintel Kopkamtib, Satuan Tugas Screening Pusat, dan Satgas Intel Kopkamtib. Banyaknya jabatan dengan fungsi yang tumpang tindih mendorong penyatuan sebagian fungsi tersebut ke dalam BAIS.
BAIS berfokus pada intelijen strategis, yang mencakup pengamanan kepentingan nasional di dalam dan luar negeri serta perumusan strategi pertahanan dan keamanan. Di bawah kepemimpinan Benny, BAIS memasuki masa keemasan. Tidak hanya unggul dalam intelijen militer, tetapi juga dalam operasi intelijen yang lebih luas.
BAIS menangani berbagai operasi penting, mulai dari pengelolaan pengungsi Vietnam di Pulau Galang, pembelian alutsista, operasi anti teror hingga operasi bantuan bagi mujahidin di Afghanistan dalam perlawanan terhadap Uni Soviet. Di dalam negeri, Benny menggunakan pendekatan keamanan yang tegas untuk menangani ancaman terorisme yang meningkat saat itu.
Dominasi Benny di BAIS tampak dalam pola kerja dan pemilihan personel. Ia lebih nyaman bekerja dengan tim kecil yang sudah dikenalnya, seperti M.I. Soetaryo, Soebijakto, M. Arifin, Soedibyo Raharjo, dan Teddy Rusdy.
Benny menerapkan model kepemimpinan yang unik: setiap staf diberikan tugas spesifik dan tidak boleh mencampuri pekerjaan lain. Jika tugas gagal, ia mengambil tanggung jawab penuh. Gaya kepemimpinan ini mencerminkan karakter Benny yang tegas dan efisien dalam menangani intelijen.
De-Benny-isasi: Akhir Dominasi Benny
Benny mengendalikan dunia intelijen Indonesia sejak 1974 hingga pensiun dari TNI setelah dicopot dari jabatan Panglima ABRI pada 1988. Selama periode itu, ia mengawasi hampir seluruh operasi intelijen dalam negeri, yang tidak hanya berkaitan dengan pertahanan dan keamanan tetapi juga pengamanan politik Presiden.
Namun, pada 1988, Presiden Soeharto mulai mengalami kejenuhan politik setelah hampir dua dekade berkuasa. Perubahan di tingkat internasional, perkembangan teknologi informasi, serta keterlibatan keluarga Presiden dalam bisnis mulai mengubah lanskap politik domestik.
Ketika Benny menyinggung pentingnya keluarga Presiden untuk turut mengamankan kepentingan politik presiden, Soeharto tidak berkenan. Sensitivitas Presiden terhadap kritik terkait keluarganya menjadi salah satu faktor utama retaknya hubungan dengan Benny. Meski masih dipercaya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan hingga 1993, Benny tidak lagi berada di lingkaran inti Presiden.
Perubahan ini berdampak besar pada struktur kekuasaan intelijen. Para perwira yang dekat dengan Benny mulai tersingkir dari posisi strategis di ABRI. Salah satu contohnya adalah Marsda Teddy Rusdy, yang hampir dicopot atas perintah langsung Presiden kepada Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno.
Meski akhirnya batal, peristiwa ini menandakan menurunnya pengaruh Benny. Kasus serupa terjadi pada Luhut Binsar Panjaitan, perwira Kopassus yang dianggap sebagai "golden boy" Benny. Alih-alih mendapatkan posisi strategis seperti Pangdam, Luhut justru ditempatkan di jabatan pendidikan pada 1990-an.
Tersingkirnya Benny dari politik nasional juga berimbas pada sistem intelijen yang ia bangun. Regenerasi perwira intelijen yang telah ia kaderisasi menjadi terhambat. Perubahan pola mutasi dan promosi mulai mengikuti arah politik baru yang lebih dekat dengan kelompok Islam kanan, menggeser pendekatan militeristik yang dominan sebelumnya.
Transformasi BAIS menjadi Badan Intelijen ABRI (BIA) semakin mempersempit peran intelijen strategis, yang kini lebih berfokus pada intelijen militer. Ini mencerminkan dampak dari berakhirnya Perang Dingin, di mana pendekatan intelijen harus disesuaikan dengan ancaman dan prioritas baru.
Regenerasi Intelijen Pasca-Benny
Pergeseran dari era Benny ke fase "De-Benny-isasi" menunjukkan bagaimana regenerasi intelijen di Indonesia tidak hanya bergantung pada individu, tetapi juga pada dinamika politik nasional. Benny membawa standar baru dalam intelijen, dengan efisiensi dan cakupan yang luas, namun ketergantungan pada figur sentral seperti dirinya membuat sistem intelijen rapuh terhadap perubahan politik.
Perubahan pasca-Benny memperlihatkan pola regenerasi yang lebih politis, di mana promosi dan mutasi perwira lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan di luar aspek profesionalisme intelijen. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah model kaderisasi dan regenerasi intelijen seperti yang dibangun Benny masih relevan di era demokrasi? Apakah kita masih melihat pola serupa dalam pergantian kepemimpinan intelijen di masa kini?
Dengan semakin kompleksnya tantangan keamanan, regenerasi intelijen Indonesia ke depan perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kontinuitas profesionalisme, kemampuan mengikuti perkembangan teknologi dan adaptasi terhadap dinamika politik yang terus berubah.