K-Pop, Kapibara, dan Kongnamul: Pemilu Kece Ala Korea Selatan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Ketidakadilan dalam kepemimpinan sering dikaitkan dengan kurangnya pemahaman, ketidaktahuan, atau kegagalan dalam mengambil keputusan yang adil dan berpihak pada rakyat.
Pemikir atau filsuf seperti Marcus Aurelius, G.W.F. Hegel, atau Michel Foucault tidak pernah menyatakan bahwa ketidakadilan identik dengan kekosongan intelektual seorang pemimpin.
Meski demikian, pemikiran ketiga filsuf ini dapat memberikan perspektif tentang bagaimana ketidakadilan muncul dalam kepemimpinan dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat.
Marcus Aurelius, sebagai seorang kaisar dan filsuf Stoik, menekankan pentingnya kebijaksanaan, keadilan, dan pengendalian diri dalam kepemimpinan. Dalam pandangannya, pemimpin yang baik adalah mereka yang bertindak berdasarkan akal sehat dan berpegang teguh pada kebajikan.
Ketika seorang pemimpin bertindak tidak adil, itu bukan hanya kesalahan moral, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan kebajikan dan kejernihan berpikir.
Ketidakadilan dalam kepemimpinan dapat terjadi ketika keputusan diambil tanpa pertimbangan rasional yang matang, atau ketika seorang pemimpin lebih dikendalikan oleh emosi dan kepentingan pribadi daripada oleh prinsip keadilan.
Hegel, dengan pendekatan filsafat sejarahnya, memandang perkembangan sosial sebagai suatu perjalanan menuju kebebasan melalui rasionalitas. Dalam karyanya, ia menekankan bahwa negara seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika sejarah dan perubahan sosial.
Seorang pemimpin yang gagal memahami perkembangan zaman, atau yang tidak mampu mengartikulasikan keadilan dalam konteks perubahan sosial, akan kehilangan relevansi dan cenderung menghasilkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Ketidakadilan dalam kepemimpinan, dalam perspektif ini, bukan sekadar akibat dari keputusan yang salah, tetapi juga akibat dari ketidakmampuan membaca realitas sosial dan bertindak secara rasional sesuai dengan perkembangan sejarah.
Michel Foucault, yang banyak mengkaji hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, melihat ketidakadilan sebagai hasil dari struktur kekuasaan yang bekerja secara sistematis. Dalam berbagai karyanya, ia menunjukkan bahwa pemimpin yang tidak memiliki pemahaman kritis terhadap cara kerja kekuasaan akan dengan mudah mempertahankan ketidakadilan, sering kali tanpa disadari.
Bagi Foucault, kekuasaan tidak hanya terletak pada individu, tetapi juga dalam sistem dan institusi yang membentuk cara berpikir dan bertindak.
Seorang pemimpin yang tidak memahami bagaimana kekuasaan bekerja dalam masyarakat akan membiarkan ketidakadilan terus berlanjut karena mereka tidak memiliki kesadaran kritis terhadap mekanisme yang mereka jalankan.
Ketidakadilan dalam kepemimpinan menjadi semakin berbahaya ketika dilakukan oleh aparat penegak hukum, karena mereka memiliki otoritas untuk menegakkan atau mengabaikan keadilan.
Aparat yang seharusnya menjadi penjaga hukum dapat menjadi sumber ketidakadilan jika mereka menyalahgunakan kekuasaan, bertindak sewenang-wenang, atau menjadi alat kepentingan kelompok tertentu. Dalam situasi seperti ini, hukum yang seharusnya menjadi instrumen keadilan berubah menjadi alat penindasan.
Marcus Aurelius akan melihat hal ini sebagai kegagalan dalam menjaga kebajikan dan kendali diri, sementara Hegel akan menilainya sebagai tanda bahwa negara telah gagal menjalankan misinya untuk mewujudkan kebebasan dan keadilan dalam perkembangan sejarahnya.
Foucault akan menjelaskan bahwa ketika aparat penegak hukum bertindak tidak adil, itu menunjukkan bagaimana kekuasaan telah membentuk sistem yang menindas, bukan melindungi masyarakat.
Namun, dalam konteks kepemimpinan modern, ada sosok yang berusaha membawa prinsip-prinsip keadilan, kehormatan, dan tanggung jawab dalam kepemimpinan nasional, yaitu Presiden Republik Indonesia Periode 2024-2029 Prabowo Subianto.
Dalam konsep Asta Cita, yang merupakan visi strategisnya untuk membangun Indonesia, terdapat unsur-unsur penting yang mencerminkan filosofi kepemimpinan yang adil dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Prabowo Subianto menekankan bahwa pemimpin harus memiliki ketegasan dalam melindungi rakyat, komitmen terhadap kedaulatan nasional, serta keberanian dalam menghadapi tantangan global. Dalam Asta Cita, terdapat nilai-nilai seperti negara yang berdaulat, rakyat yang makmur, ketahanan pangan dan energi, serta pemerintahan yang bersih dan kuat.
Ini selaras dengan pemikiran para filsuf besar, bahwa keadilan bukan sekadar konsep abstrak, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan nyata yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Jika seorang pemimpin atau aparat penegak hukum bertindak tidak adil, hal itu bisa mencerminkan kurangnya pemahaman tentang realitas yang lebih luas, ketidaksiapan dalam menghadapi dinamika sosial, atau kegagalan dalam membaca arah perubahan masyarakat.
Dan ketika mereka yang seharusnya menjaga hukum justru melanggarnya, kepercayaan publik akan hancur, dan ketidakadilan yang terjadi dapat berkembang menjadi kekacauan sosial yang lebih luas.
Oleh karena itu, kepemimpinan yang berlandaskan visi yang kuat seperti Asta Cita dapat menjadi solusi untuk memastikan keadilan ditegakkan, hukum dihormati, dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama.