Artificial Intelligence dan Aksinya dalam Gelombang PHK Global

Firman Kurniawan S, CNBC Indonesia
04 February 2025 12:25
Firman Kurniawan S
Firman Kurniawan S
Firman Kurniawan S merupakan pendiri literos.org. Beliau juga dikenal sebagai pemerhati budaya dan komunikasi digital... Selengkapnya
Infografis/Bukan Menakuti, Corona Bikin Parah Tsunami PHK di RI/Aristya Rahadian Krisabella
Foto: Ilustrasi PHK. (Aristya Rahadian Krisabella/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Seandainya persaingan antar perusahaan pengembang artificial intelligence (AI) seperti OpenAI, Microsoft, Meta, Google, xAI diibaratkan perlombaan senjata pemusnah massal, peristiwanya nyata menelan korban. Memang bukan musnah dalam wujud kematian, tapi hilangnya pekerjaan yang menimpa ribuan orang. Dan paling kerap, menimpa perusahaan di bidang teknologi.

Tercatat tak kurang dari 191.000 tenaga kerja di Amerika Serikat mengalami PHK di tahun 2023. Itu tak berhenti, jadi yang terakhir. Di awal tahun 2024, dilaporkan sekurangnya 56.042 pekerja telah kehilangan pekerjaan. Penyumbangnya: Amazon (16.080 pekerja), Alphabet (12.000 pekerja), Microsoft (11.158 pekerja), Meta (10.000 pekerja) dan sisanya, sumbangan beberapa perusahaan lain.

Seluruh data itu termuat di The Crunchbase Tech Layoffs Tracker, 2025, dalam laporannya berjudul "US Tech Layoffs Continue In 2025 With Big Tech Scaling Worker Counts and Fintech, E-Commerce Sectors Reporting Total Shutdowns". Disebutkan selanjutnya: di tahun 2025, tak ada jaminan gelombang PHK itu reda.

Apakah AI berperan sebagai pemusnah massal? Beberapa artikel mengkonfirmasinya. Pertama, Paul Hoffman, 2024, dalam, "2024 Tech Layoffs: Over 260,000 Jobs Slashed Globally Since January". Hoffman adalah analis di BestBroker.com, perusahaan yang memandu para trader dalam membuat keputusan yang tepat, saat memilih platform trading.

Uraiannya yang perinci mengaitkan antara jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK, dengan sebaran negara dan faktor penyebab terjadinya PHK. Di pembuka uraiannya, Hoffman menyebut parahnya PHK itu, dengan diksi yang bombasitis. Tak nyaman disimak, namun merepresentasikan realitas.

"Industri teknologi menghadapi gelombang PHK yang brutal, dengan 167.600 karyawan, jadi korbannya. Jumlah sebanyak itu, mengalami kehilangan pekerjaan hanya dalam tiga bulan pertama di tahun 2023". Ratusan ribu pekerja yang mengalami kehilangan pekerjaan, melebihi keseluruhan PHK selama tahun 2022.

Tak ada petunjuk, keadaan yang buruk itu bakal reda. Bahkan kecenderungannya justru berlanjut, di tahun 2024 maupun sesudahnya. PHK didorong oleh tantangan ekonomi, suku bunga yang tinggi. Juga kemajuan pesat pengembangan AI yang tidak menunjukkan perilaku surut.

Hofman juga menguraikan, perusahaan-perusahaan yang berpusat di Amerika Serikat, merupakan tempat terbanyak terjadinya PHK. Tak kurang dari 151.593 posisi, telah diputus hubungan kerjanya. Ini merupakan 50% dari jumlah PHK global. Sedangkan negara di tempat kedua dan ketiga, masing-masing Korea Selatan 14.740 posisi dan Cina 14.675 posisi. Jumlahnya masing-masing tak mencapai 10% PHK di AS.

Sedangkan uraian kedua, dikemukakan Sebastian Klovig Skelton, 2024, dalam "Tech Sector Layoffs Mount Amid AI investment Frenzy". Uraiannya secara gamblang merujuk pada kecenderungan pengalihan pengeluaran dan investasi oleh para pemilik modal. Pengalihannya dari manusia ke perangkat berbasis AI. "Pengurangan tenaga kerja meningkat di seluruh sektor teknologi secara global, karena perusahaan berupaya membebaskan lebih banyak sumber daya untuk penerapan AI mereka".

Seluruhnya terjadi lantaran perusahaan-perusahaan dunia berlatar belakang teknologi, terdorong hasratnya untuk mengalihkan pengeluaran maupun investasinya, dari tenaga kerja manusia ke AI. Tampak nyata, PHK di berbagai perusahaan teknologi terjadi akibat makin dimanfaatkannya AI maupun pembelajaran mesin, di seluruh bisnis mereka.

Skelton mengilustrasikan lebih lanjut, misalnya yang terjadi pada Cisco. Perusahaan ini memutus hubungan kerja terhadap 7% tenaga kerjanya, seraya melakukan investasi US$1 miliar di perusahaan berbasis AI. Demikian pula Dell, melakukan penciutan peran tenaga penjualan manusianya --dengan mengalokasikan kembali modal yang dihemat-- ke teknologi berbasis AI.

Tak ketinggalan pula Meta. Berdasar penuturan CEO-nya, Mark Zuckerberg, perusahaan itu harus mengurangi karyawannya agar dapat berinvestasi untuk memenuhi tujuan jangka panjangnya yang ambisius, pada kinerja yang diperankan AI.

Sedangkan Amazon membebaskan ratusan posisi yang semula dijalankan manusia, ke penggunaan Generatif AI. Dan yang terakhir Intuit, mengganti 1.800 tenaga kerjanya dengan sumber daya yang terintegrasi dengan AI dalam sistem perangkat lunaknya.

Persaingan pengembangan AI yang intensif --dan tahun 2025 ditandai dengan makin lazimnya penggunaan Agentic AI-makin menarik hasrat pemilik modal maupun pengambil keputusan mengandalkan kemampuan bersaingnya, pada pengembangan terbaru ini.

Agentic AI merupakan gelombang ketiga pengembangan AI, yang membebaskan operasinya dari banyak campur tangan manusia. AI kategori ini bertindak layaknya agen mandiri, yang mampu terus belajar mencapai kesempurnaan fungsi.

Hasrat mengalihkan pengeluaran dan investasi, juga dialami IBM. CEO-nya Arvind Krisna menyebut, perusahaan mengalihkan perekrutan tenaga kerja ke penggunaan AI. Langkah itu sejenis dengan yang ditempuh India Reliance Industries, pimpinan Mukesh Ambani. Ambani menyebut, institusinya telah mengganti 42.000 posisi pekerjaan manusia di tahun 2023, dengan AI.

Seluruhnya bertujuan jadi pendorong dalam mencapai lompatan kuantum produktivitas maupun efisiensi. Dicatat Skelton, pengalihan alokasi sumber dana dari pengeluaran untuk manusia --dengan cara melakukan PHK-- merupakan strategi untuk meningkatkan investasi pada penggunaan AI. PHK tak terhindarkan, lantaran prioritasnya yang beralih.

Adapun jenis-jenis pekerjaan di balik belantara ratusan ribu PHK, dikemukakan Bernard Marr, 2024, dalam "What Jobs Will AI Replace First?". Disebutkannya pekerjaan yang berciri entry data dan tugas administratif, merupakan jenis pekerjaan yang paling awal digantikan AI.

Hal ini lantaran AI unggul dalam menangani data dalam jumlah besar, dengan cepat dan tepat. Demikian pula dengan tugas-tugas yang bersifat pengulangan dengan aturan yang baku. AI dengan mudah melakukan input, pengaturan dan pengelolaan data, secara efisien dan teliti. Alokasi waktu yang diperlukan manusia, dapat turun drastis.

Berikutnya adalah pelayanan pelanggan. Bidang ini rentan segera tergantikan AI, akibat intensifnya pengembangan chatbot maupun virtual assistant berbasis AI. Perangkat macam ini mampu melayani pertanyaan yang jumlahnya sangat besar, menawarkan bantuan yang bersifat personal.

Juga pekerjaan-pekerjaan pelayanan pelanggan konvensional lainnya. Pekerjaan manufaktur dan perakitan, juga berada di posisi yang rentan. Teknologi robot berbasis AI, dapat melakukan perakitan produk, pengelasan, maupun pengemasan, dengan hasil yang tinggi dan presisi. Jenis pekerjaan berikutnya adalah kasir ritel, analis dasar, desain grafis tingkat pemula, penerjemah dan fotografer perusahaan.

Sedangkan Gaper.io, 2024, menyebutkan dengan nada serupa uraian Bernard Marr, soal pekerjaan yang bakal dimusnahkan AI. Namun institusi ini, lebih menekankan pada uraian klasifikasi pekerjaan berdasarkan kerentanan untuk digantikan AI.

Seluruhnya termuat dalam, "15 Jobs Will AI Replace by 2030?" yang disebutkan sebagai: pertama, pekerjaan yang repetitif dan berbasis aturan baku, kedua: pekerjaan dengan kebutuhan kecerdasan emosional yang rendah, ketiga: pekerjaan yang membutuhkan efisiensi dan efektivitas tinggi. Ini mendorong otomatisasi perangkat, dan keempat: pekerjaan yang teknologinya telah tersedia.

Klasifikasi yang disebut oleh Gaper.io digarisbawahi dengan pernyataan: pekerjaan yang aman hari ini akan menjadi jenis pekerjaan yang tak aman di hari berikutnya. Ini lantaran AI terus berkembang menguasai pekerjaan-pekerjaan yang makin beragam. Formulanya, jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan penilaian, empati, dan daya cipta manusia --sedangkan seluruh keterampilan untuk melakukan pekerjaan berkarakteristik seperti itu, masih jauh dari kemampuan AI-- akan bertahan lama.

Uraiannya ditutup dengan 15 jenis pekerjaan yang bakal musnah di tahun 2030. Seluruhnya adalah: petugas entri data, telemarketer, resepsionis, petugas layanan pelanggan, petugas pembukuan, kasir ritel, pengemudi truk dan taksi, pemeriksa bahasa, pekerja manufaktur, pengemudi pengiriman, petugas keamanan, analis riset pasar, apoteker, asisten hukum dan analis keuangan.

Jenis-jenis pekerjaan rentan, baik yang disebutkan Bernard Marr maupun Gaper.io dapat dikarakterisasi sebagai pekerjaan klerikal dan terstruktur oleh panduan yang baku. Sedangkan pekerjaan yang membutuhkan empati dan emosi seperti konselor psikologi, penasihat pernikahan; pekerjaan dengan kreativitas tinggi seperti pelukis, penggubah lagu, puisi, penulis naskah film; pekerjaan dengan interaksi interpesonal yang tinggi, seperti negosiator bisnis; seluruhnya ada di luar kemampuan AI hari ini.

Tepat jargon di atas, kesanggupan dan ketaksanggupan AI hari ini, bersifat sementara. Bisa berbeda sama sekali besok pagi. Seluruhnya tergantung laju pengembangnya.

Namun dari seluruhnya, memberikan waktu bagi manusia untuk mengoptimalkan kecerdasan rasionalitas maupun emosionalnya. Kecerdasan yang alih-alih sekadar menghindarkannya dari irelevansi oleh AI. Namun juga mampu memimpin kolaborasi dengan perangkat cerdas. Mencapai produktivitas dan efisiensi, seraya tetap eksis. Bukankah keadaan yang ideal itu, harus diperjuangkan? Agar tak musnah.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation