AI dan Kepemimpinan: Ilusi Netralitas & Ancaman Otokrasi Algoritmik

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah menjadi topik hangat dalam berbagai sektor, tak terkecuali dalam dunia hubungan masyarakat (public relation/PR).
Dalam kegiatan Public Relation World Forum 2024 yang digelar di Bali pertengahan November 2024, penulis berkesempatan untuk mengikuti sejumlah paparan yang mengangkat topik menarik mengenai AI dalam PR.
Kegiatan ini menyoroti bagaimana AI dapat memberikan solusi dalam banyak aspek pekerjaan PR, namun di sisi lain, AI juga membawa dilema terkait nilai, hak kekayaan intelektual, dan tantangan etika yang tak bisa diabaikan.
Dalam forum tersebut, Nezar Patria selaku Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Indonesia mengungkapkan bahwa AI diproyeksikan akan berkontribusi sekitar 366 miliar dolar AS terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2030. Ia juga mencatat bahwa 95% bisnis di Indonesia tertarik pada penggunaan AI generatif, dan 22,1% pekerja di Indonesia telah menggunakan teknologi AI.
Dalam dunia PR, AI menawarkan peluang signifikan, seperti analisis data secara real-time, manajemen krisis, pemantauan sentimen, dan penciptaan konten yang dipersonalisasi. Semua ini memberikan kemungkinan untuk merancang strategi komunikasi yang lebih efisien dan relevan dengan audiens.
![]() |
Penerapan Ai di Dunia PR Belum paripurna
Tantangan utama dalam mengimplementasikan AI dalam PR tidak bisa dianggap remeh. Kesenjangan keterampilan yang ada di kalangan profesional PR menjadi hambatan pertama.
Sebagai contoh, meskipun banyak yang menyadari manfaat AI, adopsi teknologi ini masih rendah, dengan sebagian besar tim PR belum sepenuhnya mengintegrasikan AI dalam pekerjaan sehari-hari mereka. Di sinilah pentingnya pelatihan yang berkelanjutan dan peningkatan keterampilan untuk memastikan para profesional PR siap menghadapi era digital ini.
Selain itu, bias dalam AI juga menjadi perhatian utama. Bias dalam data pelatihan AI dapat menyebabkan hasil analisis yang tidak akurat, yang pada akhirnya dapat merusak komunikasi yang dibangun dengan audiens.
Sebagai contoh, kesalahan dalam menganalisis sentimen atau preferensi publik bisa mempengaruhi citra jenama dan merusak hubungan yang telah dibangun. Hal ini menjadi tantangan besar bagi para profesional PR, yang harus memastikan bahwa AI digunakan dengan cara yang tidak hanya efektif, tetapi juga adil dan tidak diskriminatif.
Anna Pislak, seorang pakar PR dari Filipina, membagikan pengalamannya mengenai adopsi AI di negaranya. Ia mengungkapkan bahwa hanya 22% organisasi di Filipina yang sepenuhnya siap untuk mengimplementasikan teknologi AI.
Banyak agensi PR di sana yang masih dalam tahap pembelajaran dalam menggunakan alat AI, dengan fokus pada analisis tren media sosial, pelaporan otomatis, dan manajemen hubungan media.
Dalam menghadapi tantangan ini, organisasi tempat Anna bekerja telah mengembangkan kebijakan internal untuk memastikan penggunaan AI yang bertanggung jawab, dengan menekankan pada kepatuhan terhadap undang-undang privasi, desain AI yang etis, dan pelatihan berkelanjutan bagi staf mereka agar dapat menavigasi lanskap kompleks implementasi AI.
Diskusi dalam forum ini juga menyoroti beberapa isu etika yang cukup krusial, seperti bias data, tantangan privasi, dan kemungkinan AI memperparah praktik diskriminasi yang sudah ada.
Para panelis sepakat bahwa para profesional komunikasi memiliki peran penting dalam membimbing perkembangan AI, memastikan bahwa kemajuan teknologi ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, tanpa ada yang tertinggal.
Pembelajaran berkelanjutan, berpikir kritis, dan komitmen terhadap inovasi yang bertanggung jawab dipandang sebagai strategi utama untuk menghadapi kompleksitas lanskap AI ini.
Pada akhirnya, panelis menyimpulkan bahwa meskipun AI menawarkan peluang yang menarik, ada tantangan serius yang harus dihadapi. Masa depan hubungan masyarakat di era AI terletak pada pendekatan yang seimbang, di mana kemampuan teknologi dimanfaatkan secara optimal, namun tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti transparansi, kejujuran, dan hormat terhadap privasi.
Para pembicara sepakat bahwa para profesional komunikasi tidak seharusnya takut terhadap AI, melainkan harus aktif berpartisipasi dalam merancang implementasi yang etis dan memanfaatkan potensi AI untuk meningkatkan kapasitas manusia.
AI: Alat atau Ancaman?
Meskipun ada sejumlah tantangan, AI tetap dilihat sebagai alat yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam bidang hubungan masyarakat.
Dengan pendekatan yang hati-hati, AI dapat mempercepat proses komunikasi, memperbaiki pengelolaan hubungan dengan audiens, serta membangun kepercayaan publik yang lebih kuat. Namun, tantangan terkait kesenjangan keterampilan, bias AI, dan kebijakan privasi perlu diatasi agar AI dapat digunakan dengan penuh tanggung jawab.
Pemerintah Indonesia, seperti yang disampaikan oleh Nezar, kini sedang bekerja keras untuk mengembangkan regulasi AI nasional, yang bertujuan untuk memastikan bahwa pengembangan AI berlangsung secara bertanggung jawab, menjaga privasi data, dan menciptakan ekosistem teknologi yang inklusif yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sejatinya dunia PR tidak dapat mengabaikan potensi besar yang ditawarkan oleh AI. Dengan menggunakan AI secara bijak, PR dapat mengoptimalkan strategi mereka, meningkatkan keterlibatan khalayak, dan merespons tantangan komunikasi dengan lebih cepat dan tepat.
Namun, untuk itu, dibutuhkan upaya bersama untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan etika dan tanggung jawab yang tinggi.