Menakar Inklusivitas Susu dalam Program Makan Bergizi Gratis

Ray Wagiu Basrowi CNBC Indonesia
Minggu, 26/01/2025 22:00 WIB
Ray Wagiu Basrowi
Ray Wagiu Basrowi
Ray Wagiu Basrowi merupakan doktor (S3) dalam bidang Kedokteran Kerja dan Kedokteran Komunitas dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi... Selengkapnya
Foto: Dok: Ist

Susu, dengan kandungan nutrisinya yang kompleks, telah terbukti secara ilmiah sebagai salah satu komponen penting dalam memenuhi kebutuhan gizi anak. Secara medis dan ilmu gizi, sudah tidak terbantahkan lagi bahwa susu memiliki nilai gizi yang sangat unggul sebagai sumber protein hewani berkualitas tinggi, zat besi, kalsium, vitamin C, fosfor, dan berbagai mikronutrien penting lainnya.

Namun, relevansi dan keefektifannya dalam program makan bergizi gratis di sekolah Indonesia masih menjadi perdebatan, terutama di tengah kekhawatiran akan anggaran, keberlanjutan, dan kebutuhan gizi yang lebih spesifik. Itu sebabnya penting untuk menilik bukti ilmiah manfaat susu, terutama susu pertumbuhan dalam meningkatkan efektivitas program makan bergizi gratis ini, baik dari keberhasilan negara-negara lain, maupun berdasar kajian epidemiologis filosofis.

Studi oleh Food and Agriculture Organization (2021) menyebutkan bahwa konsumsi susu pada anak-anak usia sekolah dapat meningkatkan pertumbuhan tulang, kekuatan otot, serta kesehatan gigi. Penelitian global juga menegaskan manfaat susu pertumbuhan yang difortifikasi dengan zat gizi mikro yang lengkap dan ketika diberikan pada usia sekolah memberi dampak positif yang terukur dan mencegah kekurangan gizi pada anak usia sekolah.


Di negara-negara Skandinavia seperti Swedia dan Finlandia, susu adalah komponen utama program makan gratis di sekolah. Kajian oleh Nordic Nutrition Recommendations (2022) mencatat bahwa anak-anak yang mengonsumsi susu di sekolah menunjukkan hasil akademik yang lebih baik karena hubungan antara status gizi optimal dan konsentrasi belajar.

Program makan siang sekolah di Jepang (shokuiku) menyertakan susu sebagai bagian dari makanan standar. Dengan program ini, tingkat gizi kurang pada anak di Jepang sangat rendah, yaitu hanya 3 persen pada 2022 (UNICEF). Program "National School Lunch Program" di Amerika Serikat juga menjadikan susu sebagai komponen wajib. Menurut data USDA (2020), susu dalam program makan gratis di sekolah membantu memenuhi 30-50 persen kebutuhan kalsium harian anak. Ini bukti bahwa asupan susu berkontribusi signifikan dalam memastikan kebutuhan gizi anak terpenuhi.

Di Indonesia pun penelitian yang dilakukan Indonesia Nutrition Association (2023) membuktikan intervensi susu pertumbuhan tinggi zat besi secara bermakna meningkatkan kadar zat besi pada anak, mengoptimalkan pertumbuhan, bahkan mencegah anemia kurang besi yang merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengganggu konsentrasi belajar anak.

Meskipun demikian, bukti ilmiah manfaat susu dan rasionalisasinya pada program makan bergizi gratis tetap menghadapi tantangan yang cenderung menginferiorkan keunggulan gizi susu. Narasi yang sering dibangun di ruang publik diantaranya adalah bahwa relevansi susu dalam konteks Indonesia harus mempertimbangkan budaya, pola makan lokal dan pastinya anggaran.

Narasi dan Persepsi Susu

Dalam tradisi banyak daerah, susu memang bukan merupakan bagian utama dari diet sehari-hari. Makanan seperti tempe, tahu, ikan, dan sayur-mayur lebih populer sebagai sumber protein dan nutrisi. Dalam filosofi tradisional, makanan lokal dianggap lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat, baik dari segi nilai gizi maupun ketersediaan. Susu juga sering dianggap sebagai simbol modernitas atau "kemewahan" dalam konteks budaya masyarakat tertentu di Indonesia.

Narasi pembiayaan juga menjadi indikator yang marak di media. Harga susu dianggap relatif mahal dibandingkan dengan makanan bergizi lainnya. Untuk menyediakan satu gelas susu per anak per hari, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dengan anggaran terbatas, pemerintah cenderung memilih makanan dengan nilai gizi tinggi namun biaya lebih rendah, seperti telur atau ikan.

Situasi ini sebenarnya mencerminkan adanya kesenjangan antara persepsi susu sebagai produk eksklusif dan kenyataan bahwa tidak semua keluarga mampu mengakses susu. Dalam program makan gratis yang bertujuan merangkul seluruh anak, prioritas diberikan pada makanan yang dianggap "universal" dan diterima semua lapisan masyarakat.

Dengan segenap bukti ilmiah yang sangat ekstensif dan sahih, seyogyanya susu terutama susu pertumbuhan sangat bisa dirasionalkan sebagai komponen penting dan wajib dalam program makan bergizi gratis. Namun ketika narasi ilmiah tak cukup kuat, dan argumentasi anggaran menjadi sangat dominan, mungkin perlu sudut pandang berbeda untuk membantu menakar rasionalitas susu dalam program makan bergizi gratis ini.

Filosofi Inklusivitas Susu

Dari perspektif filosofis, susu dapat dilihat sebagai simbol kesetaraan akses terhadap gizi. Konsep ini selaras dengan prinsip "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sebagaimana tercantum dalam Pancasila. Penyediaan susu dalam program makan bergizi gratis di sekolah bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga membangun rasa tanggung jawab kolektif terhadap kesehatan generasi muda.

Daripada terjebak dalam diskusi kalkulasi ekonomi, kendala logistik, atau keraguan akan relevansinya, penting untuk melihat lebih dalam makna kontekstual bahwa susu memiliki nilai simbolis yang melampaui sekadar aspek nutrisi. Di balik segelas susu tersimpan pesan kesetaraan, komitmen, dan rasa kebersamaan yang bisa menjadi landasan moral dalam membangun generasi emas Indonesia.

Ketika susu diberikan kepada seluruh anak tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya, hal ini mencerminkan filosofi dasar keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila. Memasukkan susu ke dalam program makan bergizi gratis dapat menjadi simbol inklusivitas dan keadilan sosial. Menyediakan susu secara universal menunjukkan bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan gizi terbaik, terlepas dari latar belakang ekonomi atau budaya mereka.

Segelas susu dalam program makan gratis menjadi "traktir universal," menunjukkan bahwa setiap anak Indonesia memiliki hak yang sama atas gizi terbaik, terlepas dari status keluarganya. Susu bisa menjadi simbol yang menyatukan, bahwa negara hadir di setiap sekolah, menyamakan kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung untuk menikmati sumber gizi berkualitas tinggi yang mungkin tidak dapat mereka peroleh di rumah.

Program makan bergizi gratis dengan menu susu di dalamnya adalah bukti nyata bahwa negara peduli terhadap anak-anaknya. Namun, kehadiran susu di dalam program ini membawa pesan tambahan: negara tidak hanya ingin "mengisi perut" tetapi juga memberikan sesuatu yang istimewa, sesuatu yang melambangkan cinta dan perhatian yang tulus. Narasi ini patut menjadi takaran filosofis dan juga epidemiologis yang sangat rasional untuk menjadi konsiderasi pemerintah dalam melengkapi program makan bergizi gratis dengan susu pertumbuhan untuk anak-anak Indonesia. 


(bul)