Menakar Inklusivitas Susu dalam Program Makan Bergizi Gratis

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Bukan lautan hanya kolam susu...
Kail dan jala cukup menghidupimu...
Dua bait lagu "Kolam Susu" besutan legenda Koes Plus mendadak kembali terngiang di telinga. Bagaimana tidak? Bukan dalam arti kiasan sebagaimana lirik lagu, yang menandakan kemakmuran, justru gambaran kolam susu itu tiba-tiba hadir di depan mata dengan ironi dalam bentuk berita-berita di televisi maupun informasi yang berseliweran di media sosial.
Kolam susu dalam arti sebenarnya. Kolam susu yang tercipta akibat susu sapi dari peternak dalam negeri, tidak terserap oleh pasar. Akibatnya berpotensi basi dan susu sapi itu pun dibuang begitu saja.
Tepatnya pada Sabtu (9/11/2024), sejumlah peternak sapi perah dan pengepul susu di Boyolali, Jawa Tengah, menggelar aksi mandi susu di Tugu Susu Tumpah, Boyolali, Jawa Tengah. Masih di kota yang sama, aksi protes juga hadir dari para peternak dan pengepul yang membuang 50 ribu liter susu sapi ke TPA Winong Boyolali.
Mereka memprotes atas pembatasan kuota di Industri Pengolahan Susu (IPS). Para peternak ini kecewa karena serapan susu sapi lokal berkurang. Padahal mereka menaruh harap, agar pemerintah mengutamakan produksi susu lokal untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian merespons kondisi ini dengan mewajibkan semua IPS untuk menyerap susu dari peternak lokal. Susu dapat terserap asalkan sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan pabrik.
IPS juga diminta untuk melakukan pembinaan kepada peternak sapi, untuk memberikan edukasi standar produksi susu yang dapat diserap pabrik. Selain itu, Kementerian Pertanian juga membekukan sementara izin impor lima industri susu.
Kebijakan yang diambil oleh pemerintah itu, tentu hanya sebatas menyambung nafas peternak. Hal fundamental yang juga disuarakan peternak adalah agar pemerintah mengubah perundingan dagang yang sudah berjalan, yakni ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).
Perjanjian ini menyepakati perdagangan bebas antar negara yang terlibat dan terimplementasi melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 166 tahun 2011. Beleid itu diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) 49 tahun 2022, karena susu masuk kategori barang yang dibutuhkan rakyat banyak.
Namun sayang, produsen sapi dalam negeri kalah saing dengan produk Australia dan Selandia Baru. Dalam perjanjian disebutkan produk susu impor dari kedua negara bebas bea masuk sehingga harganya pun lebih murah.
Sesuai dengan mekanisme pasar, harga yang lebih murah, lebih diminati. Apalagi juga didukung dengan standar kualitas yang lebih baik. Bagi IPS tentu itu adalah bahan baku yang bagus dan menyehatkan neraca keuangan.
Di sisi lain hal ini menjadi bibit permasalahan bagi peternak lokal. Imbasnya produksi susu dalam negeri tidak terserap dengan baik. Hal ini turut diperparah dengan adanya gap antara bahan baku produksi susu dan impor yang justru semakin besar.
Saat ini, industri pengolahan susu nasional tumbuh rata-rata 5% per tahun, sedangkan pertumbuhan produksi susu segar dalam negeri rata-rata 0,9% per tahun. Dari angka pertumbuhan ini, ada gap sekitar 4,1% untuk mengimbangi kebutuhan industri pengolahan susu nasional.
Akibatnya, bahan baku susu lagi-lagi dipenuhi dari impor. Kementerian Perindustrian mencatat Produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) saat ini hanya mampu memenuhi kebutuhan industri pengolahan susu sebesar 20% atau sekitar 750 ribu ton. Sedangkan sisanya sebanyak 80% bahan baku susu masih dipenuhi dari impor.
Dengan data-data itu, nampak tren yang kurang baik terjadi pada peternak susu sapi lokal. Perlu ada tindakan antisipatif jangka panjang, untuk memperbaiki industri susu sapi lokal. Intervensi pemerintah melalui penghentian sementara izin impor dan mewajibkan IPS menyerap produksi susu sapi peternak lokal, adalah solusi jangka pendek.
Pemerintah yang terlalu banyak intervensi dan tidak memberi keuntungan maksimal bagi industri, tentu menjadi penghalang minat investasi. Di sisi lain, ini dapat menjadi masalah baru bila salah mengambil langkah.
Pemerintah kita telah mengambil mekanisme pasar bebas, melalui perjanjian perdagangan di kawasan. Suara-suara untuk meratifikasi perjanjian pun muncul. Yang menjadi pertanyaan, apakah langkah itu memungkinkan?
Terlintas kalimat pepatah Jerman: "Tidak ada cuaca buruk. Yang ada hanya busana yang salah". Analoginya mirip dengan dibandingkan menyalahkan keadaan, kita mesti berani mengevaluasi diri. Pemerintah juga mesti melihat kondisi yang terjadi pada akar rumput peternak susu sapi lokal.
Perbaikan Ekosistem
Salah satu permasalahan yang dihadapi peternak susu sapi lokal adalah daya saing. Mulai dari kualitas produk hingga harga jual. Peningkatan kualitas produksi dapat dilakukan dengan intensifikasi pembinaan IPS terhadap peternak susu sapi lokal.
Dalam hal ini, sebenarnya peternak susu sapi lokal telah memiliki keunggulan jarak, sehingga dapat menekan ongkos logistik. Kondisi ini menciptakan peluang untuk peningkatan daya saing.
Pembinaan yang dilakukan tentu perlu kedisiplinan dan standar kualitas yang jelas. Dapat dibayangkan bila kualitas produksi susu sapi dalam negeri telah memenuhi standar, IPS dapat meilirik produsen lokal dan serapan susu sapi nasional pun menjadi semakin tinggi. Hal ini turut menjadi peluang untuk menutup gap kebutuhan susu nasional yang masih terjadi.
Perbaikan harga jual juga dapat dilakukan dengan menekan ongkos logistik transportasi. Sebagai negara kepulauan, hal ini menjadi tugas yang sangat berat. Produk susu yang merupakan zat cair, membuat ongkos logistik transportasi menjadi hal yang paling diperhitungkan.
Meskipun dinilai berat, pemerintah perlu meningkatkan performa logistik transportasi, agar bisnis bisa berjalan dengan efisien dan efektif, sehingga meningkatkan daya saing.
Sebagai warga negara, kita mengharapkan adanya perbaikan masif dan jangka panjang terhadap produksi susu sapi dalam negeri. Perbaikan ini untuk memberikan multiplier effect pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Begitupun juga dengan industri lainnya yang ada di Indonesia. Kejadian yang menimpa peternak susu sapi dalam negeri, harus menjadi titik balik bagi pemerintah untuk memperbaiki ekosistem dan rantai pasok industri.
Aksi peternak sapi perah dan pengepul susu di Boyolali yang mandi susu adalah gambaran ironi. Ironi yang terjadi di tengah gegap-gempita program makan bergizi gratis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Di saat pemerintah merancang dan meramu racikan menu yang pas untuk program andalannya, saat itu pula peternak sapi di Boyolali menjerit. Susu sebagai produk minuman yang bergizi itu, telah terbuang percuma. Namun pesan dalam aksi itu telah menggema luas ke seantero Indonesia.
Program makan bergizi gratis juga mendatangkan tantangan. Kebutuhan susu semakin meningkat dan gap antara ketersediaan dan kebutuhan semakin lebar. Apakah pilihan impor susu sapi tetap akan jadi alternatif jalan singkat bagi pemerintah menjawab program itu?
Atau justru sebaliknya, pemerintah dapat mengoptimalisasi peternak susu sapi lokal, sehingga komoditas ini meningkat nilainya? Lantas, kesejahteraan peternak semakin baik dan Indonesia mampu mengekspor susu sapi seperti halnya Australia dan Selandia Baru? Tentu perlu langkah serius dan juga butuh diperjuangkan.