Daya Saing Pendidikan Tinggi di Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Publik mungkin bertanya-tanya mengapa saat ini sejumlah dosen menuntut pemberian tunjangan kinerja (tunkin) khususnya bagi dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (dahulu Kemenristekdikti).
Pemberian tunkin bagi dosen merupakan sebuah diskusi yang sudah lama muncul namun menjadi ramai dalam pemberitaan baru pada akhir-akhir ini. Menjadi sebuah topik hangat karena bagi calon dosen tanpa adanya tunkin penghasilan yang diterima akan sangat minimalis, yaitu sebesar gaji dan tunjangan sebagai ASN.
Pemberian tambahan penghasilan bagi dosen merupakan kebijakan yang telah lama dilakukan. Bentuk tambahan penghasilan bagi seorang dosen dapat berupa tunjangan sertifikasi (serdos), tunkin, dan/atau remunerasi.
Merujuk pada PP 37 Tahun 2009 tentang Dosen, seorang dosen dapat diberikan serdos setelah memenuhi sejumlah ketentuan. Besaran serdos yang diberikan sebesar satu kali gaji pokok dengan syarat telah melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi setara minimal 12 SKS dan maksimal 16 SKS. Syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu telah memiliki jabatan fungsional dosen dengan jenjang paling rendah Asisten Ahli.
Di Indonesia terdapat dua kementerian yang memiliki dosen dengan jumlah yang signifikan, yaitu di Kementerian Dikti Saintek dan Kementerian Agama. Kedua kementerian tersebut memiliki kebijakan yang sama tentang pemberian serdos bagi dosen. Kesamaan kebijakan tersebut yang menjadikan pelaksanaan pemberian serdos di keduanya tidak terdapat permasalahan yang berarti.
Apabila merujuk pada PP 37 Tahun 2009, tunjangan sertifkasi hanya diberikan bagi dosen. Tenaga kependidikan saat berlakunya regulasi tersebut belum mengenal adanya pemberian tambahan penghasilan yang setara dengan serdos. Praktis yang diterima oleh pegawai PNS selain dosen hanyalah gaji dan tunjangan keluarga.
Memasuki tahun 2014, terjadilah perubahan dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pasal 80 ayat (2) undang-undang tersebut memperkenalkan sebuah bentuk baru pemberian tambahan penghasilan berupa tunkin.
Setiap kementerian/lembaga mendapatkan penetapan tunkin melalui peraturan presiden (perpres) yang mengatur besaran tunkin untuk setiap kelas jabatan. Secara perinci dalam perpres penetapan tunkin masing-masing kementerian/lembaga mengatur mengenai siapa saja yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima tunkin.
Pada pelaksanaan di lapangan, Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) di bawah Kemenag mengeluarkan kebijakan yang menyelaraskan antara serdos dan tunkin. Baik serdos dan tunkin dianggap memiliki kesamaan makna karena keduanya mensyaratkan adanya capaian kinerja sebagai dasar pembayarannya.
Adanya kesamaan makna tersebut yang tidak memungkinkan serdos dan tunkin diberikan secara bersamaan karena akan terjadi duplikasi pembayaran. Duplikasi dimaknai ketika suatu output kinerja yang sama namun dihargai dengan dua sumber yang berbeda, yaitu serdos dan tunkin.
Untuk menghindari duplikasi pembayaran, Kemenag memberikan opsi bagi pegawainya untuk memilih mana yang lebih menguntungkan. Pegawai yang berstatus tenaga kependidikan maka pilihannya hanya tunkin sesuai kelas jabatannya.
Bagi calon dosen yang belum memperoleh penetapan sebagai fungsional, tambahan penghasilan yang diberikan mengacu pada kelas jabatan yang disetarakan pada tabel tukin. Sedangkan bagi dosen yang selama ini telah menerima sertifikasi maka ada dua alternatif yang bisa dipilih.
Jika dosen menerima serdos lebih besar daripada tunkin dalam kelas jabatan yang disetarakan, maka dosen tersebut akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar serdos. Namun apabila dosen mendapatkan serdos lebih kecil dari kelas jabatan yang disetarakan maka besaran serdos yang diterima akan ditambahkan dengan selisih tunkin pada kelas jabatan yang disetarakan.
Secara kalkulasi total penghasilan yang diterima oleh dosen sekurang-kurangnya setara dengan besaran tunkin pada kelas jabatan yang disetarakan.
Masih dari lingkup Kemenag, dosen pada PTKN yang berstatus BLU dan telah mendapatkan penetapan remunerasi masih terdapat peluang mendapatkan tambahan penghasilan atas capaian kinerja yang belum dihargai dari pemberian serdos. Contoh mudahnya adalah capaian beban kerja setara SKS di atas 16 sebagaimana yang diatur dalam PP tentang dosen.
Kemenristekdikti saat itu dalam implementasi tunkin mengambil kebijakan berbeda dengan yang berlaku di Kemenag. Sejumlah kelompok pegawai pada PTN Kemenristekdikti dikecualikan dari penerima tunkin.
Secara sederhananya terdapat kesamaan perlakuan bagi tenaga kependidikan baik di Kemenag maupun Kemenristekdikti. Tenaga kependidikan hanya mendapatkan tambahan penghasilan berupa tunkin sesuai kelas jabatannya.
Bagi dosen yang sudah mendapatkan penetapan sebagai fungsional maka diberikan serdos sesuai ketentuan. Tidak ada pemberian selisih tunjangan dalam hal serdos lebih rendah dibandingkan tunkin yang disetarakan. Pembayaran selisih tunjangan hanya diberikan bagi pejabat fungsional selain dosen. Selanjutnya yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana dengan calon dosen yang belum mendapatkan penetapan sebagai fungsional dosen?
Perpres tunkin pada Kemenristekdikti selama ini mengecualikan calon dosen sebagai penerima tunkin. Terbitnya kebijakan pengecualian tersebut diharapkan sebagai pemacu para calon dosen untuk segera memenuhi prasyarat penetapan sebagai fungsional dosen.
Secara regulasi hal tersebut bisa digunakan dalam rangka mencapai target sertifikasi bagi seluruh dosen lingkup Kemenristekdikti. Namun pada pelaksanaan di lapangan, perjuangan untuk memenuhi syarat penetapan sebagai fungsional dosen memerlukan usaha yang keras serta waktu yang cukup panjang. Seorang calon dosen harus memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya satu tahun ditambah publikasi dan beberapa syarat lainnya.
Lamanya waktu tunggu untuk mendapatkan tambahan penghasilan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh calon dosen lingkup Kemenristekdikti. Beruntung apabila calon dosen mendapatkan penugasan pada PTN dengan status berbadan hukum atau BLU.
Peluang memperoleh tambahan penghasilan dari remunerasi masih terbuka meskipun besaran rupiah yang diterima bergantung dari capaian kinerja serta kemampuan keuangan PTN masing-masing.
Khusus bagi dosen yang bertugas pada PTN yang belum mendapatkan penetapan remunerasi maka hanya gaji dan tunjangan keluarga saja yang menjadi haknya. Ketimpangan yang terjadi atas perlakuan pemberian tambahan penghasilan akan memunculkan demotivasi di antara calon dosen. Terlebih jika melihat rekan sejawat pada unit lain yang mampu memberikan tambahan penghasilan secara layak.
Kebijakan untuk mewajibkan calon dosen memperoleh penetapan sebagai fungsional dosen dan dilanjutkan dengan sertifikasi merupakan hal esensial untuk menjamin kualitas pendidikan. Namun jangan sampai fokus pada kewajiban sertifikasi menjadikan lupa bahwa ada motivasi calon dosen yang perlu dijaga.
Solusi kebijakan seperti halnya yang dilakukan oleh Kemenag bagi para calon dosen nampaknya perlu diadaptasi secepatnya agar permasalahan tambahan penghasilan bagi dosen tidak semakin berlarut.