Arah Rupiah Melawan Ketidakpastian Global-Peningkatan Tensi Geopolitik

Telisa Aulia Falianty, CNBC Indonesia
Jumat, 19/04/2024 12:35 WIB
Foto: Uang dolar AS dan Rupiah. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Setelah merayakan kegembiraan Idulfitri kita dikejutkan dengan serangan balasan yang dilakukan oleh Iran atas serangan yang diklaim Iran dilakukan oleh Israel di Damaskus, Suriah, yang menewaskan beberapa pemimpin militer Iran.

Dengan berita tersebut rupiah merespons penguatan dolar yang terjadi. Di tengah libur panjang untuk transaksi rupiah domestik, rupiah diperdagangkan relatif lemah melawan penguatan dolar. Setelah libur berakhir, pada perdagangan Selasa (16/4/2024), rupiah ditutup melemah pada Rp 16.176 per dolar Amerika Serikat (AS).

Kali ini penulis akan fokus membahas tidak hanya pergerakan rupiah jangka pendek namun memproyeksikan arah rupiah ke depannya dengan melihat pergerakan dinamika historisnya selama ini serta bagaimana lesson learned dari berbagai mata uang negara peers dan mata uang dunia untuk mengantisipasi dampak negatif dari pelemahan rupiah serta relatif persistennya fenomena strong dolar.


Dinamika Rupiah dalam 14 Tahun Terakhir
Dalam riset kecil untuk mendukung tulisan ini, penulis mengamati nilai tukar rupiah sejak Januari 2010 hingga Maret 2024. Selama periode pengamatan tercatat rupiah secara kumulatif telah mengalami depresiasi sebesar hampir 41%.

Jika dibandingkan dengan negara peers yaitu Peso, kita dalam posisi yang lebih besar depresiasinya. Peso Filipina terdepresiasi secara kumulatif sebesar 18%, jauh lebih kecil dari depresiasi Indonesia. Besaran kumulatif depresiasi dari Rupiah terhadap Dolar mirip dengan besaran kumulatif dari peers yakni Indian Rupee, yang mengalami depresiasi sebesar 45%. Setidaknya Rupiah sedikit lebih baik dibandingkan dengan India.

Rupiah juga tentunya lebih baik dibandingkan dengan Lira Turki yang telah terdepresiasi secara kumulatif sebesar 95%, Rubel Rusia 68%, dan Real Brasil sebesar 64%. Kompetitor kita dalam hal nilai tukar yang lebih lemah dari rupiah yakni Vietnam Dong (VND) tercatat hanya mengalami depresiasi kumulatif sebesar 25%.

Pelemahan rupiah tidak hanya dapat kita lihat secara nominal. Kita juga dapat melihat indeks tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang disebut sebagai Exchange Market Pressure Index (EMPI). Semakin tinggi angka EMPI semakin menunjukkan tekanan terhadap suatu mata uang.

Olahan data EMPI kami menunjukkan kenaikan dari nilai EMPI yang berarti adanya tekanan terhadap rupiah. Angka EMPI pada bulan Maret 2024 mencapai 2.082 dan setara dengan 2.836 kali standar deviasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Sebagai perbandingan pada Februari 2024 nilai EMPI masih sebesar 0.55 atau setara 0.8 standar deviasi. Pada pertengahan April 2024, angka estimasi EMPI di kisaran 3.9 atau setara 5.68 standar deviasi.

Tekanan yang melebihi kondisi normal ini tentunya perlu diwaspadai meskipun memang BI dan pemerintah terus memantau dan khususnya BI terus mengantisipasi dengan berbagai peluru kebijakan (triple intervention, baik di spot maupun Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), optimalisasi instrumen Sukuk Valas Bank Indonesia (SVBI), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), penguatan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) bersama pemerintah, dan akselerasi penggunaan Local Currency Settlement, serta memperkuat pengelolaan dan institusi pasar valas).

Selain dari EMPI perbandingan kerentanan rupiah bisa terlihat pada perbandingan antara episode depresiasi dan episode apresiasi. Dalam periode pengamatan dengan data bulanan selama 14 tahun terakhir, Indonesia terhitung mengalami 103 periode depresiasi dan 67 periode apresiasi.

Sedangkan negara peers yang volatilitas mata uang mirip yakni Indian Rupee, mengalami 97 periode depresiasi dan 73 periode apresiasi, artinya lebih sedikit jumlah periode depresiasinya meskipun secara volatiltas mata uang hampir sama. Peso Filipina dan Peso Mexico juga jauh di bawah rupiah untuk periode depresiasinya, yakni 83 kali dan 78 kali.

Rupiah versus Vietnam Dong, Turkish Lira, dan Peso Filipina
Tanpa bermaksud memberikan hal yang mengkhawatirkan dan sebagai pemicu bagi kita untuk memikirkan jalan keluar, penulis mencoba melakukan simulasi hitungan sederhana terkait dengan bagaimana jika trend Rupiah masih berlanjut dengan pola seperti ini dan jika tidak ada perlawanan struktural.

Jika pola trend Rupiah dan VND masih sama dengan asumsi model linier maka pada tahun 2064 Nilai tukar rupiah terhadap dolar akan sama dengan nilai tukar VND terhadap dolar yakni sekitar Rp 36.800 dan VND 36.800 per dolar.

Pada tahun 2045 yang digadang-gadang sebagai Indonesia Emas jika laju tren depresiasi masih sama maka kurs kita pada saat itu bisa mencapai Rp 27.000 per dolar. Tentunya kita tidak ingin mewariskan anak cucu dengan nilai kurs yang terlalu rendah. Meskipun kita menyadari juga bahwa depresiasi rupiah telah membantu di sisi ekspor Indonesia yang notabene masih mengandalkan pada ekspor komoditas. (Catatan : semua dengan asumsi ceteris paribus).

Rupiah masih lebih baik jika dibandingkan dengan kinerja Lira Turki yang memang mengalami krisis nilai tukar. Volatilitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan rupiah yakni di angka 0.64 dengan depresiasi kumulatif telah mencapai 95%.

Rata-rata laju depresiasi Lira sebesar 7.86% jauh di atas laju rupiah sebesar 0.47%. Namun kita harus melihat benchmark yang lebih baik agar kita terpacu, yakni dengan Peso Filipina yang hanya terdepresiasi dengan laju 0.19% secara rata-rata dengan volatilias peso jauh di bawah rupiah yakni 0.09 (di bawah rupiah yang koefisen volatilitas sebesar 0.2).

Fenomena Penguatan US Dolar dan Kurangnya Safe Haven Asset dan Currency
Iindeks dollar AS (DXY) selama periode libur Lebaran menguat sangat signifikan yaitu dari 104 menjadi di atas 106. Bahkan, indeks dollar AS per tanggal 16 April pagi ini sudah mencapai angka 106.18.

Penguatan US Dolar index merespon terhadap kuatnya data perekonomian AS serta meningkatnya eskalasi dan tensi geopolitik global. Penguatan US Dolar terjadi karena meningkatkan ketidakpastian global serta terbatasnya safe haven asset.

Caballero, Farhi, dan Gourinchas (2017) menyoroti kurangnya suplai dari safe haven asset di dunia. Suplai dari safe assets baik private maupun publik secara historis telah terkonsentrasi di sejumlah kecil negara maju seperti Amerika Serikat.

Dalam artikelnya yang berjudul "The Safe Asset Shortage Conodrum" dinyatakan terbatasnya suplai dari safe asset terkait dengan alasan kapasitas suatu negara dalam memproduksi safe haven asset ditentukan oleh tingkat pembangunan finansial, kapasitas fiskal dari sovereign, track record dari bank sentral untuk stabilitas nilai tukar dan harga, dan stabilitas politik.

Sejak pandemi Covid 19, melambatnya pertumbuhan China dan Jepang, krisis di Eropa dan Inggris, kompetitor dari Amerika Serikat dalam safe asset menjadi semakin melamah. Wacana dedolarisasi dan upaya mengurangi ketergantungan terhadap dolar belum mengalami kemajuan yang signifikan untuk melawan hegemoni US Dolar. US Dolar tetap dominan dalam berbagai setelmen transasksi internasional dan juga treasury bond sebagai aset internasional dominan.

Salah satu kriteria dari safe haven currency adalah volatilitas dari mata uang yang rendah serta penggunaan yang tinggi dalam transaksi internasional. Secara volatilitas, dalam periode pengamatan 14 tahun terakhir, mata uang Chinese Yuan (CNY), Euro dan Swiss Franc (sebagai kelompok hard currency) adalah mata uang yang memiliki nilai terendah dalam volatilitas.

Nilai koefisien variasi CNY sebesar 0.05, Euro sebesar 0.09 dan untuk Swiss Franc juga 0.05. Di luar kelompok mata uang negara maju, mata uang Dolar Singapura juga sangat stabil dengan koefisien variasi sebesar 0.04.

Bahkan Real Saudi memiliki koefisien variasi paling rendah di antara 18 negara sampel yang diamati yakni dengan variasi mendekati nol. Sebagai catatan Real Saudi merupakan rejim peg to USD. Selain volatilitas, kriteria terkait dengan ukuran atau size transaksi tentunya menjadi penting.

Menurut data dari Statista pada Februari 2024 yang diambil dari data transaksi Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) penggunaan mata uang dolar dalam transaksi internasional di dunia meningkat dari 45.02% dari Januari 2019 menjadi 58.77% di Februari 2019.

Ini menunjukkan permintaan terhadap USD semakin meningkat pascapandemi Covid-19. Di sisi lain justru penggunaan Euro semakin turun dari 34.57% menjadi 12.94%. Jika merujuk pada paragraf sebelumnya mata uang stabil adalah Swiss Franc dan Chinese Yuan.

Penggunaan Swiss Franc mengalami sedikit kenaikan dari 1.37% menjadi 1.89% dan mata uang Chinese Yuan naik penggunaannya dari 1.24% menjadi 2.78%. Artinya jika digunakannya hanya dua indikator untuk safe haven kompetitor USD, maka Chinese Yuan memenuhi kriteria secara stabilitas dan juga secara size yang meningkat, tapi catatannya tentunya Chinese Yuan ini share-nya masih di bawah 3%, masih jauh dari share mata uang dominan sebagai hard currency.

Tapi tren peningkatannya menjadikan Chinese Yuan potensial sebagai kompetitor, relatif juga dibandingkan dengan mata uang negara maju yang sudah lama memiliki track record seperti Swiss Franc. Secara size, ukuran dari Chinese Yuan sudah melewati porsi dari Swiss Franc dalam catatan SWIFT. Diversifikasi dari mata uang internasional menjadi rumus dan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh masyarakat internasional untuk meredam fenomena strong dollar.


(miq/miq)
Pages