Inovasi Digital dalam Dilema Perbaikan Pemilihan Kepala Daerah

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dengan diiringi lagu 'Bagimu Negeri', Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menutup rangkaian debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Minggu (4/2/2024) malam. Ketiga pasangan calon (paslon) telah memaparkan gagasan dan programnya mengenai pelbagai isu mulai dari isu politik, hukum, keamanan, pendidikan, sampai yang teranyar pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan sebagainya.
Rangkaian debat telah mampu menggali sejumlah isu penting, setiap paslon pun juga telah menawarkan program serta janji untuk dilaksanakan kelak saat terpilih, sayangnya banyak persoalan besar yang luput dari pembahasan. Publik hanya disuguhkan program-program yang tampak populis, janji-janji yang disampaikan pun cenderung lebih banyak berkaitan dengan sisi belanja pada APBN.
Seluruh paslon sama sekali tidak menyinggung bagaimana cara membiayai program-program tersebut apakah melalui realokasi anggaran, peningkatan penerimaan negara atau justru melalui skema pembiayaan utang. Kita pun mahfum bahwa hal ini sangat penting dibahas mengingat kondisi keuangan negara dan kapasitas fiskal kita yang serba terbatas.
Tidak Populis Secara Elektoral
Faktor utama yang membuat bahasan mengenai strategi memperluas penerimaan negara baik ekstensifikasi dan intensifikasi baik pajak maupun cukai adalah karena secara elektoral tidaklah sepopulis pembahasan mengenai program-program yang dapat menarik simpati masyarakat.
Pajak dan cukai seringkali dianggap sebagai beban oleh sebagian masyarakat. Membahas peningkatan atau perubahan dalam sistem ini bisa menjadi langkah bunuh diri, sebab secara politis dapat memicu reaksi negatif dari publik. Maka tak heran jika paslon capres dan cawapres yang berlaga terkesan irit membahasnya secara perinci untuk menghindari kehilangan dukungan popular.
Di sisi lain penerimaan negara melibatkan banyak aspek teknis dan kebijakan yang kompleks. Paslon yang berlaga barangkali khawatir bahwa membahasnya secara perinci dapat membuat pesan mereka sulit dipahami oleh masyarakat umum, yang mungkin kurang akrab dengan detail teknis kebijakan fiskal.
Ditambah lagi dengan situasi kebatinan masyarakat yang masih dirundung rendahnya public trust terhadap pengelolaan pajak akibat ulah oknum pegawai pajak yang terseret masalah hukum, sehingga bahasan mengenai isu perpajakan untuk menambah pendapatan negara terkesan dihindari.
So, jangan heran jika semua paslon lebih memilih menggunakan strategi kampanye yang berfokus pada pesan yang lebih popular, mudah dipahami dan adu gimmick, alih-alih memimpin pembahasan mengenai isu-isu yang mungkin kurang populer seperti proyeksi penerimaan negara namun sangat penting untuk pembangunan jangka panjang.
Solusi Kelembagaan Tepatkah?
Isu terkait penerimaan negara sempat sedikit disinggung dalam Debat Kedua, yang mana ketiga cawapres beradu gagasan mengenai Ekonomi (ekonomi kerakyatan dan ekonomi digital), Keuangan, Investasi Pajak, Perdagangan, Pengelolaan APBN-APBD, Infrastruktur, dan Perkotaan.
Beberapa cawapres sempat saling berdebat terkait dengan adu tinggi dalam menargetkan capaian angka tax ratio, hanya saja di sisi lain, soal bagaimana langkah-langkah untuk meningkatkan tax ratio itu pun luput dari perdebatan kali ini.
Saat itu, cawapres dari pasangan nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka sempat menawarkan solusi peningkatan penerimaan negara melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara yang berada langsung di bawah komando presiden, di mana badan ini merupakan hasil gabungan dari pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dari Kementerian Keuangan.
Mereka juga ingin memperbaiki aspek kelembagaan melalui reformasi birokrasi dan manajemen ekspor-impor nasional serta mewajibkan penyimpanan devisa hasil ekspor di bank-bank dalam negeri dalam waktu yang optimal.
Solusi senada juga diajukan oleh paslon nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Dalam dokumen visi-misinya, pasangan AMIN ini ingin meningkatkan penerimaan negara melalui pembagian kewenangan yang harmonis antar-instansi dengan merealisasikan Badan Penerimaan Negara langsung di bawah presiden.
Bedanya, mereka juga akan meningkatkan penerimaan negara melalui mengimplementasikan nilai ekonomi karbon melalui penerapan pajak karbon, penerapan sistem perdagangan karbon yang inklusif dengan standar dan kriteria yang jelas, serta instrumen lainnya memastikan penurunan bersih emisi gas rumah kaca.
Cerita yang cukup berbeda datang dari pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD tidak mencantumkan pembentukan lembaga baru dan cenderung tidak menyebutkan strategi kebijakan fiskal yang spesifik dalam dokumen visi-misinya. Tampaknya, paslon 03 masih yakin dengan pelaksanaan business as usual akan mewujudkan fiskal yang tangguh lewat anggaran negara yang memadai dan transparan serta optimalisasi sumber pendapatan.
Menawarkan isu pembentukan lembaga baru dalam peningkatan penerimaan negara tidak otomatis dapat berhasil. Lebih-lebih jika kita dihadapkan pada fakta bahwa isu pemisahan kelembagaan di manajemen birokrasi kita merupakan persoalan yang cukup rumit jika tidak mau dikatakan problematis.
Pembentukan badan baru acap kali membutuhkan extra effort, koordinasi, penyesuaian dan harmonisasi peraturan baru perlu diterbitkan dalam merumuskan kebijakan fiskal pemerintah. Apabila sebelumnya kebijakan tersebut selesai pada level kementerian, maka selanjutnya perumusan kebijakan akan berada pada level lebih tinggi mengingat sisi pendapatan dan sisi belanja sudah terpisah dalam lembaga yang berbeda.
Cita-cita mempercepat proses bisnis koordinasi, yang ada potensi ego sektoral antar Lembaga akan muncul. Khusus kata terakhir, ia adalah penyakit kronis yang belum sepenuhnya hilang dari watak birokrasi kita.
Lalu bagaimana sebaiknya?
Dari sisi pendapatan pajak dukungan politis dan law enforcement lebih dibutuhkan terutama ketika menyasar pengusaha-pengusaha hitam yang memiliki kasus berkaitan dengan perpajakan, ketimbang mendorong gagasan penciptaan kelembagaan baru sebagai panacea dari segala solusi peningkatan pendapatan negara.
Selain itu, perlu juga mendorong percepatan implementasi cukai seperti cukai plastik dan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) yang sampai saat ini tak kunjung dilaksanakan.
Apalagi pelaksanaan ekstensifikasi cukai tersebut sudah diberi payung hukum yang ada dalam lampiran Perpres Nomor 76/2023, di mana komponen cukai plastik dan cukai MBDK dimasukkan ke dalam perincian penerimaan perpajakan tahun anggaran 2024 dan diberikan target cukai plastik sebesar Rp1,85 triliun dan cukai MBDK senilai Rp4,39 atau jika keduanya ditotal mencapai sebesar Rp6,24 triliun.
Pada akhirnya, dalam ajang pemilihan presiden kali ini kita masih disuguhkan dengan minimnya bahasan paslon mengenai penerimaan negara baik dalam debat maupun visi misi. Ke depannya, meskipun isu pajak dan penerimaan negara mungkin sensitif secara elektoral, penting bagi penyelenggara pemilu untuk menjadikan isu tersebut sebagai salah satu isu prioritas, agar supaya publik tercerdaskan dengan bagaimana resep tiap paslon dalam mengelola keuangan negara.
Sebab, perkara APBN bukan soal perkara membelanjakan anggaran belaka, namun bagaimana meningkatkan pendapatan negara sebagai fondasi kebijakan yang kuat untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan pembiayaan program-program pemerintahan.