Usulan Kenaikan Gaji Kepala Daerah: Solusi Bebas Korupsi?

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Debat dan dilema tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dan tak langsung masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan besar. Lebih dari dua dekade pelaksanaannya, bagaimana kita menyelesaikan ihwal politik uang, serangan fajar, dan soal-soal koruptif yang terjadi secara berulang pada helatan pilkada langsung?
Teranyar di Pilkada 2024, survei Litbang Kompas mengungkapkan politik uang menduduki tempat teratas jenis pelanggaran yaitu sebesar 11,1 persen, jauh lebih tinggi dibanding intimidasi sebanyak 2,9 persen. Selain itu, Bawaslu juga menemukan pelanggaran politik uang yang terjadi secara sistematis di berbagai daerah.
Kerumitan ini masih ditambah dengan rendahnya partisipasi pada Pilkada 2024 hanya mencapai 70 persen, jauh di bawah target 82 persen. Merosotnya partisipasi itu salah satunya adalah karena kekecewaan dan ketakpercayaan masyarakat atas pilkada.
Atas dasar inilah, sebagian kalangan memandang pilkada melalui DPRD menjadi solusi atas mahalnya ongkos pilkada. Usulan ini menuai kontroversi, terutama oleh kalangan masyarakat sipil yang menilai bahwa pilkada melalui DPRD dianggap rawan terhadap oligarki politik dan memperlebar jarak antara masyarakat dan pemimpin daerah.
Politik Uang dan Pilkada
Politik uang merujuk pada praktik kontroversial dalam pilkada. Alih-alih menilai kandidat berdasarkan kredibilitas atau rekam jejak, pemilih diarahkan untuk memilih dengan iming-iming uang atau materi lainnya.
Secara umum politik uang adalah upaya mempengaruhi konstituen dengan menggunakan imbalan uang atau materi atau dapat juga diartikan sebagai jual beli suara dalam proses politik dan kekuasaan, menggunakan modal ekonomi baik milik pribadi maupun parpol untuk mempengaruhi suara pemilih.
Politik uang dalam pilkada dapat dilihat melalui empat bentuk. Pertama, transaksi antara kandidat atau tim sukses berupa pemberian uang atau barang secara langsung atau tidak langsung.
Kedua, transaksi antara elit lokal-sebagai pemilik modal ekonomi dan politik-dan kandidat, dalam bentuk dukungan finansial dan politik untuk "investasi" yang dipetik setelah kepala daerah terpilih dan dilantik, ini disebut sebagai fenomena informal economy and shadow state.
Ketiga, transaksi antara kandidat dan partai politik yang memiliki kewenangan mencalonkan. Faktor politik uang karena oligarki dan patronase baik dalam proses kandidasi di internal parpol maupun usulan calon oleh koalisi parpol. Proses ini menimbulkan jual beli suara untuk "biaya perahu" dan "mahar politik".
Terakhir, transaksi antara kandidat atau tim kampanye dan penyelenggara pilkada. Bisa jadi dalam proses pilkada terjadi kesepakatan tersembunyi antara KPU dan kandidat untuk tujuan penggelembungan suara atau mempersulit pencalonan tokoh potensial di suatu daerah.
Politik uang berdampak menggerus integritas demokrasi, dua diantara dampak tersebut adalah ketidakadilan dan terdegradasinya kepercayaan publik. Ketidakadilan muncul karena kandidat yang memiliki kapasitas memadai sebagai pemimpin, harus terlempar dari pertarungan pilkada karena tidak memiliki modal finansial yang cukup.
Peluang dan Tantangan Inovasi Digital
Salah satu inovasi digital dalam sistem pemilu adalah sistem e-voting. E-voting adalah suatu metode pemungutan suara dan penghitungan suara dalam pemilihan yang menggunakan perangkat elektronik.
Sementara itu, kemunculan teknologi blockchain yang relatif baru juga dapat digunakan untuk meningkatkan transparansi dalam pendanaan kampanye dan memastikan keabsahan proses pemilu. Blockchain mencatat setiap transaksi secara permanen, memberikan kepercayaan masyarakat bahwa suara mereka tidak akan dimanipulasi.
Pengalaman negara-negara lain menjadi penting di sini. Estonia telah menjadi pelopor dalam teknologi e-voting yang memungkinkan pemilih memberikan suara secara daring dengan perlindungan privasi.
Selain itu, India juga menggantikan sistem pemungutan suara berbasis kertas dengan e-voting menggunakan Electronic Voting Machines (EVM). Sistem ini dilengkapi dengan Voter Verifiable Paper Audit Trail (VVPAT), yang memungkinkan pengawasan manual untuk memastikan keabsahan hasil digital, melaporkan dan memantau pelanggaran pemilu secara real-time.
Filipina dan Brasil menggunakan sistem pemilu otomatis (Automated Election System) sehingga penghitungan suara digital secara langsung dikirim ke pusat data nasional. Brazil mengaplikasikan e-voting sekaligus menggunakan fitur pengawasan digital.
Bahkan sistem audit elektronik memungkinkan lembaga pemilu Brasil mengawasi proses secara efisien, memastikan tidak ada manipulasi atau kesalahan yang signifikan. Langkah ini tidak saja mempercepat proses penghitungan suara tetapi juga menjamin transparansi.
Negara Asia Tenggara lainnya, Thailand, telah memanfaatkan blockchain dan identifikasi biometrik untuk mencegah manipulasi pemilu. Teknologi ini juga digunakan di Afrika Selatan untuk pemantauan dan pelaporan pelanggaran dan mencegah intimidasi politik atau gangguan pemilu langsung ke Komisi Pemilihan Independen (IEC).
Selain inovasi yang sudah ada seperti Sigap Lapor, Indonesia memiliki kesempatan mengembangkan inovasi teknologi dari praktik terbaik negara-negara tersebut. Namun, disadari sejumlah tantangan masih menghadang, diantaranya ketimpangan infrastruktur digital, terutama akses internet yang kurang memadai. Menurut laporan APJII 2023, penetrasi internet di Indonesia baru mencapai 77 persen, dengan wilayah pedesaan tertinggal jauh.
Rendahnya literasi digital masyarakat masih menjadi hambatan. Data Komdigi 2024 mengungkapkan hanya 54 persen penduduk memahami penggunaan teknologi digital secara efektif. Selain itu, ancaman keamanan siber, seperti peretasan dan manipulasi data, Komdigi mencatat 24 juta serangan pada tahun 2023, termasuk pada lembaga pemerintah.
Keterbatasan anggaran dan regulasi yang belum adaptif juga menambah kompleksitas. Teknologi seperti blockchain membutuhkan investasi besar, sementara kerangka hukum yang ada belum sepenuhnya mendukung adopsi teknologi ini, misalnya regulasi untuk transaksi uang digital dalam pilkada.
Semua tantangan ini memerlukan perhatian serius jika Indonesia ingin mengoptimalkan potensi inovasi digital dalam pilkada yang berintegritas.