UU No. 17/2008 Tentang Pelayaran: Revisi Vs Penguatan

Siswanto Rusdi CNBC Indonesia
Kamis, 26/10/2023 10:55 WIB
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pel... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi kapal (Dokumentasi Freepik)

Seperti sudah diketahui bersama, khususnya di kalangan masyarakat kemaritiman nasional, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah "tercabik-cabik" oleh berbagai amandemen atau revisi. Baik yang dilakukan Kementerian Perhubungan sendiri selaku leading sector aturan tersebut, oleh parlemen maupun oleh kementerian lain.


Sebagai kumpulan/kompilasi aturan main bagi pelaku usaha di bidang kemaritiman - mencakup kepelabuhanan, pelayaran, galangan, dan lain-lain - bisa jadi ia masih utuh. Namun, sejatinya ruhnya sudah lepas.

Empat tahun setelah disahkan, tepatnya pada 2011, Kementerian Perhubungan di bawah kepemimpinan Menteri Perhubungan Freddy Numberi, mengajukan revisi UU Pelayaran 2008. Langkah ini ditempuh guna mendukung kegiatan penambangan minyak dan gas lepas pantai.

Adapun pasal-pasal yang diamandemen terkait dengan keberadaan kapal tertentu yang dibutuhkan untuk industri dimaksud namun perusahaan perkapalan nasional belum mampu memproduksi kapal-kapal yang dibutuhkan untuk industri dimaksud.

UU No. 17/2008 memang belum mengatur beberapa jenis kapal-kapal penunjang migas yang belum ada atau belum berbendera Indonesia antara lain, kapal kegiatan survei seismik, geofisika dan geoteknik, kapal kegiatan pengeboran lepas pantai (jack up rig, semi-submersible rig, deep-water drill ship dan tender assisting), kapal untuk kegiatan konstruksi lepas pantai (man working barge, derrick/crane/pipe/cable/subsea, dan lain-lain) dan kapal untuk kegiatan penunjang operasi migas lepas pantai (anchor handling tug supply/AHTS deep water >6000BHP, platform supply vessel, fast metal crew boat).

Apabila UU Pelayaran tidak segera diamandemen akan menimbulkan permasalahan-permasalahan pada kegiatan migas lepas pantai serta mengganggu target produksi migas nasional dari lapangan migas offshore. Demikian reasoning yang ada kala itu terkait revisi yang diusulkan Kemenhub.

Lalu, pada 2019, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencoba merevisi UU No. 17/2008. Kala itu, para senator sudah menyiapkan sebuah draf untuk mengubah UU Pelayaran tersebut. Saya kebetulan diundang oleh lembaga itu untuk memberi masukan atas rancangan yang mereka buat.

DPD hanya mengusulkan dua pasal perubahan, yaitu Pasal 8 dan Pasal 276. Pasal-pasal yang ingin direvisi ini, memuat ketentuan tentang Angkutan Laut Dalam Negeri dan Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard). Pasal 8 ayat 1 berbunyi "Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia".

Pada ayat 2, "Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia". Dalam revisinya, DPD mengusulkan ayat 1 menjadi "Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional atau asing".

Di samping itu, DPD mengusulkan penambahan ayat 3 yang berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan angkutan laut nasional atau asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah".

Sementara itu, Pasal 276 yang terdiri dari tiga ayat diusulkan agar ayat 3 diubah. Pasal ini berbunyi "Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.

Usulan DPD untuk ayat ini: "Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang keamanan laut".

Selain dua pasal tadi, DPD juga mengusulkan agar Pasal 1 angka 61 diubah menjadi "Setiap Orang adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau korporasi". Adapun bunyi awal poin ini adalah "Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi".

Jujur, saya tidak mengetahui apakah dua upaya perubahan yang disebut di muka berjalan sesuai rencana, dalam artian terjadi perubahan dalam struktur atau redaksional UU Pelayaran 2008. Yang jelas, saya belum menemukan buku yang menghimpun perubahan ke atas undang-undang itu. Bisa saja saya luput. Entahlah.

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga mencabik-cabik UU No. 17/2008. Setidaknya terdapat 60 pasal yang diubah ketentuannya dan ada 10 aturan dalam peraturan tadi yang dihapus. Dan, berdasarkan diskusi dengan berbagai kalangan, perubahan ini betul-betul riil di lapangan.

Revisi UU Pelayaran No. 17/2008 yang paling mutakhir adalah melalui perubahan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Anda pasti bingung dibuatnya. Sebab, leading sector UU 32/2014 adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan sementara UU No. 17/2008 "punyanya" Kemenhub.

Kedua lembaga sesungguhnya setara dan sejajar; yang satu tidak bisa menganulir peraturan yang dibuat oleh yang lainnya. Tetapi, perubahan ini sudah masuk ke DPR untuk dibahas. Dalam kalimat lain, "nasi sudah menjadi bubur".

Sekadar pengingat, pasal-pasal UU Pelayaran No. 17/2008 yang direvisi dengan perantaraan amandemen UU No. 32/2014 tentang Kelautan adalah pasal 59, pasal 60, pasal 61, pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 71 dan pasal 72. Revisi ini ada yang berupa penghapusan atau penambahan pasal/ayat.

Termasuk perubahan aspek redaksional pasal dan ayat. Pasal-pasal ini hampir seluruhnya terkait dengan eksistensi Bakamla. Dengan revisi ini, para pengusungnya ingin memperkuat lembaga tersebut dan pada saat bersamaan menjadikannya sebagai penjaga laut atau coast guard Indonesia.

Mengingat proses politik di DPR cenderung panjang dan penuh tarik-menarik kepentingan, sehingga bisa saja pembahasan revisi yang ada tidak akan selesai sampai dilantiknya DPR periode 2024-2029, pertanyaannya sekarang: apakah perlu revisi atau justru penguatan UU No. 17/2008? Soal revisi dulu.

Upaya ini silakan saja dilanjutkan karena toh sudah berada di tangan parlemen. Tidak ada daya upaya tulisan ini untuk menghentikan proses legislasi yang sudah berjalan. Tidak berarti upaya penguatan tidak dapat dilakukan ketika UU Pelayaran tengah diamandemen. Upaya inilah yang ingin didorong melalui karangan ini.

Penguatan yang dimaksud adalah dengan mengeluarkan sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) yang masih terutang. Salah satunya terkait dengan aturan penahanan kapal atau arrest of ships.

Diatur dalam International Convention on Arrest of Ships 1999, prinsip-prinsip yang ada di dalam regulasi IMO ini sebetulnya sudah diadopsi oleh UU Pelayaran 2008. Yang tidak ada tinggal aturan turunannya (baca: PP).

Kata seorang teman lawyer yang biasa menangani kasus-kasus terkait bidang kemaritiman, ketiadaan aturan turunan penahanan kapal sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa di mana kapal menjadi obyeknya. Misalnya, pengadilan enggan mengabulkan permohonan penahanan kapal bila ada pihak yang berperkara yang memintanya.

Hal ini terjadi karena tidak adanya aturan penahanan kapal tadi. Jika tetap ingin meminta penahanan kapal, sang lawyer menyarankan kliennya untuk memasukkan permintaannya ke wilayah yurisdiksi lainnya, seperti Singapura contohnya.

Selain PP penahanan kapal, penguatan UU No. 17/2008 juga dapat dilakukan dengan mengeluarkan PP coast guard. Memang keberadaan coast guard masih belum jelas saat ini; masih diperebutkan oleh KPLP dan Bakamla.

Sengkarut ini dapat diselesaikan jika saja PP coast guard diterbitkan oleh Kemenhub. Masalahnya, Menhub berani nggak? Apalagi di tengah upaya yang dilakukan oleh Bakamla dengan meminjam tangan KKP melalui revisi UU No. 32/2014.


(miq/miq)

Related Articles