"De-Benny-sasi" dan Regenerasi Intelijen Militer Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Saya tertarik dengan tulisan sahabat saya, Mohammad Akbar yang berjudul 'Pemimpin (Jangan) Antikritik' (CNBC Indonesia, 18 April 2023). Sebagai bagian dari gerakan aktivis tahun 98' yang sukses menjungkirkan rezim Soeharto lalu ikut meliput Darurat Militer di Aceh tahun 2003, wajar Akbar kagum pada Nelson Mandela.
Namun menyebut Mandela sebagai sosok yang tidak anti kritik, kuranglah tepat. Mandela kala enak-enaknya jadi presiden setelah terpilih tahun 1994-pada 1997--menangkap dan memenjarakan puluhan demonstran Conggres of South African Trade Union (COSATU) yang melakukan aksi di depan parlemen Afrika Selatan di Cape Town.
Lho kenapa Mandela sedemikian marah? Rupanya aktivis COSATU tersebut mendemo rombongan donatur partai African National Congress (ANC). Siapa mereka itu? Silakan terkejut. Tidak lain adalah rombongan Presiden Soeharto!
Mandela memang sangat dekat dengan Soeharto. Bahkan Mandela memilih Jakarta sebagai salah satu tempat yang dikunjunginya usai bebas dari penjara tahun 1990. Dalam kunjungan itu, Mandela menerima baju Batik, Bintang Republik Indonesia dan sumbangan duit bagi ANC yang nilainya US$10 juta.
Majalah Tempo yang saat itu mewawancarai Mandela, mengonfirmasi sumbangan itu kepada Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Moerdiono membenarkan bahwa pemerintah harus mengadakan uang kontan sebanyak itu di Minggu malam ketika Bank Indonesia (BI) tutup.
Sebagai perbandingan, sampai akhir Desember 1990, US$ 1 senilai Rp1.842. Sementara bensin premium dijual seharga Rp450, dan solar Rp245. Hadiah seumur hidup anggota timnas Indonesia ketika meraih emas Sea Games tahun 1991 yang disebut sangat besar adalah Rp100 ribu. Jadi jumlah US$10 juta jelas bukan jumlah yang sedikit saat itu.
Setelah kunjungan itu, Mandela yang kemudian terpilih jadi presiden mengunjungi Indonesia sebanyak dua kali: 1994 dan 1997--keduanya di masa Presiden Soeharto--dan pada 2002 setelah tak jadi presiden untuk bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri-yang sempat salah disebut Mandela sebagai anak Soeharto.
Nah lalu apa pentingnya menempatkan Mandela dalam tulisan yang akan banyak bicara tentang upaya penyelesaian konflik di Papua, wilayah paling timur Indonesia yang tak kunjung berhenti bergolak sejak perlawanan di wilayah Barat, yakni Aceh berhenti.
Bagi yang mempelajari resolusi konflik, maka sosok Mandela akan menjadi sosok yang menarik ketika melihat perannya sebagai aktor yang konsisten dalam penyelesaian konflik di Timor Timur (sejak tahun 2002 menjadi Timor Leste).
Mungkin sudah banyak yang melupakan bagaimana peran Mandela dalam proses kemerdekaan Timor Leste. Bagaimana Mandela memposisikan diri sebagai mediator bagi Pemerintah Indonesia yang dikeroyok gerakan kemerdekaan Timor Timur yang didukung Barat.
Saat Soeharto menjadikan penangkapan dan memenjarakan tokoh Fretelin, Xanana Gusmao, sebagai trofi keberhasilan pendekatan keamanan, Mandela justru berbicara langsung ke Presiden Soeharto untuk mengkorting hukuman Xanana. Belakangan, Mandela malah meminta bisa bertemu Xanana.
Upaya Mandela berdialog langsung dengan Xanana bahkan sempat dituding sebagai strategi Kuda Trojan bagi pihak Barat yang mendukung kemerdekaan Timor Timur. Saya lebih percaya, Mandela memposisikan diri bersikap netral mencari tahu persoalan yang terjadi
Saya menggunakan diksi Barat karena negara-negara yang mendukung kemerdekaan provinsi ke-27 tersebut ya memang negara-negara itu-itu saja. Padahal mereka yang secara ironis memberi restu invasi Indonesia di akhir tahun 1975 untuk kemudian menarik diri dan berbalik menuding Indonesia melakukan penindasan.
Aktor Lokal
Lalu bagaimana dengan Papua? Saya tidak akan pernah bersepakat pada kekerasan yang terus terjadi di Papua. Sayangnya fakta ketimpangan sosial, ekonomi dan infrastruktur di Papua memanglah rentan menjadi modal bagi ketidakpuasan yang berujung pada separatisme.
Upaya pemerintah Indonesia sejak masa Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo untuk membangun Papua tidaklah diragukan. Namun harus dicatat luas wilayah Papua yang empat kali lipat Jawa, walhasil upaya pemerintah masih jauh dari ideal.
Di tengah ironi pembangunan itu, Papua memiliki aktor lokal yang berpotensi untuk mengembangkan Papua secara mandiri. Saya ambil contoh, Simon Tabuni, sosioentrepreneur muda yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat Manokwari dan daerah sekitarnya di Papua Barat.
Sosok Simon mungkin belum banyak dikenal, padahal jebolan SOAS, University of London itu sosok yang berdiri di samping kanan Presiden Jokowi kala meresmikan Papua Youth Creative Hub (PYCH) di Jayapura, Maret lalu.
Beberapa program yang diinisiasi Simon ialah Gerakan Pemuda Papua Inspiratif, Gerakan Angkat Mama Papua, Gerakan Fasilitasi Kreatifitas dan Inovatif Anak Papua (Fastra), Revitalisasi Taman dan Fungsinya (Remang) hingga pengembangan Anggimart, untuk membantu petani, nelayan, dan pelaku UMKM.
Tentu saja dibutuhkan banyak sosok serupa Simon untuk membangun perekonomian masyarakat secara langsung. Minimal memutar perekonomian masyarakat di Papua lebih luas, karena selama ini ekonomi di pedalaman Papua mayoritas stagnan pada tahap subsisten.
Harapannya tentu saja ketika masyarakat Papua sibuk mengupayakan memperkuat perekonomiannya, secara langsung efek pengembangan diri akan terjadi sehingga komunitas yang selama ini stagnan akan terbangun dan nafsi separatisme semakin sulit menumbuhkan diri.
Mengapa ini penting? Saya meyakini generasi muda Papua yang terdidik dan memiliki akses informasi secara mandiri sudah mempelajari bagaimana tetangganya, Papua Nugini bahkan Timor Leste lambat mengembangkan diri.
Kesadaran generasi muda Papua sebagai agen perubahan ini sangat penting mengingat pembangunan yang berimbas langsung pada masyarakat akan mengalami kemunduran ketika kedamaian terganggu oleh eskalasi kekerasan.
Dan yang terpenting, bagi serdadu TNI, meski mereka secara sadar dibentuk untuk berperang pada dasarnya saya yakin mereka akan lebih senang menyandang cangkul dibandingkan senapan. Apalagi Jakarta secara langsung membelenggu mereka untuk mengambil tindakan-bahkan demi membela diri.
Saya melihat kuatnya keragu-raguan elite Jakarta tersebab pertimbangan politik jangka pendek, regulasi dengan paradigma keamanan vis a vis pertahanan, dibumbui paranoia internasionalisasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) membuat pemerintah sadar mengorbankan serdadu di wilayah yang rentan konflik di Papua.
Jadi harapan terbesar saat ini yang paling masuk akal sekaligus boleh saja disebut sebagai hal yang naif adalah pada generasi muda Papua untuk mengusahakan perdamaian di wilayahnya sendiri.
Saya sangat percaya separatisme sebagai sebuah nilai-nilai yang dipercaya, tanpa dukungan masyarakat di sekitarnya akan usang secara alami dan ditinggalkan. Semoga kedamaian segera terwujud bagi masyarakat Papua.